Dikepung 7 PSN, Tanah Melayu Masuki Musim Konflik Ekologis

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Selasa, 28 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kepungan proyek strategis nasional (PSN), dan mulai menjamurnya perizinan bidang kehutanan, dikhawatirkan akan memperpanjang deretan konflik ekologis di Provinsi Riau, termasuk di Kepulauan Riau. Ada harapan agar mata rantai konflik di Tanah Melayu ini bisa diputus.

Harapan tersebut disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau dalam Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) Walhi Riau 2025, dengan tajuk "Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu: Sebuah Tawaran Kepada Rezim Baru", yang dirilis Jumat (24/1/2025).

Publikasi ini memuat konteks situasi politik elektoral 2024 yang sangat minim menghasilkan politisi dan gagasan untuk menyelesaikan persoalan lingkungan hidup dan perlindungan masyarakat adat dan lokal di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.

Lewat TLH ini Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Even Sembiring, mengingatkan semua pihak untuk terus berkonsolidasi, saling bersolidaritas, dan secara konsisten menyuarakan tuntutan keadilan ekologis. Hal tersebut, menurutnya, merupakan kunci untuk memutus mata rantai konflik ekologis di Tanah Melayu.

Salah satu sudut Pulau Rempang dilihat dari ketinggian. Foto: Walhi

“Guna memastikan masyarakat adat dan saudara Melayu kita di Kepulauan Riau tetap tangguh, konsolidasi dan solidaritas untuk saudara kita di Pulau Rempang bisa dimulai dan terus diperluas dari Tanah Melayu yang kita pijak di sini. Suara solidaritas dan tuntutan keadilan yang akan membuat mereka tetap tangguh dan kokoh berjuang mempertahankan tanah dan identitas adatnya,” ucap Even, Jumat (24/1/2025). 

Even menjelaskan, visi, misi, program dan pernyataan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Riau terpilih masih sangat kental dengan konteks ekonomi kapitalistik. Pemimpin baru Riau ini masih menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur utama kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Riau.

Hanya saja mereka memoles pertumbuhan ekonomi dengan ekonomi hijau dan biru. Suatu konsep yang hanya mendorong transformasi komoditi dan penggunaan teknologi. Konsep ini sangat minim menaruh perhatian pada aspek keadilan, khususnya terkait transformasi kepemilikan hingga pengakuan dan perlindungan hak masyarakat atas sumber daya alam.

Praktik yang mungkin lebih lestari dan ramah lingkungan, tapi mempunyai watak ekspansif dan ambisi mengejar angka pertumbuhan. Hal yang sama sekali tidak menguntungkan masyarakat Riau.

“Green dan blue ekonomi sebenarnya masih mengejar pertumbuhan ekonomi dan menjadikan investasi sebagai andalannya. Yang berubah hanyalah komoditi dan teknologi saja. Tapi, ekonomi ini tidak akan mengubah ownership dan tidak bicara soal keadilan,” kata Even.

“Seperti Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem (PBPH-RE) yang mulai menjamur di Riau. Kita bisa mulai mengkritiknya, siapa yang memperoleh keuntungan utama dari bisnis ini, siapa pemiliknya, dan apa konsekuensi atas dua hal tersebut. Pertanyaannya apakah model pembangunan seperti  itu yang kita harapkan?” imbuhnya.

Tanah Melayu di Kepulauan Riau, kata Even, kini dikepung PSN. Saat ini laut dan pulau-pulau kecil hingga eksistensi masyarakat adat dan lokal di sana diancam 7 PSN. Selain Rempang, beberapa waktu lalu, negara melakukan penggusuran masyarakat tiga kampung dalam pembangunan PSN Tanjung Sauh.

“Hal yang tidak mendapat perhatian dan dukungan publik secara luas. Dalih ganti rugi melanggengkan penggusuran tersebut, walaupun kami menduga ada angka ganti rugi tidak layak,” kata Even.

Sri Depi Surya Azizah, peneliti Walhi Riau, mengatakan konflik di Riau dan Kepulauan Riau tidak hanya mengakibatkan pertentangan dan dampak buruk bagi manusia, tapi juga seluruh entitas ekologis lainnya, seperti satwa, tumbuhan, dan ekosistem. Deforestasi di Riau secara masif terjadi sejak 1983, ditandai dengan penerbitan perizinan sektor kehutanan.

Selanjutnya, setelah hutan-hutan alam ini ditebang diikuti dengan alih fungsi untuk perkebunan kayu dan sawit skala besar. Selain hutan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Riau mengalami praktik buruk serupa. Sepanjang 482 km kawasan pesisir Riau mengalami dampak abrasi akibat rusaknya ekosistem mangrove.

Dominasi kerusakan hutan, wilayah pesisir, dan laut Riau diakibatkan praktik ekstraksi dan alih fungsi yang memberi keuntungan besar bagi pebisnis, bukan masyarakat. Upaya melawan yang dilakukan masyarakat juga kerap dikalahkan dengan dasar secarik kertas perizinan. Kertas yang dapat menggerakkan aparat keamanan untuk merepresi mereka.

Konflik ini, sambung Depi, juga mengakibatkan kerugian bagi kelompok perempuan. Salah satunya seperti yang terjadi di Pulau Mendol. Kelompok perempuan di sana terus khawatir karena ambisi PT TUM melalui dua gugatannya terhadap pemerintah untuk merampas tanah dan pulau mereka. Situasi yang lebih parah terjadi Pulau Rempang.

“Tidak hanya dengan bayang ancaman perampasan, mereka juga mengalami intimidasi dan represi. Mulai dari tindakan oknum-oknum kepolisian hingga preman yang digerakkan untuk memastikan pembangunan PSN Rempang Eco-city,” ujar Depi.

TLH WALHI Riau juga menyoroti relasi program makan siang gratis dengan rencana pengembangan 20 juta hutan hektare untuk tanaman pangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit. Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALH Riau menjelaskan, kebijakan tersebut saling kontradiktif, karena program makan siang gratis melalui upaya swasembada pangan dilakukan dengan merusak lingkungan.

Ditambah lagi alasan lain program makan siang gratis untuk mengatasi stunting. Alih fungsi hutan untuk perkebunan dan dalih kebijakan pangan, menurutnya, justru akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang secara nyata sangat memengaruhi tumbuh kembang anak Indonesia.

“Logika keliru lainnya, program ini memaksakan sumber pangan dari luar dan tidak menempatkan pangan lokal sebagai sumber utamanya. Belajar dari tragedi di Papua, bagaimana orang asli Papua (OAP) yang hutan sagu sumber pangannya dirusak atas nama kebijakan food estate malah mengalami krisis pangan,” katanya.

Ahlul bilang, kebijakan makan siang gratis yang menurut beberapa penelitian masih relevan, harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan adil. Tidak boleh mengakibatkan hilangnya makanan di tempat lain. Hal lainnya, kebijakan makan siang juga harus memikirkan limbah kemasan dan sisa makanan. Hal yang apabila gagal di atasi akan melahirkan persoalan serius pada lingkungan hidup.

Menanggapi TLH Walhi Riau, Kepala Bagian Perempuan & Anak YLBHI-LBH Pekanbaru, Resika Siboro, menuturkan bahwa keberpihakan terhadap investasi masih ditunjukkan Pemerintah Indonesia. Sikap abai terhadap masyarakat hak-hak masyarakat bahkan upaya kriminalisasi masih dilakukan pemerintah hingga saat ini. Hal tersebut seperti yang terjadi di Pulau Rempang.

Resika menjelaskan, keberpihakan pemerintah di Rempang ini telah ditunjukkan sejak awal, mulai dari pengerahan tim terpadu, upaya kriminalisasi hingga mengabaikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Keberpihakan terhadap investasi melanggengkan pelanggaran HAM di Indonesia. Rempang menjadi bukti nyata hak masyarakat adat dan tempatan berupaya dirampas haknya atas nama investasi.

“Lebih parahnya, upaya ini dilakukan dengan beragam kejadian represif yang dibiarkan berulang. Peristiwa pada 18 September dan 18 Desember 2024 di Rempang membuktikan hal tersebut. Bagaimana di hadapan polisi berpakaian dinas, masyarakat dibiarkan diserang,” ujar Resika

SHARE