Revisi UU Minerba, UII: Kampus Harus Menolak Bermain Tambang
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Kamis, 23 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Universitas Islam Indonesia menolak usulan tawaran pemberian izin usaha pertambangan khusus mineral untuk perguran tinggi. Akademisi mengingatkan tawaran ini rentan menjadi sarana untuk menundukkan sikap kritis kampus terhadap pemerintah.
Penolakan ini disampaikan oleh Rektor UII, Fathul Wahid. Ia menyebutkan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang membuat dunia akademik tak lagi sensitif atas pengembangan akademik. Kampus justru akan mengedepankan orientasi bisnis daripada lingkungan dan warga terdampak.
“Uang itu kadangkala menghipnotis dan kalau itu terjadi, berbahaya,” kata Fathul seperti dikutip dari Antara pada Selasa (21/1/2025).
Menurutnya kampus mesti fokus pada misi utama, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Pemberian izin usaha pertambangan prioritas untuk perguruan tinggi sendiri tertulis dalam draf revisi ketiga UU Mineral dan Batu Bara. Pada pasal 51A disebutkan perguruan tinggi memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam secara prioritas.
Terpisah Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Masduki, mengungkapkan perguruan tinggi mesti hati-hati dengan tawaran pemerintah ini. Menurutnya tawaran tersebut sarat kepentingan, terutama untuk melemahkan perguruan tinggi sebagai kelompok kritis.
Ia justru prihatin dengan tawaran dalam revisi UU ini karena menunjukkan penundukkan kelompok kritis dengan cara termutakhir, yakni diberi konsesi supaya tidak kritis.
Pemberian WIUP untuk perguruan tinggi, kata dia, mengancam otonomi dan kebebasan akademik. Perguruan tinggi sejatinya melakukan kritik sosial dan tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat).
”Bisa dibayangkan jika perguruan tinggi diberi kewenangan mengelola tambang yang mengalami kerusakan luar biasa, tidak mampu melakukan otokritik. Jadi ke mana masyarakat mendapat pernyataan kritis yang obyektif?” kata Masduki.
Menurutnya kampus telah mengalami represi berlapis, mulai dari suara pemerintah dalam pemilihan rektor PTN, tunjangan kinerja ASN Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang tak dibayarkan, hingga demonstrasi pegawai ASN Kemendikti Saintek pada Menteri Dikti Saintek.
”Ini ada represi baru pada otonomi kampus dengan memberi WIUP. Ini jelas melawan semangat demokrasi. Wajar jika perguruan tinggi menolak gagasan ini. Sebab, ini sesat pikir dan kemunduran. Perguruan tinggi semestinya jadi pengontrol dan melakukan riset, bukan sebagai pelaku usaha,” kata Masduki.
SHARE