KPA: Konflik Agraria Naik 21%

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Kamis, 23 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hiruk pikuk kontestasi politik elektoral 2024 ternyata tidak memengaruhi laju eskalasi letusan konflik agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2024, sedikitnya ada 295 letusan konflik agraria di Indonesia, terjadi di semua sektor. Hal tersebut diuraikan KPA dalam Catatan Akhir Tahun 2024 yang dirilis pada Rabu (22/1/2025).

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Kartika, mengatakan letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 1,1 juta hektare, tepatnya 1.113.577,47 hektare, yang berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa. Ada kenaikan letusan konflik agraria mencapai 21% pada 2024, jika dibandingkan pada 2023 yang berjumlah 241.

“Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi dengan 111 kasus, dengan 75 kasus (67%) disebabkan oleh perkebunan sawit dengan luas 127.281,30 hektare dan korban terdampak mencapai 14.696 keluarga,” kata Dewi, pada Selasa (22/1/2025). 

Sementara sektor infrastruktur, lanjut Dewi, menyebabkan 79 kasus letupan konflik dengan luas mencapai 290.785,11 hektare dan berdampak pada 20.274 keluarga. Sebagian besar konflik agraria infrastruktur tersebut disebabkan oleh PSN dengan 36 kasus dari 39 total kasus konflik agraria PSN yang terjadi pada tahun 2024 (3 kasus lainnya disebabkan food estate). Selanjutnya sektor pertambangan menyebabkan 41 ledakan konflik yang didominasi oleh industri batu bara (14 kasus) dan nikel (11 kasus).

Ilustrasi konflik agraria. Foto: Internet

Dewi melanjutkan, secara sebaran, konflik agraria terjadi di 34 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia. Provinsi Sulawesi Selatan menempati posisi pertama dengan 37 kasus, Sumatra Utara (32), Kalimantan Timur (16), Jawa Barat (16), Jawa Timur (15), Sulawesi Tengah (13), Sumatra Barat (12), Sumatra Selatan (11), DKI Jakarta (11), dan Jambi (10).

Konflik agraria pada 2024, kata Dewi, juga menyebabkan ratusan kasus kekerasan dan kriminalisasi. Selama 2024, sedikitnya 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi akibat keterlibatan aparat di wilayah konflik agraria.

“Korban-korban tersebut diantaranya mengalami kriminalisasi sebanyak 399 orang, dianiaya atau mengalami kekerasan sebanyak 149 orang, sebanyak 4 orang ditembak dan 4 orang tewas akibat tindakan gegabah para aparat,” ujarnya.

Potret di balik konflik agraria 2024

Dewi menjelaskan, selama 2024, petani menjadi kelompok yang paling terdampak dari letupan-letupan konflik agraria. Dari total 295, 173 di antaranya melibatkan petani sebagai korban. Kelompok kedua yang paling sering menjadi korban adalah kelompok masyarakat miskin kota.

Mereka tergusur atau terdampak sebanyak 56 kali. Kelompok ketiga yang paling sering menjadi korban adalah masyarakat adat dengan 53 kasus. Terakhir, kelompok nelayan yang menjadi korban sebanyak 13 kali.

Dari sisi lanskap agraria, tanah pertanian rakyat yang paling sering terdampak konflik agraria, sejalan dengan data di atas. Dari total 295 ledakan konflik, 178 kasus terjadi di atas tanah pertanian rakyat dengan total luas mencapai 326.224,34 hektare, dan korban sebanyak 46.642 rumah tangga petani.

“Jika dikalkulasikan secara rata-rata rumah tangga petani, maka setidaknya terdapat 93.284 petani (laki-laki dan perempuan petani), yang menjadi korban konflik agraria sepanjang tahun 2024,” ucap Dewi.

Menurut Dewi, estimasi tersebut bisa jadi lebih. Sebab dalam budaya masyarakat pedesaan dan pertanian di Indonesia, lumrah ditemukan model usaha pertanian dalam skala rumah tangga, yang tidak hanya melibatkan suami-istri, melainkan juga mengikutsertakan anak-anak dalam membantu penggarapan lahan.

Hasil pemantauan dan analisis yang dilakukan KPA, menemukan bahwa konflik agraria yang terjadi sepanjang 2024 merupakan konflik-konflik lama yang meledak kembali akibat tindakan sepihak pemerintah, badan usaha, baik swasta maupun milik negara hingga aparat keamanan. Selain meletupnya konflik, peristiwa tersebut kembali memakan korban.

“Sebagian besar merupakan konflik yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir, atau kasus konflik agraria baru yang terjadi di era pemerintahan Jokowi. Sisanya merupakan konflik-konflik agraria lama (latent, manifest) yang telah berumur puluhan tahun, namun belum kunjung selesai konfliknya,” kata Dewi.

Dewi melanjutkan, dari sisi aktor penyebab konflik, badan usaha swasta mendominasi sebagai penyebab utama letupan konflik agraria 181 kasus konflik agraria. Di sisi lain, badan usaha swasta diprediksi juga akan pemicu konflik agraria yang lebih luas.

Apalagi pada 2024, pemerintah memberikan “kedok Proyek Strategis Nasional (PSN)” untuk proyek-proyek yang sarat kepentingan swasta agar masuk ke dalam daftar PSN, seperti Proyek Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Mundur jauh ke belakang, ada proyek Lido yang digawangi MNC Group.

“Catatan lain adalah badan otorita dan badan Bank Tanah yang menjelma menjadi wajah baru perampas tanah selama beberapa tahun terakhir, terutama sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Tahun ini (2024), operasi badan otorita menyebabkan 14 letupan konflik dan badan Bank Tanah sebanyak sebanyak 7 letupan konflik,” tutur Dewi.

KPA, lanjut Dewi, berpendapat bahwa rentetan kasus agraria yang terjadi sepanjang 2024 ini tidak tidak bisa dilepaskan dari pola-pola kejahatan korupsi, kolusi dan manipulasi. Praktek korupsi, kolusi dan manipulasi itu menjelma dalam praktik-praktik mafia tanah, mal-administrasi, pembiaran secara sistemis dan terstruktur atas tanah-tanah terlantar, tukar guling kawasan, deforestasi, atau praktek jual-beli tanah, dan operasi illegal tambang. Pada ujungnya, imbuh Dewi, rakyat menjadi korban dari praktek-praktek koruptif tersebut.

Selanjutnya, KPA menemukan ada 108 kasus di antaranya disebabkan oleh praktik ilegal badan usaha, baik swasta maupun negara. Sementara 21 kasus melibatkan praktik mafia tanah dan sisanya sebanyak 23 kasus akibat pembiaran berkepanjangan atas tanah-tanah yang diterlantarkan oleh perusahaan, dan menjadi modus pengusaha untuk mendapatkan modal dari bank dengan cara mengagunkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) ke bank.

Panen konflik agraria satu dekade Jokowi

”Sepanjang satu dekade terakhir negara kita berhasil memanen konflik agraria. Kesimpulan ini pantas disematkan untuk menggambarkan situasi agraria yang terjadi selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi,” kata Dewi.

Dewi menjelaskan, sepanjang 10 tahun memimpin Indonesia, Jokowi memecahkan rekor sebagai presiden yang melahirkan letusan konflik agraria tertinggi dalam sepanjang sejarah Pemerintahan Indonesia. Jika dikalkulasikan sejak 2015-2024, sedikitnya terjadi 3.234 ledakan konflik dengan luas mencapai 7.422.838,47 hektare dan korban sebanyak 1.826.744 keluarga.

Menurut Dewi, benang merah yang bisa ditarik dari situasi konflik agraria yang terjadi sepanjang 2024 adalah disebabkan oleh dua mantra utama rezim Pemerintahan Jokowi selama dua periode terakhir, yakni bisnis ekstraktif yang bersandar pada industri perkebunan dan tambang, serta proyek-proyek pembangunan yang dilabeli PSN.

“Pemicu utama ini tentu tidak bisa dilepaskan dari isu kehutanan, sebab selain bersumber dari hasil perampasan tanah rakyat, sumber tanah ketiganya seringkali berasal dari kawasan hutan konservasi yang seharusnya dibiarkan alami,” katanya.

Sepanjang Pemerintahan Jokowi, sambung Dewi, konflik agraria perkebunan terjadi sebanyak 1.243 letusan, yang sebagian besarnya disebabkan perkebunan sawit. Sementara percepatan proyek-proyek strategis nasional menyebabkan 154 letusan dengan luas mencapai 1 juta hektare dan korban terdampak sebanyak 103.685 keluarga.

Catatan lainnya, ekskalasi konflik agraria akibat industri pertambangan yang terus naik terutama pasca revisi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan masuknya sebagian bisnis tambang ke dalam daftar PSN. Periode 2020-2024, konflik agraria akibat industri pertambangan terjadi sebanyak 136 kasus. Kasus-kasus tersebut sebagian besarnya disebabkan oleh nikel dan batu bara.

Selama Pemerintahan Jokowi, masih kata Dewi, kekerasan sepertinya telah menjadi langgam dalam penanganan konflik. Sepanjang periode 2015-2024, KPA mencatat 2.841 kasus kriminalisasi, 1.054 kasus penganiayaan, 88 orang tertembak dan 79 tewas.

“Setiap tahun selalu terdapat korban tewas dalam penanganan konflik agraria. Catatan khusus patut dilayangkan kepada pihak kepolisian,” katanya.

Dewi bilang, tercatat selama periode kedua pemerintahan Jokowi (2020-2024), trend kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan aparat kepolisian terus mengalami kenaikan. Rentetan kasus-kasus yang dilakukan pihak kepolisian dan menimbulkan korban di pihak masyarakat tidak kunjung membuat institusi bhayangkara ini melakukan pembenahan diri.

Konflik agraria dalam 100 hari Pemerintahan Prabowo

Dewi mengatakan, krisis agraria tersebut sejatinya telah meninggalkan pekerjaan rumah besar bagi Presiden Prabowo. Sayangnya, selama 100 hari pertama pemerintahannya, konflik agraria tidak menunjukkan gejala penurunan. Rentang waktu tersebut sedikitnya terjadi 63 letusan konflik agraria dengan luas 66.082,19 hektare dan korban terdampak sebanyak 10.075 keluarga.

“Di satu sisi, memang tidak adil jika letupan konflik ini tanggung jawabnya ditimpakan ke Presiden Prabowo yang baru saja menjadi nahkoda baru pemerintahan. Ledakan konflik-konflik tersebut adalah buah kebijakan yang terjadi para periode pemerintahan sebelumnya,” ujar Dewi.

Namun begitu, ledakan konflik tersebut bisa saja dihindarkan jika Prabowo mengeluarkan instruksi kepada para pihak, terutama pemerintah, aparat keamanan, perusahaan, atau badan-badan otorita untuk menahan diri dan menjaga kondusivitas di lapangan. Namun sayangnya, hal itu tidak terjadi jika melihat dinamika selama 100 hari pertama ini.

Di sisi lain, KPA juga menemukan bahwa beberapa kejadian konflik yang terjadi selama 100 hari pertama Prabowo banyak dipicu oleh program-program prioritasnya sendiri, salah satunya terkait program swasembada pangan dan ketahanan pangan. Salah satunya adalah kasus penggusuran para petani di Desa Sahbandar, Kecamatan Kertajati, Jawa Barat.

“Terkait kasus di Kertajati, adalah PT Sindangkasih Multi Usaha (SMU), salah satu badan usaha Pemerintah Daerah Majalengka yang menjadi aktor penggusuran. Mereka bekerjasama dengan PT Garuda Indofood. Penggusuran tersebut mengakibatkan 250 keluarga yang menguasai lahan seluas 399,98 hektare tersebut menjadi terancam,” ujar Dewi.

Meningkatnya eskalasi konflik agraria pasca-UU Cipta Kerja

Dewi menuturkan, kebijakan yang memberi kontribusi langsung dalam konflik agrarian dalam lima tahun terakhir adalah UU Cipta Kerja. Dominasi kepentingan swasta dalam mengakumulasi profit dibandingkan dengan memperluas kapasitas ekonomi rakyat memberi jalan bagi kemudahan perampasan tanah.

Dalam ribuan pasal UU Cipta Kerja, sambung Dewi, pengaturan mengenai kemudahan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan untuk memiliki tanah maupun akses dalam pengusahaan tanah praktis tidak diberikan. Pengaturan tersebut terpampang mulai dari perizinan dunia usaha, pengadaan tanah, penetapan kawasan hutan, hingga perencanaan dan penetapan proyek strategis nasional.

“Hal tersebut telah merugikan masyarakat luas sebab beberapa pengaturan dalam UU Cipta Kerja yang digunakan sebagai dasar perampasan tanah sekaligus menghambat reforma agraria justru dengan cepat diundangkan,” ucap Dewi.

Beberapa di antaranya, lanjut Dewi, adalah pembentukan badan Bank Tanah, munculnya Hak Pengelolaan (HPL) sebagai hak baru, meningkatnya impor pangan, perlakuan khusus bagi pengusaha tambang dan hilangnya hak veto rakyat, dan meningkatnya ancaman perampasan pesisir dan wilayah tangkap nelayan atas nama kebijakan/kawasan strategis nasional.

Dewi menyebut, selain diperhadapkan dengan hyper regulation, temuan lainnya ialah masyarakat mulai terdampak dari UU Cipta Kerja. Khususnya terkait dampak yang dialami oleh petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan kelompok miskin lainnya sebagai konstituen yang harus diutamakan dalam pembangunan nasional.

Konsepsi reforma agraria Prabowo-Gibran

Merujuk pada dokumen Asta Cita, Dewi melanjutkan, kebijakan reforma agraria dimasukkan ke dalam Asta Cita kedua di bawah Program Swasembada Pangan. Tepatnya, “Menjalankan agenda reformasi agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani dalam arti luas sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan”.

Dalam kerangka ini, Asta Cita menempatkan bahwa tujuan reforma agraria adalah peningkatan produksi dalam dimensi luas berbagai bidang agraria di bawah payung swasembada pangan. Selanjutnya RPJMN 2025-2029, merumuskan lebih teknis kerangka reforma agraria ke dalam “Kebijakan Pembangunan Wilayah dan Sarana Prasarana”. Terjemahan Asta Cita terkait pangan dan reforma agraria di dalam RPJMN dapat kita lihat dalam gambar di bawah ini.

“Bertolak dari dua hal tersebut, dapat dilihat bahwa reforma agraria dalam Asta Cita ditempatkan sebagai landasan dasar bagi pembangunan pertanian. Namun dalam penerjemahan oleh Bappenas, reforma agraria kembali dikerdilkan dan diterjemahkan sebagai program sertifikasi tanah.” kata Dewi.

Sejatinya, lanjut Dewi, Presiden Prabowo memiliki momentum menjalankan reforma agraria di bawah komandonya. Terutama jika melihat 3 program prioritas dan unggulan Prabowo, yakni swasembada pangan, pengentasan kemiskinan dan program makan bergizi gratis.

Dalam konteks swasembada pangan. Dewi berpendapat, jika mau berhasil berswasembada, Presiden Prabowo sudah semestinya meletakkan reforma agraria sebagai landasan utama. Pemerintah harus menaikkan level targetnya menjadi kedaulatan pangan, dimana pelaksanaan reforma agraria menjadi fondasi pembangunan pertanian dan pedesaan.

Pada konteks agenda pengentasan kemiskinan, pembangunan yang bersifat distributif kekayaan melalui redistribusi tanah dan penataan ulang luas pertanian (dari gurem ke non gurem) akan memperkuat kemampuan produksi pertanian, mendorong terjadinya surplus ekonomi, lalu penciptaan pasar baru sebagai dasar pembangunan industri pertanian.

“Dengan kata lain soal kemiskinan dapat diselesaikan melalui pelaksanaan reforma agraria terutama redistribusi tanah dan dukungan program pendukungnya, land reform plus atau land reform yang disempurnakan sebagai reforma agraria," ujar Dewi.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah momentum lainnya bagi pelaksanaan Reforma Agraria. Jika dikelola dan diarahkan dalam pemihakan kepada petani, peternak dan nelayan, program MBG akan membuka peluang pasar yang sangat besar bagi produk hasil pertanian, peternakan, dan perikanan rakyat. Keragaman dan kekayaan pangan lokal pun akan menemukan momentumnya agar menjadi konsumsi unggulan masyarakat Indonesia.

Namun di sisi lain, reforma agraria juga menghadapi tantangan dari program Presiden Prabowo itu sendiri, terutama terkait program pangan. Sebab, Prabowo hendak mencapai program swasembada pangan melalui food estate, militerisasi pangan, pengadaan tanah demi proyek peternakan sapi.

Urgensi Pemerintahan Prabowo membentuk Undang-Undang Reforma Agraria

“Sebagai kepala negara, Presiden Prabowo memiliki kewenangan dalam menghasilkan UU bersama DPR. Bagaimana seharusnya pemerintahan Prabowo memperkuat reforma agraria dari sisi hukum?” kata Dewi.

Dewi menjelaskan, selain amanat UU Pembaruan Agraria (UUPA) Tahun 1960, reforma agraria adalah amanat reformasi yang tertuang dalam Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Sebagai amanat reformasi, seluruh presiden di masa reformasi merencanakan menjalankan reforma agraria. Namun dengan payung hukum pelaksanaan yang lemah.

Menurut Dewi, salah satu kelemahan dari sisi pelaksanaan kedua pemerintahan ini adalah sisi kebijakan hukum. Pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada satupun kebijakan yang terkait langsung dengan pelaksanaan reforma agraria. Sementara, pada masa Pemerintahan Jokowi mengeluarkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.

KPA, kata Dewi, memandang lambatnya pelaksanaan Perpres 86/2018 sebagaimana diubah oleh Perpres 62/2023, dikarenakan komando kelembagaan reforma agraria tidak di bawah presiden langsung, ditambah juga dengan tidak memiliki kewenangan yang eksekutorial dan bersifat lintas sektor.

“Terutama untuk mempercepat redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria dan pemberdayaan dan pembangunan ekonomi,” tuturnya.

Dengan tujuan seperti itu maka dalam RUU Reforma Agraria ke depan, pemerintah akan memiliki panduan utuh pelaksanaan reforma agraria, antara lain pendataan dan pencatatan seluruh tanah Indonesia termasuk kawasan hutan untuk memperoleh data struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Kemudian, penerimaan pendaftaran lokasi reforma agraria dari bawah oleh masyarakat, penyelesaian konflik pada wilayah-wilayah atau desa-desa yang berkonflik, redistribusi tanah untuk penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta sumber agraria lainnya sehingga menjadi berkeadilan dan ekologis.

“Selanjutnya, penguatan hak, berupa pemberian jaminan hukum dan/atau legalitas hak atas tanah, dan pemberdayaan melalui penyediaan program pendukung kepada subjek reforma agraria dalam rangka meningkatkan pemanfaatan tanah, produksi dan ekonomi rakyat,” kata Dewi.

Menurut Dewi, reforma agraria merupakan sebuah kebijakan strategis yang sangat penting dalam mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah dan penguasaan atas kekayaan alam di Indonesia. Reforma agraria bertujuan untuk memastikan bahwa tanah dan sumber agraria dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana Pancasila dan mandat Undang-Undang Dasar 1945.

SHARE