Surat Terbuka Kaoem Telapak kepada Presiden Prabowo

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Kamis, 23 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sudah genap bekerja 100 hari. Beberapa wacana serta kebijakannya menjadi sorotan Kaoem Telapak. Soal perluasan perkebunan sawit yang sempat disebutkan Prabowo dalam pidatonya dalam Musrenbang RPJMN 2025-2029 pada 30 Desember 2024, misalnya.

Dalam surat terbukanya, yang ditujukan kepada Presiden Prabowo, Kaoem Telapak mengakui pentingnya peran strategis industri sawit untuk kedaulatan ekonomi Indonesia. Namun, kelompok masyarakat sipil yang fokus terhadap isu kelestarian lingkungan serta tata kelola sektor kehutanan ini merasa perlu memberikan informasi tambahan yang berbasis data dan kajian, yang dapat menjadi masukan strategis untuk mendukung keberlanjutan industri ini tanpa merugikan daya dukung lingkungan, hak masyarakat, dan posisi internasional Indonesia.

Kaoem Telapak mengatakan, kajian yang mereka terbitkan pada November 2024 lalu, tentang kebijakan industri sawit dilihat dari perspektif ekonomi dan daya dukung daya tampung lingkungan hidup (D3TLH), menunjukkan beberapa temuan krusial. Temuan dimaksud mulai dari persoalan deforestasi hingga dampak positif moratorium sawit.

Kaoem Telapak menjelaskan, hutan primer dan lahan gambut memiliki kapasitas penyerapan karbon yang jauh lebih besar dibandingkan perkebunan sawit. Sehingga konversi atau alih fungsi hutan menjadi kebun sawit tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga melepaskan karbon yang tersimpan di dalam tanah, memperburuk krisis iklim.

Tampak dari ketinggian areal hutan alam yang dibabat oleh PT Tunas Sawa Erma untuk perkebunan sawit di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Izin persetujuan pelepasan kawasan hutan perusahaan tersebut termasuk dalam izin konsesi kehutanan yang dicabut oleh Menteri LHK pada 5 Januari 2022 lalu./Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace

Pada 2021-2022, perkebunan sawit diperkirakan menjadi salah satu kontributor utama deforestasi di Indonesia, melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 200 juta metrik ton per tahun. Data dari The TreeMap menunjukkan bahwa pada 2023, ekspansi perkebunan sawit di Indonesia telah menyebabkan konversi 30.000 hektare hutan, meningkat sebesar 36% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Beberapa wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit yang ada telah melampaui daya dukung ekosistem, mengancam keseimbangan ekologis,” kata Kaoem Telapak, dalam surat terbuka yang ditandatangani oleh Abu Meridian, Campaign Leader Kaoem Telapak, Selasa (21/1/2025).

Hasil kajian Kaoem Telapak juga menunjukkan bahwa ekspansi pertanian, termasuk sawit, merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap keanekaragaman hayati. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang memiliki hutan dataran rendah dengan kekayaan spesies paling tinggi di dunia. Oleh karena itu, ekspansi sawit yang banyak terjadi di hutan dataran rendah menjadi ancaman luar biasa terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.

Kaoem Telapak juga menyebut konflik agraria terkait pembangunan perkebunan sawit sudah cukup kronis. Terdapat lebih dari 1.100 kasus konflik di area perkebunan sawit, yang sebagian besar dipicu oleh perolehan lahan tanpa persetujuan masyarakat, pelanggaran skema kebun plasma, dan perizinan yang tidak sesuai prosedur.

Mengenai produktivitas sawit nasional, Kaoem Telapak menemukan bahwa produktivitas minyak sawit nasional saat ini berada pada kisaran 3,6 ton CPO per hektare, jauh di bawah potensi optimal sebesar 6-8 ton per hektare. Dengan penerapan teknologi replanting dan praktik good agriculture, produktivitas dapat ditingkatkan tanpa memerlukan ekspansi lahan baru.

“Kajian kami menunjukkan bahwa moratorium sawit yang didukung oleh program replanting dapat menciptakan output ekonomi hingga Rp30,5 triliun pada tahun 2045, dibandingkan dengan skenario tanpa moratorium yang diproyeksikan justru menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp30,4 triliun. Program ini juga dapat menciptakan hingga 827.000 lapangan kerja dalam jangka panjang,” tulis Kaoem Telapak.

Atas temuan-temuan tersebut, Kaoem Telapak menyarankan Pemerintahan Presiden Prabowo agar fokus pada peremajaan perkebunan dan penerapan praktik good agriculture untuk memaksimalkan produktivitas, yang dapat menghasilkan pendapatan lebih besar tanpa pembukaan lahan baru.

Kaoem Telapak juga meminta pemerintah menerbitkan peraturan presiden yang memperkuat moratorium kelapa sawit, termasuk penghentian izin baru dan penguatan tata kelola berbasis prinsip keberlanjutan. Rekomendasi berikutnya adalah pemberian sanksi tegas kepada perusahaan sawit yang melanggar peraturan, terutama terkait kawasan hutan dan hak masyarakat adat. Yang terakhir, Kaoem Telapak meminta pemerintah mengarahkan kebijakan pada pengembangan produk hilir, seperti bioenergi dan oleokimia untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing di pasar global.

“Pidato Bapak menegaskan pentingnya kelapa sawit sebagai aset nasional yang strategis. Dengan langkah-langkah strategis yang tepat dan berbasis pada prinsip keberlanjutan, kami yakin kelapa sawit tidak hanya menjadi komoditas unggulan domestik, tetapi juga simbol komitmen Indonesia pada keberlanjutan global,” kata Kaoem Telapak.

SHARE