Pembabatan 20 Juta Ha Hutan akan Menjadi Bencana Ekologis

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 22 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wacana alih fungsi kawasan hutan seluas 20 juta hektare (ha), untuk pemenuhan kebutuhan energi dan pangan, yang disampaikan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, mendapat penentangan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil. Sebab bila hutan yang luasnya hampir dua kali luas Pulau Jawa itu dibabat, maka itu sama saja mengundang bencana ekologis sekaligus mengancam ketahanan nasional.  Selain itu, rencana ambisius ini juga dianggap tidak logis, baik dari secara hitungan ekonomi maupun ekologis.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024, peruntukan 20 juta ha bakal digunakan untuk mencapai swasembada energi. Aliansi beranggapan pemerintah berusaha memangkas ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) dengan pengembangan bioenergi. Terkait bioenergi, kebijakan biodiesel sedang didorong untuk pengembangan B40. Pengembangan biodiesel sendiri sudah menciptakan dinamika ketika minyak sawit harus berbagi peran antara pemenuhan kebutuhan pangan dengan energi (food vs fuel).

Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien, produksi bahan bakar nabati, seperti sawit, jelas perlu memperhatikan daya dukung lingkungan. Riset Satya Bumi dengan lembaga lainnya (2024) menunjukkan nilai batas atas 'cap' sawit Indonesia berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) hanya sampai pada angka 18,15 juta hektare. Sementara berdasarkan data MapBiomas 2022, luas perkebunan sawit existing sudah mencapai 17,77 juta ha (MapBiomas 2022).

“Rencana perluasan 20 juta ha lahan ini berpotensi menambah luas perkebunan sawit existing hingga lebih dari dua kali lipat dari kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan. Beban lingkungan ini tentunya akan mengakibatkan kerusakan lingkungan semakin parah hingga terancamnya keberlangsungan hidup manusia dan biodiversitas,” ujar Andi, Senin (20/1/2025).

Tampak dari ketinggian hutan alam di Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara./Foto: Auriga Nusantara

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, pun menyebutkan, pembukaan 20 juta ha menciptakan peluang sangat besar terjadinya penambahan luasan sawit. Tren alih fungsi lahan pangan semakin mengkhawatirkan terutama dalam konteks perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi perkebunan sawit.

“Kami menemukan terdapat fakta pencetakan sawah baru berakhir menjadi perkebunan sawit. Berdasarkan hitungan kami menemukan bahwa alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan sawit di era pemerintahan Jokowi (2015-2024) seluas 698.566 ha atau 69.856,6 ha per tahun. Sumber-sumber lahan pangan tersedia saat ini jelas-jelas terancam eksistensinya dan jika terus terjadi akan mengganggu sistem pangan Indonesia,” kata Surambo.

Surambo menambahkan, kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian dari konversi. Namun, efektivitas dan implementasi kebijakan ini masih perlu dipertanyakan mengingat masih ditemukannya alih fungsi lahan pangan yang terjadi.

Selain biodiesel, biomassa juga menjadi sumber energi yang paling didorong dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional terbaru, terutama biomassa kayu. Namun, dorongan paling besar dalam produksi biomassa kayu adalah untuk pasar ekspor. Padahal perluasan izin hutan tanaman energi (HTE) untuk ekspor biomassa berbentuk pelet kayu telah mengakibatkan deforestasi hutan alam dan penyingkiran masyarakat adat.

Menurut Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, saat ini beberapa izin seperti PT Malinau Hijau Lestari di Kaltara dan PT Biomassa Jaya Abadi di Gorontalo terbukti melakukan deforestasi untuk memproduksi pelet kayu dengan menyasar pasar Korea Selatan dan Jepang.

“Jadi kalau rezim ini mau mengalokasikan hutan 20 juta ha untuk kebutuhan pangan dan energi serta mengklaim bahwa tidak akan mengakibatkan deforestasi, maka itu adalah klaim yang keliru. Riset kami menunjukkan bahwa kebutuhan HTE untuk memenuhi kebutuhan nasional 10 juta ton pelet kayu, akan mendorong deforestasi hingga 1 juta ha. Ditambah dengan permintaan pasar ekspor, maka potensi deforestasi akan jauh lebih besar,” ucap Amalya.

Riset Trend Asia menunjukkan, Indonesia mendorong program biomassa dengan mencampurnya di PLTU dengan cara co-firing dan pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) di tiap provinsi. Dari program co-firing saja, Indonesia membutuhkan HTE seluas 2,3 juta ha.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024 menjelaskan asal 20 juta ha itu akan dicadangkan. Sebanyak 15,53 juta ha dari lahan belum berizin, ditambah 5,07 juta ha yang sudah berizin. Yang sudah berizin di dalamnya termasuk perhutanan sosial sekitar 1,9 juta ha. Sementara yang belum berizin dengan total 15,53 juta ha, itu rinciannya 2,29 juta ha hutan lindung dan 13,24 juta ha hutan produksi.

“Apabila Raja Juli mengalokasikan 15,53 juta hektare kawasan hutan belum berizin sebagai cadangan untuk pangan dan energi, ini sama dengan rencana untuk mengeluarkan izin-izin baru. Sebelum mencadangkan program-program sebagai kamuflase untuk izin baru, seharusnya Kementerian Kehutanan berbenah, terutama terkait tata batas,” ujar Amalya.

Sementara itu, Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menilai alokasi 20 juta ha lahan untuk sawit berpotensi memicu bencana ekologis. Dari 3,3 juta hektare lahan yang direncanakan diputihkan, 407.267 ha masuk dalam Kesatuan Hidrologis Gambut dengan 84%-nya berada di fungsi lindung (Pantau Gambut, 2023).

“Monokultur sawit menyebabkan deforestasi, kerusakan hidrologis, pelepasan emisi besar, banjir, dan kekeringan,” ujar Abas.

Rencananya, pemerintah akan terus mengembangkan food estate. Proyek food estate yang mengusung konsep monokultur untuk penyediaan pangan telah menunjukkan kegagalan sejak era Soeharto melalui Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektare pada 1997, dan berlanjut hingga era Jokowi sejak 2020. Bahkan, ditemukan keberadaan sawit di kawasan lokasi food estate Kalimantan Tengah, yang pada 2023 mencatat kebakaran 91.352 ha.

Eksploitasi lahan seperti ini hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara dampak ekologis dan kesejahteraan masyarakat diabaikan. Lagi pula, perlu diingat kembali, kerugian ekonomi akibat pembukaan hutan jauh lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi yang mau diraih. Sebagai contoh, kerugian ekonomi dari kebakaran hutan dan lahan pada 2015, berdasarkan catatan Pemerintah, mencapai Rp220 triliun dan sekitar 500.000 orang mengalami gangguan kesehatan. Belum lagi kerugian dari keanekaragaman hayati.

Problem tersebut tidak terlepas dari tata kelola industri sawit yang masih diselubungi oleh praktik koruptif. Misalnya, penetapan tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung terhadap pejabat Eselon I dan II Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup atas dugaan penyelewengan penarikan denda administratif dari perusahaan yang menanam di kawasan hutan tanpa izin pelepasan hutan. Fakta ini membuktikan bahwa keinginan Presiden untuk menambah kebun sawit berisiko besar.

“Masifnya ekspansi sawit ditambah buruknya tata kelola berdampak pada konflik agraria yang juga diikuti dengan pendekatan keamanan, sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang berjuang mempertahankan lingkungan ataupun hak atas tanahnya harus dikriminalisasi dan bahkan kehilangan nyawa. Seperti yang dialami oleh almarhum Gijik, masyarakat adat dayak di Seruyan, Kalimantan Tengah, yang meninggal usai tertembak peluru tajam polisi,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional.

Ekspansi sawit berdampak signifikan pada bencana ekologis, seperti banjir, longsor, dan krisis iklim. Sejak 2015 hingga 2022, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa 90% kejadian bencana merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan cuaca ekstrem. Bencana ekologis yang terjadi ini telah menyebabkan 10.191 korban meninggal dan hilang selama periode 2015 hingga 2022 (Walhi, 2023).

Bukan hanya itu, sebanyak 43.302.392 jiwa menjadi korban luka, mengungsi dan terdampak (Walhi, 2023). Bencana ekologis ini juga menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Setidaknya sejak 2015 hingga 2022 negara harus menanggung kerugian sebesar Rp101,2 triliun.

“Jika rencana pembukaan hutan seluas 20 juta ha untuk pangan dan energi ini benar-benar dilakukan, maka akan memicu kiamat ekologis,” ujar Uli.

Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia menambahkan, rencana pembukaan hutan seluas 20 juta ha untuk mencapai mitos swasembada pangan itu mengulang cara kolonial dan orde baru. Ini menunjukkan watak pemerintah yang tidak pernah belajar dari kegagalan. Model pertanian korporasi yang rakus tanah luas, monokultur, pemaksaan benih dan pupuk kimia yang beracun telah berulang kali dilakukan dan telah mengalami kegagalan seperti proyek pertanian lahan gambut dan terakhir dengan proyek food estate.

“Tindakan ini juga bentuk abainya pemerintah terhadap rekomendasi Komite Hak Ekosob PBB karena tidak pernah menghormati hak persetujuan masyarakat adat, petani kecil dan perempuan, termasuk menghormati sistem pertanian lokal dan mendukung sistem produsen pangan skala kecil yang adalah pelanggaran hak atas pangan dan gizi,” ujar Marthin.

Sebaliknya, pendekatan dengan pertanian keluarga, petani kecil, dan produsen pangan skala kecil lainnya termasuk masyarakat adat di dunia telah berhasil memenuhi kebutuhan untuk mencapai kedaulatan pangan. Seharusnya pemerintah memastikan berjalannya reforma agraria yang sejati dari bawah, merombak alokasi penguasaan tanah untuk petani kecil/gurem, nelayan termasuk masyarakat adat.

“Negara seharusnya memprioritaskan reforma agraria, menata keadilan penguasaan tanah, penyelesaian konflik, pengakuan perlindungan dan pemulihan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal,” ujar Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang fokus pada penolakan proyek food estate di Merauke, Papua Selatan.

Untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah lebih memilih mencetak sawah baru sebagai pilihan utama, ketimbang optimalisasi lahan yang sudah ada. Mengacu pada data pemerintah, perhutanan sosial akan didorong untuk mewujudkan ketahanan pangan. Sekitar 1,1 juta ha perhutanan sosial disebut cocok untuk pengembangan padi gogo. Pengembangan pangan yang hanya berpusat padi atau beras sangat berbahaya bagi kedaulatan pangan nasional.

Dampak lanjutannya bisa berupa hilangnya pangan lokal, yang seringkali dalam konteks masyarakat adat, terhubung dengan kearifan lokal dan budaya. Ditambah konsumsi beras per kapita nasional justru cenderung stagnan bahkan menurun. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia pada 2021 sebesar 81,83 kilogram/kapita/tahun lalu menyusut menjadi 81,23 kilogram/kapita/tahun di 2023.

“Swasembada pangan, yang dicita-citakan pemerintah saat ini, dengan mendorong sumber pangan dari satu komoditas tertentu hanya akan mengulang kesalahan rezim orde baru,” ujar Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Refki bilang, pembukaan hutan yang masif akan memperparah krisis iklim. Krisis iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah memperlambat produksi pertanian global sebesar 21%. Indonesia sebagai daerah yang lebih hangat mengalami dampak yang lebih parah di mana penurunan produktivitasnya mencapai 30-33%.

Adapun menurut Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, dari sudut pandang ekonomi, kelestarian hutan merupakan tabungan bagi kehidupan manusia dan peningkatan kesejahteraan, antara lain melalui penyediaan air, keanekaragaman hayati, menjaga keseimbangan ekosistem, dan kontribusinya dalam mitigasi krisis klim.

“Membabat 20 juta ha hutan akan meningkatkan dua risiko terbesar global dalam 10 tahun ke depan mengacu kepada laporan survei terbaru the World Economic Forum. Pertama, cuaca ekstrem yang disebabkan krisis iklim, dan kedua, hilangnya keanekaragaman hayati dan keruntuhan ekosistem. Dua risiko tersebut bukan hanya risiko lingkungan tetapi risiko global yang dihadapi kita semua, termasuk dari sudut pandang ekonomi,” ujar Tata.

SHARE