Kasus Tambang Yu Hao, Lingk-AR Borneo: Buruk Hukum, Emas Dibelah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Selasa, 21 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dibebaskannya Yu Hao, warga negara China terdakwa kasus penambangan emas dan perak ilegal di konsesi PT Sultan Rafli Mandiri (SRM) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), dianggap cerminan penegakan hukum yang buruk. Putusan itu juga dianggap tak adil, bila dibandingkan dengan penegakan hukum terhadap para penambang skala kecil yang cenderung tak pandang bulu. Demikian menurut Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo).
Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, mengatakan akar persoalan kasus dugaan penambangan ilegal dengan terdakwa Yu Hao ini, yang telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1,020,622,071,350 menurut dakwaan JPU, berasal dari tata kelola pertambangan yang semrawut. Baik dalam hal lemahnya penegakan hukum, maupun pengawasan.
“Harapan Link-AR Borneo, Mahkamah Agung yang memeriksa perkara ini di tingkat kasasi, dapat menilai dan memberikan putusan hukum yang berani dan adil. Dan mendesak moratorium perizinan tambang beriringan perbaikan tata kelola pertambangan serta bersih-bersih perizinan yang melakukan kejahatan kehutanan dan kejahatan hak asasi manusia,” kata Syukri, Senin (20/1/2025).
Syukri menuturkan, praktik curang kegiatan tambang kini tidak hanya dilakukan oleh para penambang skala kecil, namun kegiatan tambang berizin juga sering melakukan tindakan ilegal, dengan menambang barang tambang yang tak sesuai dengan izin penambangannya.
“Izin yang didapat dari negara untuk menambang A, namun juga mengambil diam-diam emas yang lebih tinggi nilainya,” ujar Syukri.
Sampai 2025, lanjut Syukri, Link-AR Borneo belum menemukan data terkini terkait jumlah dan luasan perizinan tambang di Kalbar. Padahal pihaknya berharap data tersebut dapat diakses untuk mengefektifkan fungsi masyarakat dan berbagai lembaga dalam mengawasi praktik-praktik melenceng dari perusahaan tambang, untuk meminimalisasi kerugian negara, seperti yang terjadi saat ini pada kasus Yu Hao di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT SRM, di Ketapang.
Menurut Syukri, langkah kongkret yang paling tepat dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini adalah melakukan evaluasi dan peninjauan kembali semua perizinan tambang, eksplorasi maupun operasi produksi, yang telah diterbitkan, dan menerbitkan instruksi presiden untuk pelaksanaan moratorium pemberian izin tambang baru di Kalbar khususnya dan Indonesia umumnya.
Perjalanan kasus
Syukri menguraikan, kasus dugaan penambangan ilegal dengan terdakwa Yu Hao ini terjadi di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Tepatnya di wilayah yang diberikan izin oleh negara untuk korporasi pertambangan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) dan eks IUP PT Bukit Belawan Tujuh (PT BBT).
Kasus ini bermula dari laporan Direktur PT Bukit Belawan tujuh (PT BBTT) Dedy Rahmat kepada Korwas PPNS Mabes Polri dan PPNS Dirjen Minerba Kementerian ESDM, tentang aktivitas penambangan tanpa izin di dalam konsesi PT SRM. Menindaklanjuti laporan tersebut PPNS Ditjen Minerba melakukan serangkaian kegiatan pengawasan, pengamatan, penelitian dan pemeriksaan (Wasmatlitrik) di bawah koordinasi dan pengawasan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri.
Dalam Wasmatlitrik di lokasi terowongan milik PT SRM, ditemukan sejumlah alat bukti yang menjadi ciri khas pengolahan dan pemurnian emas antara lain pemecah batu (grinder), induction furnace, pemanas listrik, koli untuk melebur emas, cetakan bullion grafit, exhaust/kipas hisap, bahan kimia penangkap emas, garam, kapur dan peralatan yang digunakan untuk menambang antara lain blasting machine, lower dozer, dumptruck listrik dan lori.
Kementerian ESDM, dalam sebuah keterangannya, menyebut modus yang digunakan dalam tindak pidana ini adalah memanfaatkan lubang tambang dalam (tunnel) yang masih dalam masa pemeliharaan di WIUP dengan alasan kegiatan pemeliharaan dan perawatan, namun pelaksanaan kegiatan di tunnel yaitu melaksanakan blasting/pembongkaran menggunakan bahan peledak, kemudian mengolah dan memurnikan bijih emas di lokasi tersebut (di dalam tunnel). Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel tersebut dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas.
Dalam kasus ini, tersangka Yu Hao berperan sebagai pimpinan penambangan di bawah tanah (underground mining) di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalbar, pada kurun waktu Februari sampai dengan Mei 2024. Menurut Kementerian ESDM, kegiatan penambangan tanpa izin ini mengakibatkan kerugian negara atas hilangnya cadangan emas dan perak sebesar lebih kurang 774.200 gram dan cadangan perak lebih kurang 937.700 gram.
Ia dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ketapang melakukan penambangan tanpa izin yang melanggar pidana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dengan tuntutan hukuman lima tahun dan denda maksimal Rp50 miliar, subsider 6 bulan kurungan penjara, dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Ketapang.
Dalam perjalanan kasus, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang menjatuhkan vonis hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, terhadap terdakwa Yu Hao, dan juga dihukum membayar denda Rp30 miliar atau subsider 6 bulan kurungan, apabila terpidana tidak bisa membayar denda tersebut. Putusan tersebut tertuang dalam Nomor Perkara 332/Pid.Sus/PN Ktp. Lebih ringan dibanding tuntutan JPU.
“Yu Hao melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak, tercatat dengan Nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK. Namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak, yang dipimpin Isnurul S Arif, justru mengabulkan permohonan banding Yu Hao dan membebaskannya dari semua dakwaan dari putusan Pengadilan Negeri Ketapang,” kata Syukri.
Tidak terima dengan putusan vonis bebas Yu Hao, lanjut Syukri, JPU kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menandatangani akta permohonan kasasi No. 7/Akta.Pid/2025/apN-Ktp tertanggal 17 Januari 2025.
Histori konflik
Syukri menjelaskan, terdapat dua perusahaan pertambangan emas yang lokasi IUP-nya berdekatan di Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, yaitu PT SRM dan PT BBT. Namun izin PT BBT telah dicabut oleh Presiden pada 6 januari 2022 dan diumumkan oleh Kementerian ESDM pada April 2022 karena dianggap tidak beroperasi, alias menganggur.
Sedangkan PT SRM merupakan pemegang IUP Operasi Produksi No 40/1/IUP/PMA/2020 23 September 2020 berlaku hingga 9 juni 2030, dengan luas 99,90 hektare berstatus CNC-9 (telah memenuhi persyaratan administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan keuangan). Sertifikat ini diterbitkan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM. PT SRM tercatat berkantor di gedung Wisma Raharja lantai 8. Jalan Letjen TB. Simatupang Kav.1 RT.008/RW.003, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.
Perusahaan ini hingga Januari 2025 hanya melakukan aktivitas pemeliharaan, belum mendapatkan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) sejak 2021, dan belum mendapatkan persetujuan RKAB produksi 2024-2026 dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Selama RKAB belum disetujui, maka perusahaan ini tidak diperbolehkan melakukan aktivitas operasi produksi kembali.
Sejak September dan seterusnya November 2021, mesin generator diesel, kompresor, lori, panel listrik, bahan baku tambang (batu dan pasir), mulut terowongan dan pabrik pengolahan & pemurnian milik PT SRM disegel dan dipasang police line akibat kasus penggalian terowongan yang melampaui WIUP-nya (masuk ke wilayah WIUP PT BBT).
Selain itu perusahaan ini juga dilaporkan melakukan pencurian batu dengan kandungan emas di WIUP PT BBT serta 3 karyawan PT SRM dilaporkan memindahkan barang bukti sitaan (batu dan pasir) pada November 2021. Kasus tersebut tertuang dalam Laporan Polisi No.LP/B/0537/IX/2021/SPKT/Bareskrim Polri tertanggal 8 September 2021 & No.LP/A/0697/XI/2021/SPKT.Ditipidter/Bareskrim Polri, tertanggal 19 November 2021.
“Akibat laporan 8 September 2021 tersebut, Pamar Lubis selaku Direktur PT SRM ditetapkan sebagai tersangka dan Li Changjin selaku investor yang mendanai PT SRM masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO),” kata Syukri.
Dalam prosesnya, lanjut Syukri, PT SRM berdalih gara-gara penyegelan dan diblokirnya rekening perusahaan, perusahaan itu tidak dapat memberikan upah selama berbulan-bulan kepada ratusan buruhnya. Selama penyegelan berlangsung, perusahaan sama sekali tidak diperbolehkan melakukan aktivitas operasi produksi, sehingga buruh menghadapi kondisi kepastian kerja yang sangat buruk, mereka menganggur dengan upah yang hak upah yang belum terbayarkan. Bagian kerja yang tetap beroperasional adalah pekerjaan maintenance atau pemeliharaan, terutama di dalam terowongan.
Selain itu, PT SRM juga memiliki track record buruk sejak awal. Hal itu berkaitan dengan konflik agraria dengan masyarakat pemilik lahan meliputi nilai dan pemberian ganti rugi lahan yang tidak adil, dugaan manipulasi hasil produksi emas untuk menurunkan besaran pajak yang disetor ke negara, dugaan penggunaan tenaga kerja asing ilegal, tindak pidana pencucian uang, penggunaan air raksa/merkuri (Hg) dengan kandungan yang cukup tinggi yang membahayakan lingkungan dan keselamatan buruh dan masyarakat sekitar dan manipulasi perizinan dari commanditaire vennootschap (CV) yang berubah ke perseroan terbatas (PT), hingga peningkatan penanaman modal asing (PMA).
“Fantastisnya, PT SRM lepas dari semua jeratan hukum yang dilaporkan oleh PT BBT, hingga Direktur PT SRM divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ketapang, 1 Februari 2024,” kata Syukri.
Syukri melanjutkan, karena lepas dari semua dakwaan, PT SRM selanjutnya kembali merencanakan operasionalisasi perusahaan pada Februari 2024. Namun akibat belum mendapatkan persetujuan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) dari Ditjen Minerba, maka perusahaan ini belum dapat beroperasi seperti sedia kala.
Sembari menunggu RKAP terbit, PT SRM hanya dapat melakukan pemeliharaan. Namun dalam proses pemeliharaan di dalam terowongan, sejak Februari hingga Mei 2024, Yu Hao selaku Maintenance Reliability Specialist PT SRM dilaporkan ke pihak kepolisian oleh direktur PT BBT. Dengan tuduhan melakukan penambangan tanpa izin di area pemeliharaan yang belum disetujui RKAP-nya.
Syukri menyebut histori konflik yang terjadi antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat, bahkan konflik antara PT SRM dengan PT BBT hingga penangkapan Yu Hao sampai diputus bebas di Pengadilan Tinggi Pontianak, mencerminkan kesemrawutan tata kelola pertambangan di Kalbar. Selain itu, akibat tidak sanggupnya negara mengurusi perizinan yang telah mereka terbitkan, negara malah mengalami kerugian fantastis mencapai Rp1,02 trilliun yang diakibatkan dalam kasus Yu Hao ini.
“Berlarutnya masalah ini menggambarkan fungsi pengawasan negara yang sangat lemah atas izin yang telah mereka terbitkan. Yang telah melahirkan konflik agraria di banyak pedesaan di Kalimantan Barat. Dan seterusnya merugikan buruh karena tidak mendapatkan kepastian kerja serta jaminan atas pembayaran upahnya,” ucap Syukri.
Menurut pengamatan Link-AR Borneo, keberadaan perusahaan tambang di Kalbar tidak sepenuhnya memajukan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Yang terjadi justru menghilangkan hak-hak masyarakat adat yang secara lanjut akan mengikis identitas serta karakteristiknya sebagai masyarakat adat.
Lebih jauh, imbuh Syukri, pertambangan sudah terbukti menjadi industri paling destruktif karena deforestasi yang diakibatkannya. Tidak ada satupun bukti proyek reklamasi tambang yang dapat memulihkan kembali lokasi yang telah ditambang di Kalbar. Selain karena biayanya yang mahal dan memang tidak ada kesungguhan untuk mengawasinya.
Terlebih tambang emas skala besar yang beroperasi membangun terowongan besar di dalam tanah, menggunakan bahan peledak serta berbagai bahan kimia berbahaya dalam proses mendapatkan, pengolahan dan pemurnian seperti air raksa/merkuri (Hg) yang berisiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan buruh, masyarakat sekitar serta kelestarian alam.
Syukri bilang, Kalbar memiliki deposit barang tambang yang besar. Posisi pertama diduduki bauksit yang menjadi primadona negara asing. Karena diproses menjadi aluminium untuk kepentingan produk elektronik, bahan stainless serta bahan campuran untuk industri motor dan mobil listrik di saat dunia sedang mengalami demam solusi palsu dari tambang nikel dan bauksit untuk program transisi energi melalui produksi besar-besaran kendaraan listrik dan elektronik.
“Deposit bauksit yang terdapat di Kalbar merupakan deposit terbesar se-Indonesia. Selain bauksit, juga terdapat banyak deposit emas, perak, uranium, batu bara, timah, pasir besi dan lain-lain,” katanya.
Pada 2014, lanjut Syukri, tercatat 813 izin pertambangan dengan luas 5,4 juta hektare diberikan oleh pemerintah kepada korporasi di Kalbar. Itu meliputi IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Selanjutnya pada 2015, terdapat 191 izin pertambangan dengan total luasan 1,2 juta hektare yang dicabut izinnya, sehingga tersisa 622 izin dengan luasan 4,19 juta hektare di Kalbar.
“Dapat terbayang berapa banyak izin yang tak sanggup diawasi oleh negara. Yang saat ini tanggung jawab pemberian izin dan pengawasannya dimonopoli Kementerian ESDM di level pemerintah pusat pasca-revisi Undang-Undang Minerba,” kata Syukri.
SHARE