Kemampuan Serap CO2 Sawit Tak Sebanding Emisi Alih Fungsi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Senin, 20 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Julian Antoni, soal adanya 20 juta hektare (ha) kawasan hutan yang dapat digunakan sebagai lahan cadangan untuk memproduksi pangan dan energi, memperbesar peluang perluasan kebun sawit. Bila wacana ekspansi perkebunan sawit itu benar terjadi, terutama lewat alih fungsi lahan berhutan yang mengakibatkan deforestasi (penghilangan tutupan hutan), Sawit Watch menghitung peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi hal yang tak terhindarkan. "Emisi GRK dari alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan sawit itu tidak sebanding dengan potensi penyerapan karbon oleh sawit," kata Ahmad Surambo, Direktur Sawit Watch, Jumat (10/1/2025).

Ambisi perluasan sawit dengan mengabaikan deforestasi, menurut Surambo, adalah salah besar. "Sebab kemampuan sawit dalam menyerap karbon tak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan ketika alih fungsi terjadi,” kata dia lagi.

Surambo menjelaskan, tanaman sawit dewasa, usia 25 tahun, menyerap karbon sebesar 39,94 ton/hektare atau setara dengan 146,58 ton CO2-eq. Bagian tanaman yang mampu menyerap karbon paling besar adalah batang sawit yang mencapai 29,13 ton/ha atau setara dengan 106,91 ton CO2-eq. “Di sisi lain aktivitas perkebunan sawit justru menghasilkan emisi karbon, baik yang berasal dari operasional perkebunan sawit maupun ketika perubahan simpanan karbon,” kata Surambo.

Ia menjelaskan, laporan bertajuk "Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis" yang dipublikasikan Sawit Watch, menunjukkan bahwa aktivitas operasional kebun sawit dapat mengemisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 4.180-6.225 kg CO2-eq/ha/tahun. Serta perubahan simpanan karbonnya dapat memicu emisi GRK sebesar 680/96.000 kg CO2-eq/ha/tahun.

Deforestasi di konsesi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Betahita/Ario Tanoto

Kemudian, alih fungsi lahan menjadi sawit, sambung Surambo, dapat menyebabkan emisi GRK terjadi. Kondisinya akan berbeda bagi setiap karakteristik lahannya.

Hasil maksimum emisi yang dihasilkan sawit dalam menggantikan hutan di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq. Kemudian, angka maksimum emisi yang dihasilkan sawit menggantikan hutan di lahan mineral sebesar 835 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar 175 ton CO2-eq. Sedangkan hasil maksimum sawit menggantikan hutan di lahan gambut sebesar 1.835 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar 1.175 ton CO2-eq.

“Data ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, atau telah terjadi tekor antara yang keluar emisi CO2 dibandingkan yang diserap,” katanya.

Surambo mengatakan, simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan, terutama pada hutan di tanah mineral dan gambut. Alih fungsi lahan gambut memiliki dampak terburuk, dengan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq.

“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,” kata Surambo.

Menurut Surambo, lahan gambut menjadi contoh yang paling rentan, dan konversi lahan menghasilkan emisi yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mitigasi yang serius untuk menekan dampak alih fungsi lahan, terutama pada lahan gambut dan hutan di tanah mineral, sehingga emisi yang dihasilkan dapat dikontrol untuk menekankan proses-proses pengelolaan secara berkelanjutan. Selain itu perlu pula mempertimbangkan kebijakan perkebunan sawit, terutama untuk mencegah kerusakan dan fluktuasi simpanan karbon.

“Semua data ini kemudian memperjelas posisi di mana sebaiknya tanaman sawit tidak ditanam di lahan gambut untuk mendukung penyelamatan bumi dan memprioritaskan kelestarian lingkungan dengan menghindari penanaman sawit di lahan gambut yang berpotensi meningkatkan emisi GRK,” ujar Surambo.

Surambo mengatakan, rencana memperluas lahan sawit sepertinya perlu dipikirkan lebih matang. Upaya memperluas sawit atau ekstensifikasi hanya akan berdampak pada deforestasi yang lebih besar dan risiko yang lebih tinggi. Bahkan akan berkontribusi pada perubahan iklim dunia.

“Hasil riset terbaru kami, kemampuan lingkungan mendukung dan menampung pengembangan industri sawit (daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, D3TLH) di Indonesia hanya pada 18,15 juta hektare. Dan kita telah mendekati angka itu. Intensifikasi merupakan strategi paling masuk akal yang bisa diambil pemerintah. Sudah saatnya pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan,” ucap Rambo.

Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial terkait dengan lingkungan khususnya sawit dan deforestasi. Ia berpendapat ke depan Indonesia harus menambah penanaman sawit, dan tidak perlu takut hal tersebut akan menyebabkan deforestasi.

“Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ya dia menyerap karbondioksida, dari mana kok kita dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu,” kata Prabowo, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029 di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (30/12/2024).

SHARE