Program Kotor dengan Jepang Diminta Disetip

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Selasa, 14 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Program dan kerja sama yang ditawarkan Perdana Menteri (PM) Jepang yang baru, Ishiba Shigeru, saat melakukan lawatannya ke Indonesia, dianggap masih memberi ancaman dampak kerusakan terhadap warga dan lingkungan hidup di Indonesia. Kelompok masyarakat sipil menyerukan agar pemerintah membatalkan kerja sama tersebut.

Kepala Divisi Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Fanny Tri Jambore, mengatakan kesepakatan peningkatan kerja sama pasokan energi yang stabil antara Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia, tidak beranjak jauh dari upaya-upaya yang sebelumnya telah didorong oleh Jepang melalui Asia Zero Emission Community (AZEC), yang telah mendapatkan penolakan keras melalui petisi yang turut ditandatangani oleh 41 organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

Pertentangan dan penolakan tersebut disebabkan karena program kerja sama yang dibuat adalah untuk dekarbonisasi energi, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh di bawah AZEC, dan untuk hidrogen, amoniak, biofuel. Selain itu Ishiba Shigeru juga menyebut tentang kerja sama pada sektor pertambangan mineral kritis.

“Pada Agustus 2024 yang lalu, masyarakat sipil di Indonesia telah menyampaikan kritiknya terhadap AZEC, dan telah meminta untuk menghentikan implementasinya di Indonesia karena hanya akan memperpanjang penggunaan energi fosil, penggunaan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta pelanggaran hak asasi manusia,” kata Rere, sapaan akrab Fanny Tri Jambore, Senin (13/1/2025).

Presiden Prabowo Subianto saat berjabat tangan dengan PM Jepang yang baru Ishiba Shigeru, Sabtu (11/1/2025). Sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev.

Rere menguraikan, soal PLTP Muara Laboh yang secara spesifik disebut oleh PM Ishiba Shigeru, telah ada dampak terhadap lingkungan dan komunitas yang tinggal di lokasi PLTU. Dampak dimaksud termasuk adanya proses pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa dan diskriminatif, gagal panen petani akibat pencemaran dan berkurangnya pasokan air, ancaman gangguan kesehatan dan keselamatan masyarakat akibat konsentrasi gas beracun, serta memperparah dampak banjir akibat perubahan bentang alam.

PLTP Muara Laboh, lanjut Rere, mendapatkan investasi dari korporasi Jepang, INPEX dan Sumitomo Corporation. Pembangunan Tahap 1-nya telah mendapat pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI), dan sekarang pembangunan Tahap 2 tengah dipertimbangkan untuk mendapat dukungan juga dari JBIC dan NEXI.

Walhi, kata Rere, telah menyampaikan tuntutan kepada JBIC dan NEXI untuk berhenti mempertimbangkan dukungan terhadap proyek pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 yang dapat mengakibatkan perluasan dampak negatif terhadap lingkungan dan komunitas serta melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.

Pernyataan PM Ishiba Shigeru untuk mendorong implementasi hidrogen, amoniak, biofuel, dan sebagainya, serta mendorong pertambangan mineral kritis sebagai bagian dari kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama pasokan energi yang stabil serta upaya dekarbonisasi, semakin menunjukkan bahwa PM Ishiba Shigeru masih akan terus mendukung upaya memperpanjang penggunaan energi fosil, serta mendorong implementasi solusi palsu dalam transisi energi di Indonesia,” katanya.

Rere menjelaskan, penggunaan pendekatan dan teknologi-teknologi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mencapai target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris, dan dengan demikian tidak membantu memerangi perubahan iklim. Beberapa teknologi ini juga masih belum mapan, belum terbukti, dan sangat mahal.

Kemudian, mendorong pertambangan mineral kritis untuk mendukung upaya dekarbonisasi, sambung Rere, juga merupakan kontradiksi. Karena yang terjadi justru, kawasan-kawasan hutan sebagai wilayah serapan karbon terus mengalami perusakan akibat pertambangan mineral kritis.

Dari data pertambangan pada 2023, Walhi memperkirakan 1,3 juta hektare konsesi tambang mineral kritis di Indonesia, terletak dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, yang dapat memicu meningkatnya angka deforestasi dan kerusakan hutan.

Melihat besarnya ancaman kerusakan lingkungan hidup dan keselamatan komunitas, bila proyek-proyek dan kerja sama seperti yang termaktub dalam AZEC tersebut diimplementasikan, maka Walhi tetap menyerukan kepada Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan dan menghentikan inisiatif-inisiatif, proyek-proyek, dan perjanjian kerja sama yang memperpanjang penggunaan energi fosil, menggunakan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

“Dan meminta Pemerintah Jepang dan Pemerintah Indonesia bekerja sama serta mendukung dekarbonisasi/transisi energi yang cepat, adil, dan merata dengan cara yang dapat memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia,” ucap Rere.

SHARE