Kasus Korupsi Timah, Kejaksaan: Korporasi yang Bayar Kerusakan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Jumat, 10 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kasus tindak pidana korupsi komoditi timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menghasilkan kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp300.003.263.938.131,14. Dari angka tersebut sekitar Rp271.069.688.018.700 berasal dari kerugian lingkungan. Namun nasib pengembalian kerugian lingkungan itu masih belum pasti.
Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah IUP PT Timah, Tbk. Tahun 2015 sampai sengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei 2024 membagi kerugian negara menjadi tiga. Yang pertama, kerugian negara atas aktivitas kerja sama sewa menyewa alat peralatan processing pelogaman dengan smelter swasta sebesar Rp2.284.950.217.912,14 yang terdiri dari nilai pembayaran sewa smelter periode 2019-2022 sebesar Rp3.023.880.421.362,90 dan HPP smelter PT Timah periode 2018-2022 sebesar Rp738.930.203.450,76.
Yang kedua, kerugian negara atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, sebesar Rp26.648.625.701.519. Sedangkan yang ketiga adalah kerugian lingkungan sebesar Rp271.069.688.018.700. Kerugian lingkungan ini terdiri atas kerugian ekologi sebesar Rp183.703.234.398.100, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp74.479.370.880.000, dan biaya pemulihan sebesar Rp11.887.082.740.600.
Berdasarkan isi dokumen putusan perkara no. 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst dengan terpidana Harvey Moeis, disebutkan kerugian akibat kerusakan lingkungan senilai Rp271.069.688.018.700 diakibatkan oleh para terdakwa, melalui lima perusahaan smelter. Lima perusahaan itu adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Binasentosa (SB), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
Jumlah tanggung jawab kerusakan lingkungan masing-masing perusahaan smelter ini yaitu PT Refined Bangka Tin (RBT) sebesar Rp38,539,212,949,330.80, PT Sariwiguna Binasentosa (SB) sebesar Rp23,670,769,700,728.80, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) sebesar Rp24,311,841,441,084.40, PT Tinindo Inter Nusa (TIN) sebesar Rp23,670,769,700,728.80, dan CV Venus Inti Perkasa (VIP) sebesar Rp2,155,825,740,622.80.
Bila ditotal jumlah tanggung jawab kerusakan lingkungan yang dihasilkan lima perusahaan smelter ini sekitar Rp152,348,419,532,496. Sedangkan sejumlah Rp118,721,268,486,204.00 lainnya disebut dibebankan kepada pihak yang bertanggung jawab menimbulkan kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan periode 2015 sampai 2018.
Sejak persidangan kasus korupsi ini berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, belum ada terpidana yang dihukum melakukan pembayaran uang pengganti kerugian negara dari kerugian lingkungan. Sehingga pengembalian kerugian negara atas kerugian lingkungan, berikut biaya pemulihan lingkungan, masih belum jelas nasibnya.
Adapun hukuman membayar uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim kepada sejumlah terdakwa, merupakan uang pengganti atas uang negara yang hilang akibat dinikmati para terdakwa. Setidaknya ada 5 terdakwa yang dihukum bayar uang pengganti tersebut.
Mereka adalah Harvey Moeis mewakil PT Refined Bangka Tin (RBT) sebesar Rp210.000.000.000, Suparta Direktur Utama PT Refined Bangka Tin sebesar Rp4.571.438.592.561,56, Tamron alias Aon beneficial owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia sebesar Rp3.660.991.640.663,67, Suwito Gunawan alias Awi beneficial owner PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) sebesar Rp2.200.704.628.766,06, dan Robert Indarto Direktur PT Sariwiguna Binasentosa sebesar Rp1.920.273.791.788,36.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar menjelaskan, kerugian negara sebesar Rp300 triliun itu terdiri dari kerugian keuangan negara sebesar Rp29 triliun, dan kerugian akibat kerusakan lingkungan, yaitu senilai Rp152 triliun oleh 5 korporasi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan Rp118 triliun oleh ribuan perusahaan jasa usaha pertambangan kecil.
“Yang telah diproses terkait perorangan atau individu sebanyak 22 orang, tentu penetapan uang penggantinya berdasarkan seberapa besar hasil kejahatan yang dinikmati masing-masing, dan sudah melalui proses pemeriksaan persidangan,” kata Harli Siregar, Rabu (8/1/2025).
“Sedangkan untuk uang pengganti atas kerusakan lingkungan yang merupakan kerugian keuangan negara, akan dibebankan kepada para korporasi seeuai hasil audit ahli, antara lain 5 korporasi yang sudah ditetapkan menjadi tersangka,” imbuhnya.
Lima korporasi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang dimaksud Harli adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Binasentosa (SB), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP). Saat ini proses hukum terhadap korporasi-korporasi ini masih dalam tahap penyidikan.
“Perkara ini masih berproses. Jika sudah berkekuatan hukum tetap dan amarnya tetap dirampas untuk negara, maka barang rampasan tersebut akan dilelang untuk menutupi kerugian keuangan negara,” ucap Harli.
Harli menjelaskan, pertanggungjawaban atas uang pengganti didasarkan pada hasil audit ahli yang diverifikasi di persidangan. Menurut hukum, pihak yang dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan adalah pemegang IUP, dalam hal ini PT Timah. Namun dalam perjalanannya, para korporasi ini telah bekerja sama dengan PT Timah dan telah menikmati keuntungan atas kerugian kerusakan lingkungan yang dihasilkan.
“Syukurnya pengadilan sependapat dengan JPU bahwa kerusakan lingkungan juga merupakan kerugian keuangan negara, makanya para korporasi mulai ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Mengenai keraguan beberapa pengamat terhadap penghitungan nilai kerugian lingkungan, Harli justru mempertanyakan apa yang menjadi penyebab keraguan para pengamat itu muncul. Sebab kerugian lingkungan dalam kasus korupsi timah ini sudah diputuskan oleh pengadilan.
“Itu kan sudah atas dasar putusan pengadilan, berarti kan sudah diperiksa di pengadilan, lalu apa yang meragukan?” ujarnya.
Menurut Dr. Ahmad Rendi, SH. MH. M.SI., yang dihadirkan JPU sebagai ahli dalam persidangan Harvey Moeis, berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, disebutkan bahwa yang bertanggung jawab memulihkan kerusakan lingkungan adalah pemilik IUP. Namun dalam kenyataannya, pemilik IUP (PT Timah) tidak melakukan kegiatan pertambangan tersebut namun membeli hasil tambang dari para pemilik smelter dan pihak lain yang sumber mineralnya didapatkan secara melawan hukum berasal dari IUP pemilik IUP (PT Timah).
Terhadap aturan tersebut, Ahmad Rendi berpendapat, pertanggungjawaban pemulihan kerusakan lingkungan dapat dibebankan kepada para pemilik smelter dan pihak lain tersebut, hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 53 Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan “bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Kemudian, dalam Pasal 54 UU PPLH diatur bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, para pemilik smelter dan pihak lain yang sumber mineralnya didapatkan secara melawan hukum berasal dari IUP pemilik IUP (PT Timah) yang melakukan kerusakan lingkungan maka Ia harus bertanggung jawab terhadap penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan.
Sebelumnya Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB) University, Bambang Hero Saharjo, yang terlibat dalam penghitungan kerugian lingkungan dalam kasus korupsi timah, mengatakan total kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan totalnya mencapai Rp223,36 triliun, terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) sebesar Rp157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp60,27 triliun dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 triliun.
Sementara itu, kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan atau di areal penggunaan lain (APL) adalah biaya kerugian lingkungannya sebesar Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6,62 miliar sehingga totalnya Rp47,70 triliun.
"Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang Hero.
Angka kerugian lingkungan itu diperoleh berdasarkan penghitungan kerugian ekologi atau lingkungan dan verifikasi di lapangan, serta pengamatan dengan citra satelit dari 2015 sampai 2022. Hasil penghitungan itu menghasilkan bukti-bukti yang dapat membuat terang suatu tindak pidana, bahwa adanya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
SHARE