Uji Pasal IUP Tambang Ormas Agama Ditolak, MK: Karena Salah Kamar

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Sabtu, 04 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi soal pasal kewenangan pemerintah memberikan tambang untuk ormas keagamaan dalam UU No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Penggugat uji materi beranggapan putusan ini masih menyisakan multitafsir.

Putusan ini dibacakan oleh sembilan hakim konstitusi dalam persidangan Jumat (3/12/2024). 

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam persidangan yang disiarkan melalui akun youtube MK.

Majelis hakim juga menolak provisi pemohon seluruhnya. 

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Flickr)

Sebelumnya permohonan uji materi ini terdaftar dalam Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024. Akademisi sekaligus advokat, Rega Felix, memohonkan uji materi Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal 35 ayat (1) UU No Minerba.

Dalil Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana diubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Konstitusi karena memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Pemerintah Pusat untuk menetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan sebagaimana diatur dalam PP 25 Tahun 2024.

Pada pertimbangannya Mahkamah menilai permasalahan tersebut adalah substansi Pasal 83A ayat (1) PP 25/2024 yang merujuk pada ketentuan Pasal 6A ayat (1) UU Minerba.

“Oleh karena dalil Pemohon tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (1) huruf j UU Minerba melainkan berkaitan dengan legalitas peraturan pelaksana UU Minerba. Sehingga hal ini bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tulis putusan MK. 

Salah satu bekas Lubang tambang di Kalimantan Selatan/foto:Auriga Nusantara

Selanjutnya penawaran prioritas WIUPK kepada ormas yang belum memiliki pengalaman teknis dan dianggap merusak lingkungan, maka Mahkamah menilai bahwa UU Minerba telah menentukan skema untuk mendapatkan IUPK dalam menjalankan usaha bagi usaha swasta yang dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. Selaiknya peserta lelang harus memenuhi berbagai persyaratan. Syarat teknis dan pengelolaan lingkungan menentukan badan usaha diwajibkan memiliki pengalaman minimal tiga tahun di bidang pertambangan minerba. 

Sementara bagi badan usaha baru yang belum memiliki pengalaman, dukungan dari perusahaan lain yang bergerak di bidang pertambangan menjadi syarat wajib agar standar teknis tetap terpenuhi dengan syarat secara absolut tidak boleh mengalihkan hak atau izin kepada pihak lain. Tujuannya memastikan pihak yang terlibat memiliki rekam jejak dan kapasitas dalam melaksanakan kegiatan pertambangan. 

Di samping itu, badan usaha harus memenuhi persyaratan teknis dan pengelolaan lingkungan dengan personil yang berpengalaman minimal tiga tahun di bidang pertambangan dan/atau geologi. 

Peserta lelang diwajibkan menyusun rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) selama kegiatan eksplorasi yang juga menjadi instrumen pengawasan untuk memastikan badan usaha menjalankan kegiatan dengan standar teknis dan lingkungan yang berlaku.

“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, berkenaan dengan dalil penawaran WIUPK secara prioritas dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j UU Minerba akan berdampak pada kerusakan lingkungan adalah dalil yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tulis putusan tersebut. 

Terpisah, Rega Felix, berpendapat putusan MK mengandung multitafsir karena terdapat inkonsistensi pada pertimbangan hakim. Pada awal pertimbangan hakim menyebutkan prioritas pertambangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf J UU Minerba bertautan dengan Pasal 75 UU Minerba yang didalamnya mengatur pemberian prioritas kepada BUMN dan BUMD dan kewajiban lelang terhadap swasta.

Sedangkan pada pertimbangan lain MK menyebutkan Pasal 6 ayat 1 huruf j UU Minerba menjadi instrumen afirmatif. Ini multitafsir apakah instrumen afirmatif yang memberikan prioritas tetap terikat aturan lelang atau tidak seperti BUMN dan BUMD.

“Nah, pada ormas, entah melalui badan usaha atau apapun, ini akan masuk kemana. Apakah masuk melalui lelang atau prioritas sendiri. Ini yang menimbulkan polemik dan ujungnya memunculkan gugatan. Entah nanti melalui uji materi terhadap PP 25 Tahun 2024 atau kalau mau menggugat IUP yang diberikan melalui PTUN,” ujarnya melalui telepon kepada redaksi.

MK pun, menurutnya, di akhir terkesan melempar bola atas polemik ini ke MA karena dianggap bukan ranahnya menguji PP 25 Tahun 2024, tapi pertimbangan yang diberikan cukup ambigu karena menyisakan persoalan hukum lain.

Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Wahyu A Perdana, menyebutkan kesan mengalihkan pokok uji materi tersebut ke MA sangat kental dalam pertimbangan tersebut. Berkali-kali MK menyebutkan PP 25 Tahun 2024 dalam pertimbangannya, jika dihitung terdapat 50 kali peraturan itu tersebut dalam putusan. “Artinya permasalahan ini masih terus bergulir di MA,” ucapnya.

SHARE