Walhi Sulteng: 53 Tambang Nikel Keroyok Morowali, Banjir pun Jadi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Senin, 06 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivitas pertambangan di pegunungan Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) dianggap sebagai biang terjadinya banjir lumpur yang sejak beberapa tahun belakangan rutin melanda wilayah sekitar kawasan industri nikel, terutama di Desa Labota. Masyarakat sipil meminta pemerintah untuk melakukan moratorium dan evaluasi izin tambang di pegunungan itu.
Berdasarkan analisis spasial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, terdapat 53 izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi yang beroperasi di Morowali. Total luas konsesi tambang nikel ini mencapai 118.139 hektare, terbesar di antaranya adalah milik PT Bintang Delapan Mineral seluas 20.765 hektare. Konsesi-konsesi tambang ini terletak di hampir sepanjang lanskap pegunungan Morowali.
Juru Kampanye Walhi Sulteng, Wandi, mengatakan, menurut laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulteng, sebanyak 200 jiwa di Desa Labota, terdampak langsung banjir dan terpaksa mengungsi ke rumah kerabat. Selain itu, lima unit indekos dilaporkan terendam, dengan satu unit mengalami kerusakan ringan, hingga saat ini air masih menggenang di beberapa titik desa.
Wandi menilai, bencana ekologis yang terjadi di Desa Labota ini menjadi peringatan bahwa daya tampung dan daya dukung lingkungan tidak lagi seimbang. Itu dikarenakan eksploitasi sumber daya alam yang membuat pepohonan mulai hilang, dan bukaan tambang yang meluas hingga mengakibatkan resapan air hujan ke dalam tanah berkurang, sehingga dengan mudahnya air cepat mengalir membawa material tanah ke daratan rendah.
Lonjakan peningkatan aktivitas tambang nikel di Morowali, lanjut Wandi, merupakan program dari hilirisasi nikel, yang diprioritaskan oleh pemerintah pusat. Hampir sebagian besar tambang-tambang beroperasi tersebut merupakan pemasok ore nikel di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
“Jika aktivitas pertambangan hanya dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi semata oleh pemerintah, maka bencana ekologis ke depan makin parah, dan paparan daya rusaknya makin luas. Masyarakat hanya menjadi korban dari dampak ekstraktif,” kata Wandi, Selasa (31/12/2024).
Wandi menguraikan, IMIP merupakan kawasan industri nikel yang memiliki luas sekitar 4 ribu hektare, terletak di Desa Fatuvia dan Desa Labota, Kecamatan Bahodopi. Di kawasan itu terdapat 52 tenant yang beroperasi dan saling terintegrasi memproduksi empat klaster nikel, yaitu stainless steel, nickel pig iron (NPI), carbon steel, dan mixed hydroxide precipitate (MHP) untuk komponen baterai.
Per 2023, terhitung sudah hampir 10 tahun PT IMIP beroperasi dan terus memberikan dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat Desa Fatuvia dan Desa Labota. Akan tetapi, imbuh Wandi, selama ini seperti ada pembiaran yang dilakukan oleh perusahaan.
Atas situasi tersebut, lanjut Wandi, Walhi Sulteng mendesak pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), segera melakukan moratorium dan evaluasi terhadap seluruh aktivitas pertambangan yang beroperasi di wilayah pegunungan Morowali.
Sebab aktivitas tambang di pegunungan itu diduga sebagai faktor utama penyebab terjadinya banjir yang mengorbankan masyarakat. Apalagi Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat jelas mengamanatkan tentang pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan.
“Jika ditemukan perusahaan melakukan pelanggaran lingkungan, maka harus diberikan sanksi serius, dan memberikan efek jera untuk memperbaiki tata kelolanya. Berdasarkan tiga poin dalam UU No. 3 Tahun 2021. Pidana, denda dan penjara, pencabutan izin dan sanksi administrasi,” ujar Wandi.
SHARE