Empat Masyarakat Adat Merauke Tolak PSN Pangan dan Energi

Penulis : Aryo Bhawono

Food Estate

Selasa, 03 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Puluhan perwakilan dari empat masyarakat adat di Merauke menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Pangan dan Energi Merauke. Keterlibatan militer dalam proyek ini, termasuk pengalihan hak atas tanah, membuat mereka merasa terintimidasi.

Mereka adalah perwakilan Masyarakat Adat Suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei dari Distrik Ilwayab, Ngguti, Tubang, Malind, Eligobel, Kimaam, Okaba di Kabupaten Merauke. Penolakan itu mereka sampaikan dalam pertemuan dengan Ketua Komite II DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, Badikenita Sitepu, dan anggota DPD asal daerah pemilihan Provinsi Papua Selatan, serta perwakilan Kementerian Pertanian, Kementerian Pertahanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Sekda Provinsi Papua Selatan pada Senin (2/12/2024).

Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke tentang pengembangan kawasan pangan dan energi untuk cetak sawah baru dan tanaman lainnya, termasuk perkebunan tebu dan pabrik bioethanol seluas lebih dari 2 juta hektar. 

“Pemimpin masyarakat adat, Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul dan SOLIDARITAS Merauke menyampaikan sikap penolakan terhadap proyek strategis nasional dan investasi perkebunan yang beroperasi di wilayah adat, karena melanggar dan merampas hak-hak masyarakat adat,” ucap Juru Bicara Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul, Simon Petrus Balagaize, melalui surat pernyataan pada Senin (2/12/2024).

Masyarakat Adat Malind menyerahkan surat penolakan PSN Pangan dan energi Merauke saat Kunjungan Komisi II DPD. Foto: Pusaka

Mereka beranggapan kebijakan PSN Merauke dilakukan tanpa ada kesepakatan luas masyarakat berdasarkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC), persetujuan masyarakat berdasarkan informasi sejak awal proyek dan tanpa ada paksaan, manipulasi dan rayuan, melainkan secara sadar dan bebas.

Kebijakan itu dilakukan tanpa kajian sosial dan lingkungan hidup yang memadai. Bahkan masyarakat belum mendapatkan dan memperoleh bahan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan dokumen lingkungan hidup lainnya.

Seorang masyarakat adat di tengah hutan adat yang telah digusur untuk pembangunan proyek cetak 1 jut

Selama ini pemerintah, perusahaan Jhonlin Group, serta 10 perusahaan perkebunan tebu dan bioetanol, telah mengoperasikan alat dan sumber daya untuk menggusur kawasan hutan, savana, rawa dan lahan gambut. Akibatnya terjadi pengrusakan, penggundulan dan penghilangan kawasan sumber mata pencaharian, sumber pangan, tempat penting dan sakral, dalam jumlah luas lebih dari 10.000 hektare dan dapat mencapai jutaan hektar.

Pemberian izin usaha pun dilakukan secara tertutup dan diduga terjadi praktik kolusi dan nepotisme, ketidakadilan dan monopoli, serta hanya menguntungkan kelompok dan orang tertentu. Praktik ini memuluskan pengambilalihan tanah dan hutan adat dalam skala luas hingga dapat melebihi 2 juta hektar.

Pemerintah nasional, kementerian, dan Panglima TNI membuat kebijakan untuk menggunakan aparat militer dalam PSN Merauke, termasuk memfasilitasi proses pengalihan hak atas tanah dan pengamanan proyek cetak sawah baru. Keberadaan militer telah menimbulkan rasa Bdak aman dan tekanan psikis bagi masyarakat di kampung.

“Kami berpandangan dan menilai kebijakan dan proyek PSN Merauke bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak asasi manusia; hak masyarakat adat; hak petani; hak atas tanah, hutan dan air; hak atas kebebasan berekspresi; hak atas pembangunan;  hak atas pangan dan gizi; hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kami menolak proyek PSN Merauke karena menimbulkan pelanggaran HAM serius, hak hidup Orang Asli Papua dan kerusakan lingkungan hidup,” ungkap Juru Bicara Solidaritas Merauke, Teddy Wakum. 

Mereka meminta kepada pimpinan DPD RI, Ketua Komite II DPD RI dan anggota DPD RI Provinsi Papua Selatan agar mendesak Presiden RI, Kementerian dan Lembaga Negara terkait PSN Merauke untuk menghentikan proyek ini. Para pejabat negara itu harus memperjuangkan keadilan, pemajuan penghormatan dan perlindungan hak dasar dan kesejahteraan masyarakat adat, serta keberlanjutan lingkungan hidup.

SHARE