Rumah Orangutan di DAS Muroi Kalteng Terancam Hilang
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Selasa, 26 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Muroi, yang terletak di antara Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas, yang mencakup wilayah administrasi Kabupaten Gunung Mas, Pulang Pisau, dan Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), terancam susut. Penyebabnya adalah deforestasi oleh sejumlah perusahaan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan-hutan tanaman (PBPH-HT)—sebelumnya disebut hutan tanaman industri (HTI), yang beroperasi di sana.
Berdasarkan pengamatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalteng dan Save Our Borneo (SOB), setidaknya ada tujuh perusahaan HTI, satu perkebunan kelapa sawit, dan tiga perusahaan pertambangan zirkon yang beroperasi di wilayah ini. Secara keseluruhan, luas konsesi yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan tersebut mencapai 191.956,50 hektare.
Perusahaan HTI jadi pemegang konsesi terluas saat ini. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Babugus Wahana Lestari (BWL) dengan luas izin 18.640 hektare, PT Hutan Produksi Lestari (HPL) seluas 10.050 hektare, PT Bumi Hijau Prima (BHP) seluas 20.352,10 hektare, PT Industrial Forest Plantation (IFP) seluas 100.989,40 hektare, PT Ramang Agro Lestari (RAL) dengan luas izin 13.850 hektare, dan PT Kalteng Green Resources (KGR) memiliki izin seluas 28.075 hektare. Keberadaan konsesi-konsesi ini tidak hanya mempersempit luas hutan, tetapi juga menggusur ruang hidup berbagai spesies, termasuk orangutan.
Padahal, bentang alam DAS Muroi dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Mulai dari tanaman obat-obatan, pohon-pohon, hingga satwa endemik seperti burung rangkong, beruang madu, kalaweit (gibon), dan orangutan. Orangutan mendominasi sebaran populasi satwa di hutan DAS Muroi, sehingga kawasan ini menjadi salah satu lokasi dengan populasi orangutan terbesar di Kalimantan.
Berdasarkan Analisis Kelayakan Populasi dan Habitat (Population and Habitat Viability Analysis), diperkirakan ada sekitar 1.065 hingga 2.300 orangutan yang tersebar di tujuh unit habitat seluas 399.630 hektare. Beberapa unit habitat orangutan tersebut berada di dalam konsesi perusahaan. Ada sekitar 2.125 hektare di dalam konsesi PT IFP yang seluas 18.783 hektar di PT BHP, 8.900 hektare di PT RAL, 8.736 hektare di PT HPL, dan 6.378 hektare di dalam konsesi perkebunan sawit PT BAP.
Walhi Kalteng dan SOB melakukan monitoring langsung ke lapangan pada November 2024 ini. Di sana tim menemukan ada 12 sarang orangutan di dalam areal konsesi PT BWL. Sarang-sarang tersebut termasuk dalam tipe D dan E yang artinya sudah tak ditinggali lagi oleh orangutan. Sarangnya diperkirakan sudah ditinggalkan sekitar 3 minggu sebelumnya. Namun, temuan ini jadi bukti bahwa kawasan tersebut masih menjadi habitat penting bagi orangutan.
Menurut data Walhi, PT BWL mengantongi izin sebesar 18.640 hektare. Sehingga, hingga saat ini perusahaan ini terus melakukan aktivitas yang berisiko merusak ekosistem di bentang alam DAS Muroi. Dari pengamatan tim di lapangan, perusahaan masih melakukan aktivitas pembuatan jalan utama (mainroad), penebangan kayu hutan alam, serta pembukaan blok-blok untuk rencana penanaman.
Antara izin dan fakta di lapangan menjadi kontroversial. Sebab hutan yang seharusnya dilindungi malah sudah dibebani izin. Hal ini menyebabkan keberadaan hutan alam dan habitat satwa langka di kawasan ini semakin terancam.
Kelompok masyarakat sipil beranggapan deforestasi akan terus terjadi, sementara keseimbangan ekosistem yang jadi sumber kehidupan satwa endemik bahkan manusia terganggu sepenuhnya. Sehingga, tak heran jika konflik antar manusia dan perusahaan juga berpotensi terjadi sama halnya dengan flora dan fauna saat ini.
Direktur SOB, M. Habibi, mengungkapkan bahwa kawasan ini seharusnya perlu dilindungi dari aktivitas deforestasi yang terus berlangsung. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Geospasial Interaktif SIGAP Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah bentang alam DAS Muroi yang saat ini menjadi konsesi PT BWL dan beberapa perusahaan HTI lainnya, termasuk dalam kategori DAS yang harus dipulihkan.
“Berdasarkan data dari Kementerian LHK, wilayah ini masuk dalam klasifikasi DAS yang harus dipulihkan. Ini diperkuat dari peta rencana kerja nasional untuk penurunan emisi karbon (FOLU Net Sink 2030) yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan ini termasuk dalam rencana operasional (RO) perlindungan area konservasi tinggi atau RO11. Bagi saya hal ini menegaskan kembali bahwa kawasan tersebut memang memiliki peran penting dalam pelestarian lingkungan dan perlindungan ekosistem,” kata Habibi, Senin (25/11/2024).
Habibi menambahkan, pemerintah harus mengambil peran dalam menyelesaikan permasalahan deforestasi yang sedang terjadi. Sebab situasi ini juga berdampak pada upaya pelestarian alam yang dikerjakan oleh negara.
“Dengan kondisi ini, aktivitas deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut dapat mengganggu upaya pemerintah juga dalam mencapai target penurunan emisi karbon yang telah ditetapkan hingga 2030,” katanya.
Habibi mendesak agar langkah-langkah perlindungan terhadap kawasan bentang alam DAS Moroi segera diambil. Hal ini untuk mendukung upaya pemulihan ekosistem serta menjaga komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata, menyebut kondisi bentang alam di DAS Muroi yang telah dibebani izin HTI, perkebunan sawit, dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan, berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap keberlanjutan ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
"Ada spesies langka di bentang alam ini. Salah satunya orangutan yang sedang terancam punah. Penyebab utama karena rusaknya hutan yang menjadi tempat terlindung dan sumber makanan orangutan,” kata Bayu.
Akibat deforestasi yang dilakukan perusahaan, lanjut Bayu, berpengaruh pada kehidupan dan kemampuan reproduksi orangutan. Karena proses reproduksi orangutan yang cukup lama sangat bergantung pada kecukupan pangan dan hutan yang baik sebagai wilayah jelajahnya.
“Oleh karena itu, hutan yang baik sangat penting untuk dipertahankan dan dilestarikan," ujar Bayu.
Bayu menambahkan, selain ancaman terhadap habitat orangutan, kehadiran perusahaan HTI juga berpotensi menimbulkan konflik dengan sistem pengelolaan hutan yang selama ini dipraktikkan oleh desa atau pun kelompok masyarakat.
"Di bentang alam DAS Muroi ini, terdapat beberapa pengelolaan hutan desa yang berbatasan langsung dengan izin konsesi HTI. Sehingga, deforestasi yang terjadi akan berpengaruh terhadap areal pengelolaan kawasan hutan desa yang dijalankan oleh kelompok masyarakat. Hal ini bertentangan dengan upaya perlindungan dan pemulihan hutan yang dilakukan di bentang alam ini," ujarnya.
Bayu juga bilang, deforestasi di kawasan ini juga membawa dampak ekologi lain dari deforestasi yang terjadi di bentang alam DAS Muroi, yakni menurunnya fungsi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ekosistem hutan tidak lagi dapat mencegah dan memitigasi bencana ekologi, seperti banjir yang intensitasnya semakin sering.
“Sehingga, wilayah yang terdampak semakin luas, mencakup beberapa desa di dalam bentang alam ini dan bahkan hingga Kota Palangka Raya yang terletak di bagian hilir dari bentang alam DAS Muroi," jelasnya.
Dari semua temuan dan fakta ini, SOB dan Walhi Kalteng mendesak pemerintah untuk dapat mengevaluasi izin-izin usaha yang telah diberikan kepada setidaknya tujuh perusahaan HTI tersebut. Hal ini penting untuk melindungi hutan dan satwa langka di kawasan bentang alam DAS Muroi. Tanpa adanya upaya perlindungan yang serius, ancaman terhadap kelestarian hutan alam, bencana ekologis, dan habitat satwa endemik akan semakin meningkat.
SHARE