Jurus Anak Usaha Harita Mengakali Putusan MK di Wawonii
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Kamis, 21 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - PT Gema Kreasi Perdana (GKP) berkelit dari putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang penambangan di pulau kecil. Anak perusahaan grup Harita itu hingga kini terus melakukan aktivitas pertambangan nikel di pulau kecil, Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan judicial review (JR) PT GKP terhadap Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k), dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) pada Maret lalu. Atas dasar putusan ini, para pembela lingkungan mengatakan, pemerintah seharusnya menindak aktivitas PT GKP karena membangkang hukum dengan melanggar putusan MK, selain mengabaikan tiga putusan Mahkamah Agung soal RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan dan perizinan kehutanan. Putusan MK itu juga seharusnya menjadi dasar pemerintah untuk menghentikan pertambangan di seluruh pulau kecil di Indonesia.
Namun, Manager Strategic Communication PT GKP, Hendry Drajat, berdalih putusan MK itu tidak melarang tambang di pulau kecil. Menurutnya yang ditolak dalam uji materi tersebut adalah interpretasi pada dua pasal dalam UU PWP3K.
“Majelis Hakim MK sudah jelas dan sepakat bahwa kegiatan pertambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu diperbolehkan selama tidak melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 k UU PWP3K,” kata dia melalui dokumen yang dikirimkan perusahaan tersebut kepada redaksi.
Menurutnya majelis Hakim MK sepakat menolak untuk menafsirkan ketentuan norma Pasal 35 k UU PWP3K sebagai larangan yang bersifat mutlak, melainkan seharusnya dapat dimaknai sebagai ‘diperbolehkan selama memenuhi syarat-syarat wajib’. Majelis pun menilai perusahaan pertambangan tidak dirugikan dan UU PWP3K sudah sangat jelas meregulasinya. Hal ini menjadi dasar MK menolak permohonan PT GKP untuk uji materiil terkait ambiguitas dan ketidakpastian hukum UU PWP3K.
Hingga saat ini, kata dia, PT GKP sepenuhnya memenuhi seluruh syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang berlaku.
Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, menganggap penafsiran PT GKP itu hanya merupakan dalih untuk tetap beraktivitas meski sudah dilarang UU PWP3K dan dikuatkan oleh putusan MK. Menurutnya amar putusan MK itu menolak permohonan yang diajukan oleh PT GKP dan dengan ditolaknya permohonan tersebut maka secara hukum pasal yang diajukan itu sudah benar dan tepat.
“Sebagai subjek hukum PT GKP harusnya mematuhi putusan itu, dan yang perlu diingat putusan MK tidak hanya berlaku bagi yang mengajukan permohonan tapi berlaku untuk semua (tambang di pulau kecil),” ucap dia.
Ia mengingatkan perusahaan itu harus setop operasi di Pulau Wawonii. Selain putusan MK, ada tiga putusan MA yang juga sudah menjadi dasar untuk menetapkan pertambangan di Pulau Wawonii adalah aktivitas ilegal.
Putusan MA itu adalah Putusan No 57 P/HUM/2022 yang membatalkan pasal alokasi ruang tambang pada Peraturan Daerah Konawe Kepulauan Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Kemudian Putusan No 14 P/HUM/2023 yang menguatkan hal yang sama.
Terakhir, MA mencabut dan membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP pada 7 Oktober 2024.
Roni menjelaskan putusan-putusan ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi alasan bagi PT GKP melakukan penambangan di Wawonii. Bahkan patut diduga penambangan yang dilakukan sebagai perbuatan ilegal, dan melanggar UU.
“Jika PT GKP mendalilkan telah merugi, itu risiko usaha, dan risiko atas tindakan melawan hukum. Sudah jelas UU melarang melakukan penambangan mineral di pulau-pulau kecil, tapi masih saja nakal,” kata dia.
Sementara pada Senin lalu, warga Wawonii menggelar aksi mendesak PT GKP menghentikan aktivitas dan pergi dari pulau mereka. Atas hal tersebut, Hendry meminta masyarakat untuk bersabar dan menghargai proses hukum.
SHARE