Sawit Seruyan Menarget RSPO, Tapi Masih Sarat Pelanggaran: Riset
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Jumat, 15 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Industri perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah masih melakukan berbagai pelanggaran lingkungan hidup dan hak buruh, menurut laporan terbaru dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Temuan ini dirilis ketika salah satu kabupatennya sedang menjalani proses sertifikasi berkelanjutan dengan pendekatan yurisdiksi dari Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Laporan tersebut menemukan bahwa sejumlah perkebunan kelapa sawit skala besar diduga masih beroperasi di dalam kawasan hutan. Perusahaan juga diduga terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengabaikan kewajiban untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat setempat.
Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai mengatakan, Kabupaten Seruyan menjadi contoh pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang buruk bagi lingkungan hidup karena ekspansinya turut merambah kawasan hutan.
Berdasarkan pengolahan data dan analisis spasial, dari total 312.450 hektare kebun sawit milik 33 perusahaan di Seruyan, terdapat 132.207 hektare sawit ilegal karena ditanam di dalam kawasan hutan. “Luas sawit ini diduga ditanam 30 perusahaan di dalam kawasan hutan,” kata Janang dalam konferensi pers, Rabu, 13 November 2024.
Menurut Janang, temuan ini sejalan dengan laporan Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara pada 2023. Satgas yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan itu menyebutkan, setidaknya terdapat 632.133 hektare kelapa sawit telah terbangun di dalam kawasan hutan Kalimantan Tengah.
Temuan tersebut, kata Janang, menjadi masalah karena saat ini kabupaten Seruyan tengah menjalani proses sertifikasi berkelanjutan dengan pendekatan yurisdiksi dari Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) atau yang disebut dengan Jurisdictional Approach (JA) to Certification. Tahun lalu, pada Round Table RSPO di Jakarta, Seruyan diluncurkan sebagai proyek pilot untuk pemberian sertifikasi RSPO dengan skema kewilayahan.
Isu plasma, HAM, dan upah murah buruh
Direktur Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (Progress) Kartika Sari mengatakan, tiga tahun terakhir isu kebun plasma semakin memanas karena masih banyak masyarakat merasa belum hidup sejahtera meskipun tinggal di sekitar perkebunan sawit selama bertahun-tahun.
Menurut Kartika, masyarakat saat ini banyak yang bekerja dengan status buruh harian lepas, dengan gaji di bawah standar upah minimum kota. Status ini juga membuat buruh tidak mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan.
“Maka pendekatan yurisdiksi akan tepat sasaran jika didasarkan atas persoalan - persoalan nyata yang muncul di masyarakat dan pelibatan masyarakat secara aktif baik dalam prosesnya maupun dalam pelaksanaannya,” kata Kartika.
Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, Abdul Haris mengatakan, konflik antara masyarakat dan perusahaan di Seruyan terus terjadi. Di antaranya dipicu oleh perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban membangun kebun plasma buat masyarakat.
Laporan tersebut menemukan bahwa luas kebun plasma jauh lebih kecil dibandingkan dengan total luas perkebunan sawit, yakni 220 ribu kebun plasma dari sekitar 1,9 juta hektare milik perusahaan. Secara khusus di Seruyan, hanya 17 ribu hektare kebun plasma dibangun dari total izin seluas 300 ribu hektare.
Abdul mengatakan, kegagalan perusahaan ini memicu konflik yang berkepanjangan. Tercatat sekitar 300 konflik agraria di Kalimantan Tengah dalam periode 2003-2024, melibatkan aparat kepolisian, pemerintah, perusahaan kelapa sawit, dengan rata-rata usia konflik lebih dari 10 tahun. Salah satunya adalah letusan konflik tahun lalu di Seruyan. Protes masyarakat berujung pada meninggalnya petani bernama Gijik dan satu korban lainnya mengalami cacat permanen setelah ditembak polisi.
“Konflik ini sudah terjadi sejak 2004, di mana masyarakat menuntut realisasi plasma. Konflik serupa pun terjadi di sejumlah perusahaan lainnya di Seruyan,” kata Abdul.
“Mirisnya, kejadian ini terjadi sebulan sebelum RT RSPO, di mana tahapan kedua sertifikasi yurisdiksi ini diluncurkan di Jakarta,” kata Abdul.
Evaluasi sebelum sertifikasi RSPO
Janang mengatakan, agenda sertifikasi yurisdiksi ini jangan sampai berujung pada agenda untuk menghapus dosa atau greenwashing bagi perusahaan yang dalam aktivitasnya diduga masih melanggar hukum.
“Berdasarkan hasil analisis kami masih banyak ditemukan aktivitas perusahaan yang diduga melanggar hukum serta berpotensi merugikan negara dan lingkungan. Ini dibuktikan dengan adanya aktivitas pada konsesi yang berstatus dalam kawasan hutan. Harusnya carut-marut perizinan ini dibereskan dulu baru memikirkan usulan sertifikasi berbasis yurisdiksi ke RSPO”, tambahnya.
Kartika mengatakan, pemerintah kabupaten Seruyan harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit dan mendorong penyelesaian konflik yang proporsional.
Thomas dari Pokja Sertifikasi Yurisdiksi Seruyan mengakui berbagai persoalan yang ada di Seruyan. “Ini butuh proses bertahap dengan pendekatan yang berjalan, baru beberapa tahun ini,” katanya.
“Terkait konflik dan kawasan hutan memang benar. Hanya saja kewenangan pemerintah kabupaten terbatas terkait kawasan hutan, karena sebagian kewenangan ada di pusat. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah,” katanya.
SHARE