Polusi Plastik Mengubah Sistem Bumi: Riset

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Minggu, 10 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Polusi plastik kini tidak lagi dianggap sekadar sampah. Analisis ilmiah terbaru mengungkap dampak polusi plastik yang begitu sistemik terhadap alam dan kehidupan manusia. Polusi ini ditemukan mengubah seluruh sistem bumi, memperburuk perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, pengasaman laut, hingga penggunaan air tawar dan lahan. 

Menurut para penulis laporan itu, publik dan pembuat kebijakan harus melihat sampah plastik sebagai produk yang membahayakan ekosistem dan kesehatan manusia. Laporan ini diluncurkan Kamis, 7 November, menjelang perundingan akhir perjanjian global terkait polusi plastik di Korea Selatan, yang jika berlaku akan mengikat secara hukum. 

Menurut laporan tersebut, kemajuan menuju perjanjian mengenai polusi plastik terhambat oleh perselisihan mengenai perlunya memasukkan pemotongan industri produksi plastik senilai $712 miliar ke dalam perjanjian tersebut. 

Pada perundingan sebelumnya di bulan April, negara-negara maju dituduh tunduk pada tekanan dari para pelobi bahan bakar fosil dan industri untuk menghindari pengurangan produksi. Diskusi di Korea Selatan, yang dimulai pada tanggal 25 November mendatang, menandai peluang langka bagi negara-negara untuk mencapai kesepakatan guna mengatasi krisis global polusi plastik.

Aktivis lingkungan di Jawa Timur menggelar aksi protes di depan Kantor Konsulat Jenderal Australia, di Surabaya Jawa Timur, 19 Agustus 2024. Mereka menuntut penghentian kiriman plastik dari Australia ke Indonesia. Foto: Ecoton.

Negara-negara berkembang juga menjadi tempat ekspor sampah plastik dari negara-negara maju, termasuk Indonesia. Menurut data UN Comtrade, Indonesia mengimpor 53,76 juta kilogram pada periode Januari-November 2022, dengan nilai perdagangan sebesar US$30,4 juta. Negara pengekspornya adalah Belanda, Jerman, dan Belgia. 

Perdagangan sampah plastik ini seringkali untuk kebutuhan industri daur ulang. Namun pada beberapa kasus, hal sebaliknya terjadi. Temuan Ecoton baru-baru ini mengungkap, 60-82% sampah kertas Australia yang dikirim ke Indonesia mengandung kontaminasi sampah scrap plastik fleksibel, multilayer, dan plastik kemasan yang tidak dapat didaur ulang. Sampah ini kemudian menumpuk di sejumlah desa di kawasan pabrik pengimpor sampah kertas di Jawa Timur. 

Sementara itu pada tingkat global, setidaknya 506 juta ton plastik diproduksi di seluruh dunia pada 2022. Namun hanya 9% yang didaur ulang secara global. Sisanya dibakar, ditimbun atau dibuang sehingga dapat mencemari lingkungan. Mikroplastik kini ada dimana-mana, mulai dari puncak Gunung Everest hingga Palung Mariana, titik terdalam di bumi.

Studi baru mengenai polusi plastik ini menguji semakin banyaknya bukti dampak plastik terhadap lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia. Para penulis mendesak para delegasi di perundingan PBB di Korea Selatan untuk berhenti memandang polusi plastik hanya sebagai masalah sampah, dan sebaliknya mengatasi aliran material melalui seluruh jalur kehidupan plastik, mulai dari ekstraksi bahan mentah, produksi dan penggunaan, hingga pelepasan ke lingkungan dan efeknya terhadap sistem bumi.

“Penting untuk mempertimbangkan siklus hidup plastik secara menyeluruh, mulai dari ekstraksi bahan bakar fosil dan produksi polimer plastik primer,” kata penulis utama artikel tersebut, Patricia Villarrubia-Gómez, dari Stockholm Resilience Centre, Kamis, 7 November 2024. 

Tim peneliti menunjukkan bahwa polusi plastik mengubah proses seluruh sistem bumi, dan memengaruhi semua masalah lingkungan global yang mendesak, termasuk perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, pengasaman laut, dan penggunaan air tawar dan lahan.

“Plastik dipandang sebagai produk lembam yang melindungi produk favorit kita, atau yang membuat hidup kita lebih mudah dan dapat 'mudah dibersihkan. setelah menjadi sampah,” kata Villarrubia-Gómez.

“Tetapi ini jauh dari kenyataan. Plastik terbuat dari kombinasi ribuan bahan kimia. Banyak di antaranya, seperti pengganggu endokrin dan bahan kimia selamanya, menimbulkan racun dan membahayakan ekosistem dan kesehatan manusia. Kita harus melihat plastik sebagai kombinasi bahan kimia yang berinteraksi dengan kita sehari-hari,” katanya. 

Ketua perundingan perjanjian PBB mengatakan seluruh siklus hidup plastik harus dimasukkan dalam kesepakatan tersebut. “Yang jelas adalah kita tidak dapat mengelola jumlah plastik yang kita produksi,” kata Luis Vayas Valdivieso dari PBB. “Hanya 10% yang didaur ulang, dan harus ada solusi. Itulah mengapa negosiasi ini sangat penting. Kita perlu memiliki pendekatan siklus hidup secara menyeluruh.”

Sebagian besar plastik sekali pakai (98%) terbuat dari bahan bakar fosil, dan tujuh perusahaan penghasil plastik teratas adalah perusahaan bahan bakar fosil, menurut data tahun 2021.

Bethanie Carney Almroth, dari Universitas Gothenburg, salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan: “Saat ini kita menemukan plastik di wilayah paling terpencil di planet ini dan di tempat yang paling intim, di dalam tubuh manusia. Dan kita tahu bahwa plastik adalah bahan kompleks yang dilepaskan ke lingkungan sepanjang siklus hidup plastik, sehingga mengakibatkan kerusakan pada banyak sistem," katanya. 

“Solusi yang kami coba kembangkan harus mempertimbangkan kompleksitas ini, dengan memperhatikan seluruh aspek keselamatan dan keberlanjutan untuk melindungi manusia dan planet bumi,” ujarnya. 

SHARE