Proyek Biomassa, Kanker Baru di Sulawesi: Riset
Penulis : Kennial Laia
Energi
Jumat, 11 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Di sebuah hamparan yang bersebelahan dengan Desa Trikora, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Provinsi Gorontalo, sejumlah alat berat berkelir hijau dan kuning tampak sedang menebas pohon di sekitarnya. Di sisi lain terlihat lahan yang telah botak, tumpukan kayu, lalu lahan yang sebagiannya telah ditanami jakaranda dengan tinggi sekitar 160 cm - 180 cm. Waktu itu Mei 2024.
Keadaan ini kontras dengan sebelum Oktober 2023. Analisis satelit oleh tim data dan informasi Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan, kala itu lahan berstatus Area Penggunaan Lain (APL) dalam konsesi perusahaan biomassa PT Banyan Tumbuh Lestari ini masih memiliki tutupan hutan yang rapat dan hijau.
“Terlihat dengan jelas bahwa sedang terjadi pembukaan lahan dalam konsesi PT Banyan Tumbuh Lestari. Dan ini dilakukan dengan membuka hutan yang masih rapat,” kata salah seorang investigator lapangan kepada Betahita, Kamis, 11 Oktober 2024.
Penelitian mengungkap PT Banyan Tumbuh Lestari, beserta PT Inti Global Laksana, adalah pemasok bahan baku untuk perusahaan pengolahan pelet kayu PT Biomassa Jaya Abadi. Sebelum menjadi perusahaan yang membidangi hutan tanaman energi, keduanya memiliki izin perkebunan kelapa sawit.
Gorontalo sendiri menjadi salah satu provinsi penghasil pelet kayu di Indonesia, yang digunakan untuk menjadi bahan bakar untuk pembangkit listrik biomassa atau pembangkit co-firing batu bara. Material ini diklaim ramah lingkungan dibandingkan batu bara, dan menjadi salah satu opsi untuk energi terbarukan.
Karena klaim ini, permintaan pelet kayu untuk memenuhi energi mengalami peningkatan. Jepang dan Korea Selatan menjadi pasar pelet kayu terbesar kedua dan ketiga di dunia setelah Inggris. “Dari tahun 2012 hingga 2021, kedua negara tersebut menyumbang lebih dari seperempat impor pelet kayu global,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Perusahaan yang beroperasi di Gorontalo itu, menurut laporan terbaru, memasok kayu bulat dari spesies seperti Jambu-Jambu (Eugenia sp) dan Nyatoh (Madhuca sp) yang diproses oleh PT Biomassa Jaya Abadi. Hasilnya diekspor oleh Hanwa Co. Ltd, sebuah perusahaan Jepang yang diakui sebagai pemain pasar utama di pasar pelet kayu Asia Tenggara.
Menurut laporan tersebut, meningkatnya permintaan terhadap pelet kayu untuk energi akan menjadi pendorong baru untuk deforestasi di hutan-hutan Asia seperti Indonesia.
Laporan terbaru dari gabungan lembaga internasional dan Indonesia mengungkap bahwa industri biomassa akan menjadi pemicu hilangnya hutan tropis di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Data Auriga Nusantara mencatat, deforestasi semakin meningkat di konsesi-konsesi tersebut selama dua tahun terakhir. Tahun 2023, misalnya, hutan seluas 1.372 hektare hilang. Seiring dengan itu, sejak kuartal kedua 2023, PT Biomassa Jaya Abadi memasok sekitar 10.000 ton per bulan ke Jepang.
Ekspansi industri biomassa ini, menurut laporan tersebut, akan menyebabkan Sulawesi Tengah kehilangan tutupan hutan yang masif. “Sulawesi, habitat bagi 17 spesies primata endemik, memberikan contoh ilustrasi bagaimana permintaan wood pellet dan serpihan kayu di Korea dan Jepang mengancam keanekaragaman hayati di Indonesia,” kata laporan tersebut.
“Pada 2025, serangkaian ekspansi industri diperkirakan akan menyebabkan Sulawesi Tengah kehilangan tutupan hutan yang setara dengan lebih dari tiga kali luas pulau Bali. Hal ini mengakibatkan hilangnya habitat spesies dengan wilayah jelajah terbatas, seperti yang baru-baru ini terjadi, yaitu tarsius Jatna yang teridentifikasi dan sangat kritis.”
Menurut laporan tersebut, Gorontallo–provinsi yang setidaknya menjadi persinggahan bagi 49 spesies burung migran–telah berubah menjadi pusat deforestasi untuk ekspor wood pellet ke Korea Selatan dan Jepang.
Menurut Auriga Nusantara, pada bulan Januari hingga Agustus tahun ini, dua perusahaan kelapa sawit membuka lahan seluas 1.032 hektare untuk produksi wood pellet. Lebih dari 27 ribu hektare lahan terancam di dalam zona pengangkutan; 96% (26.707 hektare) merupakan hutan utuh.
Dampak ekspansi industri ini telah terjadi pada sejumlah keanekaragaman hayati. Antara tahun 2000 dan 2017, Kera Gorontalo yang merupakan satwa endemik, telah kehilangan habitat hutannya dengan total luas 800.000 hektare.
Menurut laporan tersebut, industri biomassa akan menjadi ancaman bagi hutan-hutan di Indonesia. Indonesia menargetkan meningkatkan konsumsi biomassa untuk pembangkit listrik sebanyak tiga lipat menjadi 2,83 juta metrik ton pada 2024, dari 991.000 ton yang dikonsumsi pada 2023.
Menurut Auriga Nusantara, hampir 23 juta hektare hutan Indonesia telah diberikan konsesi ekstraktif, termasuk 7,3 juta hektar ( 8,7%) untuk konsesi konversi hutan (perkebunan kayu, kelapa sawit, dan pertambangan) dan 15,6 juta hektar (18,6%) untuk konsesi penebangan kayu yang merusak hutan.
Sementara itu Trend Asia memperkirakan target biomassa Indonesia akan memerlukan 2,33 juta hektare lahan tambahan, dan hampir setengahnya memerlukan pembukaan hutan tersisa. Mandat pembakaran batu bara bersama sebesar 10% dapat mempercepat deforestasi sebesar 2,1 juta hektar per tahun.
“Penggunaan biofuel untuk pengurangan 10% batu bara di pembangkit listrik terbesar di Indonesia dapat memicu deforestasi di wilayah yang luasnya sekitar 35 kali lipat Jakarta – yang mengakibatkan emisi CO2 hampir lima ratus kali lebih tinggi dibandingkan tingkat emisi saat ini,” kata laporan tersebut.
“Penilaian ancaman ini memvalidasi peringatan buruk yang dikeluarkan pada tahun 2021: bahwa Lebih dari 10 juta hektare tutupan hutan yang tidak terganggu terletak di dalam zona pengangkutan pabrik pembakaran bersama dan pabrik serpihan kayu di Indonesia,” kata laporan tersebut.
SHARE