Koalisi Minta MK Batalkan atau Perintahkan Revisi UU Konservasi

Penulis : Kennial Laia

Masyarakat Adat

Jumat, 20 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Komunitas masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Konservasi yang baru. Regulasi tersebut dinilai menegasikan hak-hak masyarakat adat, serta berpotensi melanggengkan perampasan lahan. 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE 32/2024) disahkan Juli lalu. 

Permohonan tersebut dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane, yang didukung oleh Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan. Pengajuan dilakukan pada Kamis, 19 September 2024. 

Menurut Koalisi, ada tiga poin dari pengajuan formil undang-undang tersebut. Di antaranya tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta tidak memenuhi asas keterbukaan. 

Organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat mengajukan pengujian formil UU KSDAHE ke Mahkamah Konstitusi, Kamis, 19 September 2024. Dok. Istimewa

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, mengatakan UU KSDAHE No. 32/2024 dibentuk tanpa partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang terdampak langsung. 

“Selain itu secara substansi undang-undang ini menegasikan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi, bahkan berpotensi kuat merampas wilayah adat dan kriminalisasi masyarakat adat melalui perluasan preservasi,” kata Rukka.

Menurut Rukka, UU 32/2024 juga tidak mempertimbangkan masyarakat adat yang ada dan hidup di wilayah konservasi jauh sebelum UU 32/2024, dan sebelum NKRI terbentuk. Padahal cara dan pola hidup masyarakat adat di dalam satu wilayah telah melakukan pengelolaan dan pemanfaatkan secara lestari, selaras, serasi, seimbang, dan juga menjaga kelestariannya.

“Artinya, pembentuk UU 32/2024 tidak melibatkan pihak yang terdampak, serta pihak yang concern (mempunyai perhatian dan peduli) terhadap urusan sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya,” kata Rukka.

Sementara itu Manajer Kajian Kebijakan WALHI, Satrio Manggala, mengatakan UU 32/2024 secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945.

Asas keterbukaan dinilai berkaitan erat dengan proses partisipasi yang bermakna. Tanpa keterbukaan, maka tidak ada partisipasi yang bermakna. “WALHI telah menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada 25 Juni 2024 di Gedung DPR RI dan hingga hari ini tidak mendapatkan alasan dan kejelasan kenapa masukan-masukan kami tidak diakomodir dan tidak direspon,” ujar Satrio.

Sekretaris Jenderal Sekjen KIARA Susan Herawati mengatakan, ketiadaan partisipasi yang bermakna dari masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, berpengaruh terhadap tidak diakomodirnya pengetahuan, budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengelola dan melakukan konservasi berbasis masyarakat secara mandiri. 

“UU KSDAHE ini juga secara jelas bertentangan dengan sejumlah hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir, termasuk untuk mengakses laut hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan,” katanya. 

Masalah substantif 

Menurut para pengamat, UU No. 32/2024 berpotensi menimbulkan masalah substantif bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Hal ini termasuk banyaknya celah untuk kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

Undang-undang tersebut juga mengatur Padiatapa (Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) atau yang dikenal dengan FPIC (Free, Prior, Informed Consent). “Padahal FPIC adalah hal yang sangat penting dan dan fundamental dari hak masyarakat adat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan,” kata Koalisi. 

Menurut Koalisi, undang-undang itu juga mengabaikan kewajiban negara di bidang hak asasi manusia (HAM) yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi hak hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Tidak terbuka 

Koalisi juga mempermasalahkan proses pembuatan undang-undang yang dinilai tidak melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal serta organisasi masyarakat sipil. Para pemohon juga tidak bisa mendapatkan akses terhadap dokumen hasil rapat atau proses pembahasan UU 32/2024, termasuk melalui website DPR.  

Koalisi juga telah mengirimkan surat kepada Presiden, Ketua DPR, dan Ketua DPD terkait penolakan pengesahan UU KSDAHE. Namun, tidak mendapatkan respon sama sekali.  

“Pembentuk undang-undang seharusnya tidak memandang masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai ancaman dalam penyelenggaraan konservasi, melainkan sebagai aktor utama dan sejajar yang dapat bekerja sama dengan pemerintah,” kata Rukka.

Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan atau setidaknya memerintahkan perbaikan terhadap UU KSDAHE. Di dalam proses perbaikan itu mereka menuntut pelibatan masyarakat adat, komunitas lokal dan pihak-pihak yang memiliki fokus isu pada konservasi.

SHARE