Sashimi Halmahera Punah di Laut Lelilef
Penulis : Aryo Bhawono
SOROT
Kamis, 19 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Halmahera dan kepulauan sekitarnya, termasuk Pulau Ternate dan Tidore, punya makanan khas berupa olahan daging ikan mentah yang mirip sashimi Jepang, yakni gohu. Para nelayan biasa membuat makanan ini di atas perahunya saat melaut. Sayangnya di perairan Lelilef, Teluk Weda, Halmahera Tengah, makanan ini punah karena pencemaran akibat hilirisasi.
Resep gohu sangat sederhana, cukup ikan segar, bawang merah, jeruk nipis, cabai, dan daun kemangi. Daging ikan dipotong dadu kecil, lantas dicampur perasan jeruk nipis,garam, potongan cabai, dan irisan daun kemangi. Habis itu, hap! Tinggal dilahap.
Di lidah, makanan ini terasa menyegarkan. Daging ikan tak meninggalkan rasa amis tetapi justru segar dan sedikit manis. Campuran perasan jeruk nipis dan kemangi memperkuat rasa segar ini. Ditambah lagi asinnya garam memberikan rasa gurih.
Sedangkan bawang merah memberi sensasi crunchy sekaligus membuat paduan rasa semakin tajam dan kuat. Dan tak tertinggal, potongan cabai bakal membuat lidah tak berhenti mendecak ketika makan gohu.
Saat ini banyak sekali modifikasi resep gohu yang ditemui di berbagai warung makan di seantero Maluku Utara. Modifikasi gohu dengan bahan tambahan juga banyak ditemui di internet dengan menambahkan bahan seperti tomat, gula pasir, bawang putih, serai, minyak kelapa, dan lainnya.
Modifikasi chef ala-ala ataupun chef beneran ini cocok-cocok saja karena gohu berbahan sederhana. Tambahan bahan itu akan membuatnya semakin kaya rasa.
maksi Goro sedang bersantai di depan rumahnya desa Gemaf, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Aryo Bhawono
Maksi Goro, nelayan Desa Gemaf, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, menyebutkan dari dulu nelayan di Halmahera dan kepulauan sekitarnya biasa menyantap gohu di atas perahu. Sederhananya resep gohu karena memang bahan-bahan terbatas yang dimiliki nelayan.
Menurutnya membuat gohu nikmat pun tak rumit, kuncinya pada ikan dan jeruk segar.
“Bahan -bahan itu mudah di dapat, bahkan ada di kebun rumah. Sedangkan ikan kita dapat dari tangkapan, itu pasti ikan segar,” kata dia.
Ikan yang biasa digunakan adalah ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) atau jika sedang tidak musim maka nelayan memotong ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang masih berkerabat dengan tuna.
Nelayan cukup memanfaatkan papan melintang di tengah perahu mereka untuk meracik sendiri. Kadang, kalau tak ada garam pun mereka cukup mencelupkan daging ikan yang sudah dipotong ke air laut.
Maks, nama sapaan Maksi Goro, biasanya membawa singkong atau sagu kering untuk menemani santapan gohu bikinannya di atas perahu.
“Itu sudah, rasa mantap perut kenyang,” kata dia.
Pedagang di Pasar Ternate tengah memotong ikan cakalang yang dipesan untuk membuat gohu ikan. Foto: Aryo Bhawono
Abdullah Hambar, nelayan Desa Lelilef Weibulen di kecamatan yang sama dengan Maks, menceritakan dirinya memperkenalkan makanan itu ketika masih bekerja di kapal ikan. Rekan-rekannya dari asia, terutama Jepang, pun memuji rasa gohu bikinannya.
Ia sendiri masih tak asing dengan makanan itu apalagi ketika sudah memiliki kapal sendiri berukuran 4 gross ton (GT). Kapala itu bisa berhari-hari berada di laut, meski tak sering karena melimpahnya ikan.
Namun sekarang ia tak mau lagi membuat gohu dari perairan Lelilef di muka desanya. Air yang tak lagi jernih, reklamasi menggunakan slag nikel, limbah smelter nikel dan PLTU, serta tambang nikel membuatnya ngeri mengkonsumsi ikan dari perairan itu.
“Jangankan untuk bikin gohu, kita makan saja tidak. Bahaya itu,” kata dia.
Ia menyebutkan ikan yang dijual di warung atau pasar saat ini bukan berasal dari perairan Lelilef. Nelayan yang tinggal segelintir harus jauh-jauh melaut untuk dapat ikan yang sehat dan aman untuk dimakan. kadang bahkan para pedagang pasar membeli ikan dari nelayan daerah lain.
“Lihat saja tidak ada orang itu mancing di depan Lelilef, mereka jauh ke tengah sana atau ke pantai yang lain. Bukan soal susah dapat saja tetapi juga bahaya ikannya kalau dimakan,” ucapnya.
Komplek hilirisasi nikel PT IWIP yang berbatasan dengan Desa Lelilef Sawai, Teluk Weda, Halmahera Tengah. Foto: Auriga Nusantara.
Warna dasar perairan Lelilef di depan komplek PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) memang gelap. Aktivitas industri mengurug pantai, padang lamun, dan karang laut telah merusak perairan yang dulunya berlimpah dengan ikan dan biota laut.
Perusahaan itu menguasai sekitar 5.000 ha kawasan untuk kawasan industri dan rencana pengembangan hingga 15.000 ha. Analisis pemetaan pada 2023 menunjukkan luas kawasan industri ini mencapai 1.432 ha yang membentang sepanjang 10 kilometer di perairan Teluk Weda.
Reklamasi untuk pembangunan fasilitas perusahaan menggunakan slag nikel mencapai luas 178 ha. Aktivitas ini merusak coral dan padang lamun seluas 93 hektar. Belum lagi buangan limbah ke laut dari PLTU dan fasilitas lainnya.
Tak hanya itu, kerusakan juga terjadi karena aktivitas pertambangan. Muara Sungai Kobe dan perairan sekitarnya berubah menjadi keruh dengan warna merah kecokelatan.
Kerusakan perairan inipun membuat gohu tak mungkin lagi dibuat di atas perahu di perairan Lelilef.
Communications Manager PT IWIP, Setya Yudha Indraswara, membantah jika perusahaan melakukan perusakan. Ia menyebutkan perusahaan menjaga kelestarian terumbu karang di kawasan industri dengan membangun 12 stasiun transplantasi karang.
Perusahaan juga melakukan aktivitas pelestarian ekosistem laut dengan melakukan konservasi, seperti penanaman mangrove dan transplantasi karang.
“Pertumbuhan karang di setiap stasiun juga terpantau baik,” kata dia melalui jawaban tertulis.
Pemantauan kualitas air juga dilakukan oleh internal perusahaan dan pemantauan tiap semester yang melibatkan laboratorium eksternal yang terakreditasi. Sejauh ini kandungan logam dalam air memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
-----------------------------
Artikel ini merupakan Liputan ini kerjasama peliputan program Pasopati Journalist Fellowship 2023 yang didanai oleh Yayasan Auriga Nusantara.
SHARE