Gigi Dua Menteri Siti untuk Perlindungan Pembela Lingkungan
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Jumat, 13 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Peraturan terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang perlindungan bagi pembela lingkungan menjadi angin segar di tengah maraknya kriminalisasi dan gugatan hukum yang menimpa masyarakat adat dan individu yang memperjuangkan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Namun aturan yang bersifat sektoral dinilai belum sepenuhnya menjamin hak dan keamanan mereka.
Melalui Permen LHK Nomor 10/2024, aktivis lingkungan, masyarakat, hingga organisasi, mendapat perlindungan hukum atas upaya memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Aturan ini merupakan secercah harapan, untuk semua yang berjuang melawan kerusakan lingkungan tanpa bayang-bayang kriminalisasi atau tindakan balasan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Utara Riandha Purba, Kamis, 12 September 2024.
Riandha mengatakan, masyarakat maupun organisasi di tingkat tapak sering dibungkam atau dilemahkan dengan tindakan pembalasan, yang seringkali tidak berhubungan dengan aktivitasnya. Hal ini termasuk intimidasi, somasi, proses pidana atau kriminalisasi, dan gugatan perdata. Sepanjang 2024 saja, WALHI Sumatra Utara mencatat 18 warga yang memperjuangkan lingkungan hidup menjadi korban kriminalisasi atau dilaporkan ke kepolisian. Salah satu kasusnya menimpa Sorbatua Siallagan, kakek berumur 65 tahun dari Masyarakat Adat keturunan Ompu Umbak Siallagan, yang divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena dituduh menduduki konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari, Agustus lalu.
“Karena itu kami berharap aturan ini dapat melindungi dari segala jenis pelemahan atau pembungkaman. Semoga aturannya dapat dijalankan dengan baik di lapangan,” kata Riandha.
Menurut Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan Permen LHK Nomor 10/2024 ini memperkuat ekosistem perlindungan bagi pembela lingkungan di Indonesia. “Aturan ini juga memungkinkan adanya bantuan hukum terhadap orang yang dikriminalisasi,” katanya.
Namun alur bantuan hukum ini perlu dicermati. Ada prosedur yang harus dilalui, mulai dari permohonan, penilaian, dan verifikasi dari menteri.
Menurut Andi, aturan tersebut mengatur adanya prosedur penilaian untuk menentukan apakah suatu tindakan terhadap pembela lingkungan merupakan tindakan balasan atau bukan. “Karena ini akan ada tim penilai yang diisi orang-orang tertentu, maka seharusnya mereka adalah orang yang paham konteks kasus semacam tindakan pembalasan, kriminalisasi, maupun penggunaan hukum secara sewenang-wenang,” ujarnya.
Selain itu penilaian ini ditentukan maksimal 60 hari. “Ini terlalu lama, karena kita bisa lihat dari banyak kasus kriminalisasi itu perkaranya akan cenderung dipercepat untuk disidangkan. Maka bisa jadi karena lambatnya penilaian, maka itu sudah terlampau jauh proses hukumnya,” ujarnya.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra menyoroti adanya kewenangan menteri menilai suatu tindakan balasan. “Tidak jelas indikator yang digunakan. Karena tindakan balasan yang dimaksud bisa saja berupa pelaporan ke polisi atau kriminalisasi, gugatan hukum, ancaman fisik maupun psikologis,” katanya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Marsya Mutmainah mengatakan, jasa perlindungan hukum dari KLHK merupakan inisiatif yang baik. Di sisi lain, prosesnya masih birokratis, dengan berbagai prosedur. “Harus diatur mekanisme jika pembela lingkungan butuh perlindungan cepat ataupun dalam keadaan genting,” katanya.
Perlu aturan yang lebih kuat
Laporan tahun 2023 dari Satya Bumi dan Protection Internasional mengungkap, total 39 kasus dengan total 57 serangan & ancaman, serta lebih dari 1.500 korban individu dan 22 korban kelompok sepanjang 2023.
Sementara pada paruh pertama 2024, Satya Bumi mencatat terdapat 13 kasus dengan total 23 serangan & ancaman, serta 64 korban individu dan 7 korban kelompok yang melibatkan 24 pelaku serangan & ancaman.
Sementara itu riset dari Auriga Nusantara mencatat, setidaknya terdapat 133 tindakan SLAPP atau ancaman terhadap pembela lingkungan tahun 2014-2023. Kriminalisasi atau laporan pidana terhadap pembela lingkungan menjadi ancaman tertinggi, dengan 82 kasus. Dalam konteks ini, aturan sektoral seperti Permen LHK, Panduan Jaksa, maupun Pedoman Mahkamah Agung, yang sama-sama mendukung perlindungan pembela lingkungan, dinilai tidak cukup berpengaruh. KLHK, misalnya, merupakan lembaga eksekutif yang memiliki kewenangan terbatas terhadap proses peradilan.
“Pasalnya, kriminalisasi pejuang lingkungan biasanya bermula di laporan ke kepolisian. Peraturan di level menteri ini bisa jadi “kurang dianggap” oleh penegakan hukum, apalagi jika dihadapkan dengan KUHAP dan KUHP,” kata Roni.
“Untuk itu, KLHK perlu intensif melakukan sosialisasi ke lembaga penegak hukum, termasuk mengembangkan konsep kolaborasi penegakan hukum, sehingga aturan ini benar-benar bisa dilaksanakan,” katanya.
Marsya mengatakan, kepolisian juga harus memiliki aturan sejenis Permen LHK 10/2024 ini untuk mendukung perlindungan terhadap pembela lingkungan. Dari sisi peradilan, Marsya mengatakan jaksa harus lebih lihai dalam mengidentifikasi kasus-kasus.
“Pasal 66 dalam undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu sudah jelas menjamin hak memperjuangkan lingkungan hidup, dan mereka tidak bisa dituntut. Harusnya sudah cukup untuk menggugurkan tindak pidana atau gugatan perdata itu,” kata dosen yang juga peneliti hukum di Indonesian Center for Environmental Law itu.
Pembela lingkungan juga kerap dijerat dengan aturan pemerintah. Diantaranya, Undang-Undang ITE dengan pasal pencemaran nama baik, Undang-Undang Minerba yang mengatur protes terhadap kegiatan pertambangan sebagai tindak kejahatan, serta KUHP. Menurut Marsya, kondisi ini membutuhkan aturan yang lebih kuat.
“Pedoman-pedoman ini tidak bisa mengatur institusi lain. Bisa jadi kita membutuhkan undang-undang terkait perlindungan pembela HAM dan lingkungan hidup dalam konteks partisipasi publik,” kata Marsya.
SHARE