Kabaena: Pulau Kecil, Musuh Besar

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 13 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pulau Kabaena, sebuah pulau kecil yang terkenal indah di Sulawesi Tenggara (Sultra), kini berubah menjadi zona merah. Tak ada lagi laut biru yang memantulkan cahaya matahari, tak ada lagi terumbu karang yang melindungi ikan, dan tak ada lagi hutan hijau yang menjadi benteng alam. Hanya ada kepulan debu tambang, air laut yang keruh, dan suara mesin berat yang terus menggerogoti tanah.

Di balik ekspansi tambang nikel global yang menggemborkan era kendaraan listrik, masyarakat adat suku Bajau yang menggantungkan hidup pada laut dan komunitas suku Moronene yang bergantung pada tanah, kini kehidupannya terancam.

Hal tersebut digambarkan sebuah laporan terbaru yang dirilis tim peneliti dari Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra. Laporan berjudul "Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau" itu menyoroti kerusakan lingkungan yang signifikan di Pulau Kabaena akibat eksploitasi nikel yang masif.

Laporan ini mengungkap dampak destruktif dari industri tambang terhadap ekosistem pulau, kesehatan masyarakat, dan kelangsungan hidup tradisional suku Bajau dan Moronene. Pulau ini, yang seharusnya dilindungi, kini terkepung oleh tambang nikel.

Tampak dari ketinggian kondisi salah satu sudut Pulau Kabaena yang rusak akibat eksploitasi tambang nikel. Foto: Satya Bumi.

Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, mencatat sekitar 73%, yaitu 650 km² dari 891 km² total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km².

Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.

“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Hayaa dalam sebuah rilis, Senin (9/9/2024).

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang mengubah status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi membuka pintu bagi perusahaan tambang untuk masuk. Hingga kini, 40% dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di pulau ini telah beroperasi, sementara sisanya bakal menyusul. Aktivitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran.

Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektare hutan lindung, telah habis digunduli Perusahaan seperti PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). Mereka menjadi salah satu kontributor terbesar dengan deforestasi seluas 641 hektare.

Sementara itu, PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) mencatat deforestasi sebesar 295 hektare dalam tiga tahun terakhir. TMS mengeruk hutan lindung yang menjadi sumber air utama bagi penduduk.

Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi daratan, tetapi juga lautan. Sampel air yang diambil dari sungai dan laut di empat titik di Kabaena mengungkapkan kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, dan asam sulfat yang melebihi batas aman.

Limbah tambang ini mengalir ke laut, membunuh terumbu karang dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajau. Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan dan anak-anak.

Suku Bajau yang kehilangan laut

Bagi suku Bajau, yang sejak ratusan tahun hidup dari laut, pencemaran ini adalah pukulan telak. Air laut yang dulu mereka sebut rumah, air laut yang dulu jernih dan penuh ikan, kini berubah menjadi lumpur kecoklatan.

Limbah tambang mencemari laut, membunuh terumbu karang, dan membuat ikan pergi menjauh. Nelayan yang dulunya hanya perlu dua liter bahan bakar untuk membawa pulang 15 kilogram ikan, kini harus melaut jauh dengan sepuluh kali lipat bahan bakar, hanya untuk mendapatkan dua sampai tiga kilogram ikan.

Suku Bajau tidak hanya kehilangan laut mereka, tapi juga kehilangan masa depan. Saat ikan tak lagi mendekat, banyak dari mereka terpaksa meninggalkan tradisi nelayan dan beralih menjadi buruh kasar di tambang nikel.

Pekerjaan ini bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Namun, pekerjaan di tambang pun tidak memberi harapan. Para pekerja dibayar rendah, tanpa jaminan kesehatan, dan bekerja dalam kondisi yang memprihatinkan.

“Saya menyerah menjadi nelayan, saya ditawari menjadi buruh bongkar muat nikel, tetapi saya tidak digaji empat bulan. Istri anak saya butuh makan, akhirnya saya kembali menjadi nelayan. Setiap hari saya gatal-gatal, tetapi sama sekali tidak ada pemberian obat dan kompensasi apapun," kata Anno, nelayan di Kabaena.

Kondisi perairan di sekitar pemukiman warga di Pulau Kabaena, Sultra. Foto: Satya Bumi.

Anak-anak Bajau yang dulunya dilatih menyelam sejak usia tiga tahun, kini tidak lagi diajarkan. Air laut yang tercemar membuat kulit mereka gatal dan luka. Lebih tragis lagi, tiga anak Bajau dilaporkan meninggal dunia akibat jatuh ke air yang keruh dan tidak bisa berenang karena mereka tak lagi diajarkan menyelam.

“Kondisi ini sangat memprihatinkan, sebab secara tradisional turun temurun sejak anak suku Bajau berusia tiga tahun mereka telah diajarkan untuk menyelam. Karakteristik suku Bajau yang menggantungkan hidup di perairan laut membuat kemampuan menyelam ini sangat krusial bagi preservasi kehidupan,” kata Hayaa.

Tak hanya ekosistem yang hancur, tetapi juga ekonomi masyarakat Kabaena yang merosot tajam. Sebanyak 82% dari masyarakat yang diwawancarai melaporkan bahwa pendapatan mereka menurun drastis sejak tambang nikel beroperasi. Para nelayan yang dulu menggantungkan hidup dari laut, kini terpaksa menjadi buruh kasar di tambang, dibayar rendah, dan bekerja tanpa jaminan kesehatan.

Komunitas suku Moronene yang dulu hidup dari perkebunan kacang mete dan kopi kini kehilangan lahan mereka. Tanaman di sekitar tambang menjadi tidak subur, memaksa mereka menjual tanah kepada perusahaan tambang.

Direktur Eksekutif Walhi, Andi Rahman, mengatakan Kebijakan percepatan transisi energi menyebabkan laju perubahan iklim, pelanggaran HAM dan rusaknya sumber penghidupan masyarakat lokal di Sultra.

“Daerah ini tadinya penghasil ikan. Sekarang mereka tak makan ikan lagi karena takut tercemar,” kata Andi.

Andi juga melaporkan peningkatan pelanggaran HAM di Kabaena. Walhi Sultra mencatat pada 2023, terdapat 32 warga lokal yang dilaporkan dan dua orang menjadi terdakwa.

“Saat kami mendampingi warga, ibu-ibu yang melakukan aksi mempertanyakan Amdal ternyata berakhir menjadi tersangka,” ujar Andi.

Sementara itu, Komisioner Mediasi Komnas HAM RI, Prabianto Mukti Wibowo, menyampaikan sejumlah catatan dari hasil penelitian tambang nikel di Pulau Kabaena. Pertama, tidak dijalankannya prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC).

Kedua, lemahnya perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat (MHA). Ketiga, rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibuat untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

"Perlu dipertimbangkan untuk rekomendasi, yakni perbaikan (revisi) regulasi tentang PSN, misal PP 42/2021; kewajiban melakukan Uji Tuntas HAM (HRDD) dan ESG bagi usaha pertambangan, serta penerapan prinsip Leave No One Behind-SDGs," kata Prabianto.

Menanggapi laporan ini, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rita Susilawati, mendukung apa yang dilakukan Satya Bumi dan Walhi Sultra.

"Kami biasanya menerima laporan dan menindaklanjutinya ke lapangan, apakah benar seperti itu," kata Rita dalam kesempatan yang sama.

Rita menegaskan Ditjen Minerba terus mendorong terciptanya peningkatan kinerja Kaidah Teknik Pertambangan oleh perusahaan pertambangan. Ia bilang sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan pertambangan untuk menerapkan kaidah pertambangan yang baik atau good mining practice.

Tampak perbukitan yang mulai gundul akibat aktivitas tambang nikel di Pulau Kabaena, Sultra. Foto: Satya Bumi.

Tambang dan jaring korupsi

Di balik kerusakan ekologis dan sosial ini, terdapat jaringan korupsi dan kekuasaan yang memperburuk situasi. Sebanyak 10 dari 15 izin tambang di Kabaena diterbitkan sebelum 2012, ketika Nur Alam, mantan Gubernur Sultra, masih berkuasa.

Ia kemudian terbukti terlibat dalam kasus korupsi yang berkaitan dengan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan seperti PT AHB dan PT TMS. Jaringan politik dan pengaruh besar inilah yang menjadi alasan mengapa tambang-tambang ini terus beroperasi, meski melanggar aturan.

“Kami mendapatkan respon kecewa dari elemen masyarakat sipil. Saat ini Nur Alam telah selesai menjalani masa hukuman selama 6.5 tahun dengan bebas bersyarat pada Januari 2024,” kata Hayaa.

Nur Alam bukan satu-satunya tokoh politik yang terlibat. Laporan ini juga mengungkap keterlibatan beberapa mantan pejabat tinggi, termasuk jenderal Polri dan TNI yang memiliki afiliasi dengan perusahaan tambang di Kabaena. Di bawah permukaan, Kabaena tidak hanya menghadapi tambang nikel, tetapi juga tambang kekuasaan yang mengakar.

Pulau Kabaena, yang dulunya rumah bagi suku Bajau dan Moronene, kini berada di ambang kehancuran. Laut yang tercemar, hutan yang habis, dan kesehatan masyarakat yang terancam adalah kenyataan yang dihadapi setiap hari. Jika tidak ada intervensi segera dari pemerintah dan tindakan tegas terhadap perusahaan tambang,

"Pulau Kabaena mungkin hanya akan menjadi kenangan akan sebuah pulau kecil yang tenggelam oleh kerakusan industri nikel. Dunia mungkin menginginkan nikel untuk kendaraan listrik, tetapi di Kabaena, harga yang harus dibayar terlalu mahal," ucap Hayaa.

SHARE