Nikel Ditambang, Deforestasi Terbilang

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Aryo Bhawono

SOROT

Kamis, 05 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - MASIH lekat di ingatan Adi, barisan hijau hutan lebat pernah berdiri di belakang kampungnya, di Kecamatan Bungku Timur, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Namun lahan yang dulunya berhutan itu kini hanya berupa hamparan lubang dan gundukan tanah merah yang sangat luas. 

Adi menuturkan, sejak 2009 hutan itu dibabat oleh perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di sana. Mirisnya, meski sudah banyak tahun berlalu dan perusahaan tambang sudah pergi, lahan yang dulunya berhutan itu tetap gundul, gersang. Hampir tak ada pepohonan yang kembali tumbuh di sana.

"Sepertinya tanaman apapun tak akan tumbuh di sana (lahan bekas tambang). Kecuali direklamasi dan serius ditanami mungkin bisa jadi hutan lagi. Tapi itupun pasti butuh waktu lama," kata Adi, Selasa (3/9/2024).

Adi bilang, sekitar 2009 sampai 2011 lalu, aktivitas perusahaan tambang cukup rakus menggali nikel di sekitar kampungnya. Setidaknya ada 4 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi, hanya di sekeliling kampungnya. Namun kini perusahaan-perusahaan itu sudah tidak beroperasi lagi.

Tampak hutan gundul akibat tambang nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: Auriga Nusantara.

"Ya mereka sepertinya sembarang aja. Datang kemudian menggali dan pergi setelah izinnya habis atau mungkin nikelnya sudah habis di sana. Lahan bekas tambangnya ya ditinggal begitu saja," kata Adi.

Tapi setelah belasan tahun, Adi melanjutkan, saat ini salah satu perusahaan tambang raksasa mulai beroperasi lagi di kampungnya. Perusahaan itu sudah membangun jalan, dermaga, dan sudah mulai menggali perut Bumi di areal konsesinya.

Celakanya, sementara para korporasi itu panen nikel, Adi dan ratusan warga di kampungnya menerima 'getahnya'. Adi menyaksikan, tiap deras hujan datang, air merah mengandung material lumpur mengalir di saluran-saluran irigasi. Walhasil, sawah dan ladang atau kebun milik warga terendam lumpur merah, akibatnya tanaman pangan yang ditanam menjadi kerdil atau mati.

Karena jarak antara lokasi aktivitas tambang dan pemukiman warga hanya berjarak sekitar 1 kilometer (km), lanjut Adi, rumah-rumah warga jadi langganan hujan debu. Apalagi perkampungan warga juga sangat dekat dengan jalan angkut material tambang (hauling). Soalnya, tiap kali melintas, kendaraan angkut tambang selalu menerbangkan debu ke rumah warga.

"Sebenarnya banyak warga yang masih protes, komplain. Terutama mereka yang masih bertani. Intinya sih mereka tidak mau rugi. Ada juga yang melawan dan menolak tambang. Meski sudah agak terlambat," ujarnya.

Adi sadar, meski saat ini sebagian warga ada yang bekerja di perusahaan tambang dan smelter (fasilitas pemurnian) nikel, tapi pekerjaan itu tidak akan lama. Karena deposit nikel yang tersisa, konon umurnya pendek. 

Tapi warga, termasuk dirinya, masih tak memiliki gambaran akan bagaimana masa depan nanti. Karena warga tak bisa lagi mengandalkan lahan dan hutan yang sudah terlanjur hancur itu sebagai tumpuan hidup.

"Entahlah mau bagaimana nanti. Tapi saya rasa warga di kecamatan lain, seperti di Bungku Selatan dan Bahodopi, nasibnya sama dengan kami. Apalagi di Bahodopi lebih parah. Karena aktivitas tambang di sana dari dulu sampai sekarang tidak pernah berhenti," ucap Adi.

Perubahan tutupan lahan konsesi tambang PT Vale Indonesia di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Sumber: Citra satelit Planet.

Perubahan tutupan lahan konsesi tambang PT Vale Indonesia di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Sumber: Citra satelit Planet.

Pelaku deforestasi baru di daerah kaya nikel

Kehilangan hutan alam atau deforestasi akibat operasi pertambangan nikel terjadi di mana-mana, tak hanya di Morowali. Dan tak hanya di Sulteng, daerah kaya nikel lainnya seperti Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Kepulauan Maluku, mengalami hal serupa.

Analisis Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan, sejak 2001-2023 total luas hutan alam yang hilang akibat pertambangan nikel di Indonesia mencapai 193.830 hektare. Deforestasi di konsesi tambang nikel terbesar terjadi pada 2016 seluas 28.906 hektare, kemudian pada 2015 seluas 24.986 hektare dan 2014 seluas 13.391 hektare.

Peneliti Auriga Nusantara, Ki Bagus Hadikusuma, mengatakan Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Tanah Papua mengandung 98% deposit nikel Indonesia. Sehingga wilayah di bagian Timur Indonesia ini jadi sasaran para pengusaha tambang, dan hutan alam di sana akan menjadi salah satu korbannya. 

Ki Bagus mengatakan, hasil penampalan (overlay) peta areal deposit nikel dengan tutupan hutan alam 2023 menunjukkan bahwa 3,2 juta hektare (79%) deposit nikel tersebut berada di bawah tutupan hutan alam. Angka ini tentu telah mengurangkan hutan alam yang hilang (deforestasi) oleh industri nikel selama ini. 

Berbeda dengan sektor agrikultur yang memiliki smallholder dalam proporsi signifikan, pertambangan nikel sepenuhnya dilaksanakan oleh korporasi, atau oleh para pemilik IUP nikel. Dengan demikian, setiap deforestasi oleh tambang nikel bisa dipastikan sebagai deforestasi oleh korporasi pertambangan nikel.

Ki Bagus mengatakan, nikel Indonesia mayoritas berada di bawah tutupan hutan, lalu ditambang terbuka (open pit mining) secara meluas dengan skala melonjak, maka yang terjadi adalah peningkatan deforestasi. Demikianlah yang kini sedang terjadi oleh eksploitasi nikel Indonesia.

"Lonjakan eksploitasi nikel menjadikannya sebagai salah satu driver utama deforestasi di Indonesia. Nikel bahkan menjadi driver terbesar deforestasi di provinsi tempat tambang nikel beroperasi," kata Ki Bagus, Rabu (4/9/2024).

Analisis terhadap citra satelit, sambung Ki Bagus, menunjukkan terjadinya deforestasi seluas 198.861 hektare oleh industri nikel di Indonesia sejak 2000. Total area deforestasi ini terjadi di agregat izin nikel (tapi tanpa menghitung deforestasi setelah pencabutan izin). Deforestasi tersebut terjadi oleh 2 kegiatan, yakni kegiatan pertambangan di area seluas 193.830 hektare dan pembangunan smelter berikut fasilitas pendukungnya pada area seluas 5.031 hektare.

Andil tak kecil hilirisasi nikel

Ki Bagus menguraikan, izin tambang nikel melonjak drastis sejak 2009, menjelang atau awal periode kedua kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Proyek dan industri nikel di Sulawesi dan Maluku Utara bahkan merupakan salah satu tema penting dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan melalui Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 yang kemudian diamandemen Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2014.

"Bila sebelumnya izin tambang nikel kurang dari 10 izin pada wilayah yang luasnya kurang dari 130.000 hektare, pada era kepresidenan SBY jumlah izin melonjak hingga lebih dari 600 izin tambang pada wilayah lebih dari 2 juta hektare," ujar Ki Bagus. 

Tumpang tindih izin, imbuhnya, menjadi fenomena jamak sehingga memicu Komisi Pemberantasan Korupsi menginisiasi program Koordinasi dan Supervisi atas Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara pada 12 Provinsi di Indonesia, atau lebih dikenal dengan Korsup Minerba, sejak Februari 2014.

Menggunakan instrumen clear and clean (C&C), kata Ki Bagus, program ini berhasil mengurangi secara signifikan tumpang tindih perizinan pertambangan, hingga pada 2020 jumlah izin tambang nikel tersisa 273 unit pada wilayah seluas 820.365 hektare. Tapi pada 2021 kembali terjadi peningkatan izin tambang nikel, baik secara jumlah maupun luas.

Pada 5 Januari 2022 Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan 2.078 izin pertambangan mineral dan batu bara sehingga juga mengurangi jumlah maupun luas izin pertambangan nikel. Pada akhir 2023, melalui lelang perizinan, pemerintah kembali menerbitkan izin tambang nikel baru.

Tapi, lanjut Ki Bagus, izin-izin baru yang diterbitkan pada rentang waktu tersebut tidak selalu di areal yang telah mengalami pencabutan izin sebelumnya, sehingga secara agregat luas izin tambang nikel di Indonesia lebih luas dari puncak izin tambang nikel yang terjadi pada 2017 ketika izin tambang nikel berjumlah 623 izin pada wilayah seluas 2.438.874 hektare. 

"Agregat atau seluruh izin nikel sejak 2000, dengan area yang tumpang-tindih hanya dihitung sekali, atau secara spasial dikenal dengan merge, mencakup wilayah seluas 2.501.183 hektare," katanya.

Sama dengan perizinan yang mulai melonjak pada kepresidenan SBY, deforestasi nikel juga mulai menunjukkan gejala peningkatan pada periode tersebut. Akan tetapi, deforestasi tertinggi terjadi pada kepresidenan Joko Widodo (Jokowi). Deforestasi pada sembilan tahun kepresidenan Jokowi jauh melampaui deforestasi 10 tahun kepresidenan SBY.

"Bahkan, deforestasi pada 9 tahun kepresidenan Jokowi lebih tinggi dari deforestasi di seluruh kepresidenan sejak 2000, karena 51% deforestasi nikel pada 2001-2023 terjadi pada 9 tahun pertama kepresidenan Jokowi," ucap Ki Bagus.

Ki Bagus melanjutkan, deforestasi nikel mengalami penurunan drastis sejak 2016, namun tetap tergolong tinggi terutama mengingat berkurangnya, hingga dua per tiga, luas izin tambang pada periode ini. Penyebab utamanya adalah melonjaknya pembangunan smelter yang tidak dibebankan kepastian bahan baku dan transparansi rantai pasok (supply chain) pada perizinan pendiriannya.

Hingga akhir kepresidenan SBY, hanya 2 smelter yang beroperasi di Indonesia, yakni smelter PT Vale Indonesia di Sulawesi Selatan dan PT Aneka Tambang di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Keduanya dibangun pada dekade 1970-an. Terdapat smelter PT Bintang Smelter Indonesia di Sulawesi Tenggara yang tercatat selesai dibangun pada 2014, tapi hingga saat ini smelter ini tidak tercatat beroperasi.

Sembilan tahun kepresidenan Jokowi mencatat pembangunan dan pengoperasian 20 smelter, yakni 13 smelter di Sulawesi dan 7 smelter di Maluku Utara. Sebaran izin dan smelter yang sebagian besar berada di Sulawesi menjadi penyebab utama dominasi deforestasi nikel di pulau ini.

Pengembangan industri nikel, yang pada praktiknya berupa pembangunan kawasan industri dan smelter, memang menjadi salah satu program prioritas kepresidenan Jokowi, terlihat dari dimasukkan proyek-proyek seperti ini dalam daftar Proyek Infrastruktur Prioritas dan atau Proyek Strategis Nasional, yang merupakan kelanjutan dari MP3EI kepresidenan SBY.

Selain bertambahnya jumlah dan luas izin, ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah turut serta mengakibatkan tingginya deforestasi nikel di Indonesia. Pengetatan atau bahkan larangan ekspor mineral mentah yang dimandatkan UU Minerba ternyata tidak dilaksanakan pada sektor nikel, terbukti dengan tiadanya smelter baru yang beroperasi pada 5 tahun transisi yang disediakan undang-undang ini.

Di sisi lain, tiadanya pembatasan atau kendali terhadap pembangunan smelter terbukti turut mengeskalasi deforestasi. Padahal, Indonesia saat ini sedang membangun setidaknya 25 smelter baru sembari merencanakan pembangunan 11 smelter lainnya.

"Menimbang bahwa Pemerintah Indonesia masih membuka ruang perluasan izin tambang nikel, dan juga penambahan jumlah dan kapasitas smelter, seluruh hutan alam ini sedang terancam oleh ekspansi industri nikel di Indonesia," ucap Ki Bagus.

SHARE