Peringatan Darurat: Megathrust Mengancam Rumah Badak Jawa

Penulis : Aryo Bhawono & Kennial Laia

SOROT

Senin, 26 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Bentang tanah terbuka dengan pepohonan berserak berada di hadapan Kepala Pusat Informasi dan Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Pusdatin BNPB), Abdul Muhari. Pepohonan itu seperti dicabut paksa dari tanah, menyisakan tanah dan lumpur. Pemandangan ini ia dapati ketika menginjak bagian utara Semenanjung Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten.

Saat itu sekitar awal tahun 2019, beberapa hari setelah tsunami Anyer menerjang beberapa kawasan pantai Banten di Selat Sunda. Muhari bertandang bersama Kepala BNPB kala itu, Doni Monardo. Ia tak menduga tsunami akibat longsoran bawah laut Gunung Anak Krakatau itu berdampak sedemikian besar di Ujung Kulon. 

Gelombang raksasa diperkirakan setinggi lebih dari lima meter menyapu kawasan utara semenanjung itu. Seluruh vegetasi tersapu hingga masuk ke daratan sejauh 800 meter hingga 1 km.

“Kalau melihat dampaknya saya perkirakan gelombangnya lebih dari lima meter karena yang terjadi adalah semua vegetasi benar-benar tersapu dan tercerabut,” ucapnya ketika ditemui di Gedung Indonesia Disaster Relief Training Ground (INA-DRTG) BNPB Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Rabu (21/8/2024).


Peringatan darurat tsunami megathrust badak jawa.

Laporan merupakan bagian pertama dari artikel serial tentang ancaman megathrust terhadap badak jawa yang akan diturunkan pada pekan ini.  


Dampak Tsunami Anyer 2018 di Semenanjung TNUK Bagian Utara

Kondisi serupa juga ditemukan di Pulau Panaitan bagian utara yang masih menjadi bagian Taman Nasional Ujung Kulon. Vegetasi di kawasan itu tersapu hingga 700 meter ke pedalaman. 

Tsunami Anyer pada 22 Desember 2018 datang tanpa peringatan karena aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau dan menyapu pesisir Banten di Selat Sunda dengan ketinggian gelombang 1 hingga 6 meter. Sebanyak 437 jiwa meninggal karena bencana ini. 

Cerita kerusakan akibat tsunami di TNUK ini merupakan referensi risiko bencana yang dihadapi oleh rumah badak jawa (Rhinoceros sondaicus). 

Taman nasional yang terletak di semenanjung paling barat Pulau Jawa di Selat Sunda itu memendam berbagai potensi bencana gempa, yakni aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau dan zona megathrust. 

Dampak Tsunami Anyer 2018 di Pulau Panaitan TNUK

Gempa vulkanik terbesar di kawasan itu tercatat pada saat Gunung Krakatau meletus pada 1883. Tsunami akibat gunung itu mencapai 18 meter. 

“Artinya tsunami 2018 itu kekuatannya belum seberapa dibandingkan dengan letusan Gunung Krakatau,” ucap dia.

Muhari memberikan catatan bahwa ancaman terpendam yang sewaktu-waktu bisa terjadi adalah gempa tektonik akibat megathrust. Ujung Kulon berada di zona tiga megathrust, yakni Megathrust Jawa Barat, Selat Sunda, dan Enggano. Masing-masing megathrust ini memiliki potensi gempa besar dan dapat menimbulkan tsunami. 

Pakar Tsunami Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widjo Kongko, menyebutkan tiga megathrust ini memiliki potensi skala gempa sangat besar, yakni megathrust Selat Sunda sebesar 8,4 Magnitudo, megathrust Jawa Barat mencapai 8,7 M, dan  megathrust Enggano mencapai 8,7 M. Masing-masing skala ini dapat memunculkan tsunami.   

“Dan tiga megathrust ini berpotensi untuk tsunami bisa lebih dari 10, mungkin sampai 20 meter,” ucap dia. 

Ia menjelaskan tinggi tsunami di pesisir Ujung Kulon ditentukan oleh berbagai faktor, seperti panjang patahan, volume air, hingga posisi dan kedalaman titik gempa. Menurutnya pelajaran yang diambil dari besarnya tsunami Aceh pada 2004 adalah panjangnya patahan, mencapai 1.200 kilometer.    

Pemodelan tsunami akibat gempa megathrust di Jawa Barat dan Banten. Sumber Data: Widjo Kongko

Widjo sendiri melakukan pemodelan tsunami akibat gempa tiga megathrust itu. Ia memperkirakan tinggi gelombang tsunami di pantai pesisir Ujung Kulon pada kisaran 15 hingga 25 meter di pesisir Ujung Kulon dengan kekuatan gempa megathrust mencapai 8,7 M. Namun skenario terburuk ia mencatatkan ketinggian gelombang mencapai 30 meter. 

Vegetasi mangrove diperkirakan dapat menahan gelombang tsunami. Namun vegetasi tersebut tidak akan mampu menahan gelombang di atas lima meter, seluruh tumbuhan akan turut tersapu gelombang tsunami. 

Pemodelan yang dilakukan jurnal ‘On the potential for megathrust earthquakes and tsunamis off the southern coast of West Java and southeast Sumatra, Indonesia’ menyebutkan ketinggian maksimal tsunami akibat gempa megathrust dapat mencapai 35 meter secara merata di selatan Jawa Barat. Namun beberapa faktor, seperti yang dikatakan Widjo, dapat mempengaruhi ketinggian gelombang raksasa ini. 

Jurnal berjudul ‘Preventing Global Extinction of the Javan Rhino: Tsunami Risk and Future Conservation Direction’ yang dipublikasikan Society for Conservation Biology pada 2018 melakukan pemodelan tsunami akibat gempa megathrust di Ujung Kulon. Mereka mempertimbangkan kepadatan populasi badak pada saat itu. 

Jurnal itu menyebutkan populasi badak jawa adalah 62 individu dengan mayoritas populasi terkonsentrasi di dekat garis pantai. Satwa ini lebih memilih hidup di dataran rendah yang memiliki daya dukung habitat pilihan, yakni ketersediaan kubangan, pakan, dan jauh dari predator seperti anjing hutan/ ajak (Cuon alpinus), dan pesaing habitat seperti banteng jawa (Bos javanicus d’Alton). 

Pemodelan beberapa ketinggian gelombang tsunami terhadap habitat badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Sumber: Preventing Global Extinction of the Javan Rhino: Tsunami Risk and Future Conservation Direction 

Mereka mencatat kepadatan badak 25 persen pada ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau sekitar 108 meter dari garis pantai. Kepadatan badak 50 persen persen terjadi pada ketinggian rata-rata 9 mdpl atau sekitar 412 meter dari garis pantai. Sedangkan kepadatan badak 75 persen ada pada ketinggian 15 mdpl atau sekitar 855 meter dari garis pantai. 

Tsunami setinggi 5 meter dapat menggenangi semua area dengan kepadatan badak tertinggi 20 persen, sementara gelombang lebih dari 10 m dapat menggenangi lebih dari 80 persen area dengan kepadatan badak tertinggi 50 persen. Tsunami setinggi 30 m akan menggenangi hampir semua area tempat badak Jawa terkonsentrasi.

Pemodelan ketinggian tsunami menunjukkan mereka rentan terimbas bencana alam itu. Pemodelan empat ketinggian gelombang tsunami menunjukkan habitat pilihan satwa itu akan terendam oleh air. Jika tsunami Aceh 2004 terjadi di megathrust sekitar Ujung Kulon maka tenggelamlah badak jawa. 

“Satu prakiraan tsunami menggunakan gempa bumi historis di Selat Sunda menemukan bahwa gempa bumi yang mungkin terjadi akan menyebabkan kenaikan maksimum 11,6 meter di sepanjang garis pantai Taman Nasional Ujung Kulon,” tulis jurnal tersebut.

Pada tsunami Anyer 2018 lalu tak ada catatan mengenai badak yang menjadi korban gelombang raksasa itu. Hanya saja beberapa fasilitas TNUK mengalami kerusakan, yakni Resor Citelang, shelter, dan toilet di Cigenter. Selain itu dua buah kapal ketinting hancur, dua sampan hilang, dan dermaga Handeuleum lenyap diterjang gelombang, serta dermaga Tamanjaya rusak.

Dua petugas di resor Citeulang Seksi Pengelolaan TN Wilayah Dua, Pulau Handeuleum, yakni Rubani dan Sandi, ikut meninggal. 

Widjo pun menjelaskan perendaman (inundation) akibat tsunami akan berdampak besar bagi satwa ini. Penyusutan habitat badak jawa akan terjadi signifikan, berbanding dengan dengan tinggi tsunami. Daerah ini tentu tak dapat lagi dihuni oleh satwa itu. 

Ia menekankan studi gempa dan tsunami dapat dimanfaatkan juga untuk mitigasi satwa dilindungi. 

“Ini menarik karena tak banyak kajian tsunami di kawasan yang tak dihuni oleh manusia (inhabitant) seperti kawasan konservasi ini,” ucap dia.

Menurutnya, terdapat catatan bahwa beberapa satwa seperti gajah dapat mendeteksi terjadinya gempa dan tsunami. Pada tsunami  Aceh 2004, gelombang tsunami terasa hingga Srilanka. Di negara itu kawanan gajah berduyun-duyun menjauhi pantai menuju pegunungan. Mereka selamat karena menjauh dari pantai.

“Pernah ada ide untuk memelihara gajah di Padang untuk mendeteksi tsunami ini. Tapi itu tak dilakukan karena memang belum ada dasar kajian dan dampaknya terhadap gajah itu sendiri kalau dipelihara,” kata dia.        

Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, belum menyanggupi wawancara mengenai ancaman ini. Ia mengaku tengah sibuk melakukan perjalanan keluar kota ketika dihubungi redaksi.

SHARE