Cek Fakta Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi: Yang Tak Tersebut
Penulis : Aryo Bhawono dan Kennial Laia
SOROT
Sabtu, 17 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan terakhir pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara, Jakarta, pada Jumat, 16 Agustus 2024, dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia. Pidato kenegaraan itu menggarisbawahi capaian pembangunan selama 10 tahun terakhir serta visi ke depan untuk Indonesia yang lebih sejahtera dan merata.
Betahita menguji silang pidato tersebut dengan data dan pendapat pakar. Berikut catatannya:
1. Hilirisasi Nikel
Sejumlah lembaga mencatat lebih banyak derita di kawasan tambang dan smelter nikel.
PRESIDEN Joko Widodo, menyebutkan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga telah membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara.
“Alhamdulillah, sampai saat ini telah terbangun smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga yang membuka lebih dari 200 ribu lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan negara Rp158 triliun selama 8 tahun ini,” kata Jokowi.
Fakta
Hilirisasi telah menambah perizinan tambang nikel dan pembangunan kawasan industri terpadu pengolahan nikel. Namun ada yang tak lengkap dalam klaim tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebutkan pidato tersebut hanya menyebutkan hal dan angka makro hilirisasi. Pada sektor ketenagakerjaan misalnya diwarnai dengan deret kecelakaan kerja.
“Tingkat kecelakaan kerja di kawasan industri nikel juga merugikan keselamatan para pekerja,” kata dia kepada redaksi, Jumat (16/8).
Serapan tenaga kerja juga berbanding lurus dengan menurunnya produksi sektor perikanan dan pertanian di sekitar tambang dan smelter. Semakin luas konsesi tambang nikel, dan izin industri efeknya pendapatan nelayan dan petani menurun. Laut nya jadi tercemar, udara juga terimbas masifnya PLTU di kawasan hilirisasi.
Dua lembaga ini melakukan riset berjudul ‘Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel – Dampak Ekonomi dan Kesehatan dari Industri Nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara’ yang dirilis pada Februari lalu. Hasilnya beroperasinya industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan sebesar Rp3,64 triliun dalam 15 tahun kedepan.
Secara ekonomi, industri nikel juga menyebabkan kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari Rp6 triliun. Dengan mempertimbangkan buruknya kondisi udara di sekitar industri nikel, berpotensi menyebabkan 55.600 kematian dan kerugian sebesar Rp592 triliun pada tahun 2060.
Biaya kesehatan dari dampak hilirisasi menurut estimasi lembaganya dan Center for research and Clean Air (CREA) menembus Rp40,7 triliun (2,6 miliar dolar AS).
Bahkan Indonesia terancam jebakan ‘dirty nickel’, yakni produksi tanpa memperhatikan aspek tata kelola yang baik menjadikan harga nya murah di pasar internasional.
“Indonesia harus keluar dari jebakan ‘dirty nickel’ kalau tidak ingin kehilangan daya saing jangka panjang. Apalagi sudah banyak alternatif bahan baku baterai selain nikel seperti LFP (Lithium Ferro Phosphate) dan Sodium,” tulisnya dia.
Citra Google Earth menampakkan kondisi lahan sekitar SDN 12 Laeya yang hancur akibat tambang nikel.
Kerusakan lingkungan tegak lurus angka kemiskinan
Satya Bumi mencatat dampak lingkungan, seperti deforestasi tak tersebut dalam pidato itu. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2023 menyebutkan Indonesia mempunyai 329 tambang nikel yang telah menyebabkan deforestasi seluas 76.031 hektare hutan.
Deforestasi dan penguasaan lahan untuk tambang ini berimbas pada perekonomian yang buruk bagi masyarakat. Di Sulawesi Tengah pada tahun 2023, sektor pertanian mampu menyumbang lapangan kerja 38,85 persen lebih banyak dibandingkan sektor pertambangan yang hanya 2,39%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga masih diikuti dengan peningkatan angka kemiskinan, khususnya di kawasan industri smelter nikel.
Di Morowali, angka kemiskinan mencapai 12,58% pada tahun 2022. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan wilayah lain yang tidak memiliki smelter.
Tak hanya hutan yang terkena dampak buruk, area pesisir rusak karena pertambangan dan pembuangan limbah smelter. Masyarakat pun harus menanggung akibatnya karena kehilangan mata pencarian di laut.
“Sumber daya alam yang sejatinya dikelola untuk kesejahteraan bersama kini menjadi ladang eksploitasi bagi segelintir pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses politik. Masyarakat adat yang selama ini menjaga dan hidup selaras dengan alam dipaksa tersingkir dari tanah leluhur mereka tanpa adanya konsultasi yang layak dan tanpa kompensasi yang memadai,” kata Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andie Muttaqien.
Sementara itu catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan pengembangan industri-industri berbasis mineral kritis menimbulkan ancaman bagi kawasan ekosistem penting. Kementerian ESDM telah menetapkan sejumlah 47 jenis komoditas yang masuk sebagai mineral kritis di Indonesia. Saat ini diperkirakan 3.641.119 hektar lahan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk mineral kritis, dan sebagian besarnya berada pada wilayah yang penting secara ekologis.
Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Fanny Tri Jambore menyebutkan diperkirakan 900.000 hektar lahan di Indonesia telah diberikan untuk izin pertambangan nikel, lebih dari 600.000 hektar diantaranya berada dalam kawasan hutan. Pada tahun 2021 saja, diperkirakan angka deforestasi akibat pertambangan nikel sudah melampaui 40.000 hektar.
“Jika keseluruhan kawasan yang diberikan izin pertambangan nikel dilakukan perubahan fungsi lahan, diperkirakan ada pelepasan emisi sebesar 83 juta ton CO2e. Klaim penambahan lapangan pekerjaan dari industri berbasis mineral kritis juga mesti diperiksa Kembali, karena dalam beberapa kasus, yang terjadi justru hilangnya pekerjaan dan sumber-sumber pendapatan masyarakat akibat operasi pertambangan untuk mineral kritis,” kata dia.
Contohnya saja konflik yang melibatkan PT Vale di Luwu Timur, terdapat 4.239 hektare kebun merica yang terancam digusur untuk kebutuhan ekspansi tambang nikel. Padahal kebun merica tersebut menjadi sumber kehidupan utama hidup masyarakat, dan bahkan bisa memperkerjakan hingga 35.000 sampai 40.000 tenaga kerja setiap tahunnya.
“Hilangnya Kawasan perkebunan ini tentu akan menghilangkan penghidupan warga dan para pekerja yang menggantungkan hidupnya disana,” kata dia.
2. Transisi Energi
Dalam dua bulan terakhir masa jabatan, Jokowi diharapkan mengambil aksi yang mempercepat transisi energi di Indonesia.
DALAM pidatonya Jokowi juga menyampaikan capaian elektrifikasi dan transisi energi. “Di saat dunia mulai mengarahkan masa depannya ke ekonomi hijau, Indonesia juga tidak ingin kehilangan momentum karena Indonesia memiliki potensi besar di sektor energi hijau, yaitu sekitar lebih dari 3.600 gigawatt,” kata Jokowi.
“Kita terus konsisten mengambil bagian dalam langkah dunia melakukan transisi energi secara hati-hati dan bertahap. Transisi energi yang ingin kita wujudkan adalah transisi energi yang berkeadilan, yang terjangkau, dan mudah diakses oleh masyarakat,” ujarnya.
Sejumlah pakar, di antaranya Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR); Beyrra Triasdian, manajer bidang energi terbarukan Trend Asia; dan Ibrahim Fahmy, direktur tambang dan energi Auriga Nusantara, menggarisbawahi soal capaian ini.
Data potensi benar, tapi...
Berdasarkan catatan IESR, angka yang disampaikan mengenai potensi sumber energi terbarukan tersebut benar. Hitungan tersebut berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memperkirakan potensi lebih dari 3.600 gigawatt (GW). Potensi tenaga surya mendominasi, yakni lebih dari 3.200 GW.
Fabby mengatakan angka tersebut benar dan masih estimasi minimum. Berdasarkan perhitungan IESR, rata-rata potensi energi terbarukan Indonesia dua kali lebih besar, yakni 7.700 GW, yang sebagian besar disumbang oleh tenaga surya.
Presiden, transisi energi sudah genting
Transisi energi yang didorong secara global muncul sebagai respons terhadap krisis iklim yang tengah terjadi. Penggunaan energi fosil seperti minyak, gas, dan batu bara–diantaranya menghasilkan listrik–merupakan penyebab utama naiknya level emisi gas rumah kaca yang mengendap di atmosfer. Gas seperti karbon dioksida dan metana ini kemudian memerangkap panas matahari dan mencegahnya bocor kembali ke luar angka dan menyebabkan pemanasan global.
Fabby mengatakan, dampak dari krisis iklim ini terasa di seluruh dunia. Cuaca ekstrem seperti panas ekstrem, banjir bandang, dan kebakaran hutan dan lahan adalah sedikit dari banyaknya efek yang terjadi akibat kerusakan ekologis ini.
“Dalam konteks itu benar yang disampaikan Jokowi. Dunia mengarah ke sana (transisi energi). Fenomena bencana alam juga membuat sense of urgency di seluruh dunia semakin tinggi untuk melakukan penurunan gas rumah kaca,” kata Fabby.
Menurut Fabby, urgensi ini harus tercermin dalam kecepatan negara melakukan transisi energi, termasuk Indonesia. Pernyataan Jokowi yang mengatakan agenda ini dilakukan “secara hati-hati dan bertahap” belum menunjukkan situasi genting iklim dalam lima tahun terakhir.
Indikator lambatnya transisi energi
Menurut Fabby, indikator lambatnya pengembangan energi hijau terlihat dari bauran energi terbarukan masih rendah di angka 13%. Angka itu jauh dari target 23% yang seharusnya tercapai pada 2025. Capaian investasi di sektor ini juga selalu di bawah target. Tahun ini Kementerian ESDM memiliki target USD 2,4 miliar, dan hingga saat ini tercapai hanya seperempatnya.
Kebijakan yang masih melanggengkan penggunaan energi fosil juga masih dipertahankan. Contohnya subsidi untuk gas dan batu bara. “Ini semua terjadi di era Jokowi. Selama ini kebijakan harga energi pro energi fosil, yang membuat energi terbarukan tidak punya level of playing field yang setara,” kata Fabby.
“Saat ini pembangkit listrik 87% menggunakan bahan bakar fosil. Artinya semua subsidi yang ada memang lari ke situ. Jadi presiden hanya pidato tapi political will tidak nyata dan lamban,” kata Fabby.
Di sisi lain, Beyrra mempertanyakan mengenai keberlanjutan energi terbarukan yang telah terpasang. “Saat ini banyak pemanfaatan energi terbarukan yang hanya terpasang untuk memenuhi target bauran tanpa dipikirkan pemanfaatan jangka panjang,” ujarnya.
Dia mencontohkan sebuah dusun di Bengkulu Utara, yang mendapatkan masing-masing empat lampu dan panel surya dari Kementerian ESDM. Dari penelitian di lapangan, lampu habis setelah rata-rata pemakaian setahun. “Alhasil, panel surya itu tidak dapat dimanfaatkan lagi karena bahkan bohlam tidak tersedia di pasaran,” ujarnya.
“Banyak juga pembangkit energi terbarukan yang setelah dibangun, berhasil, termanfaatkan dengan baik, terpaksa ditutup karena PLN masuk dan berdalih oversupply dari sumber PLTU batu bara,” kata Beyrra.
Belum berkeadilan dan terjangkau
Fabby mengatakan bahwa pemerintah melakukan beberapa upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Contohnya adalah menyetujui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), serta menerbitkan Perpres No. 112/2022 yang mengatur percepatan pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan.
Pemerintah pun berencana memutakhirkan target penurunan emisi, yang menyesuaikan dengan target dalam Perjanjian Paris. Hal ini akan tercantum dalam dokumen iklim bernama Second NDC (kontribusi yang ditetapkan secara nasional). “Itu komitmen yang baik, tapi belum cukup,” kata Fabby.
Ibrahim mengatakan, sejumlah inisiatif juga mengarah ke transisi energi global, seperti insentif terkait kendaraan listrik dan pasar karbon. “Tetapi kebijakan ini belum optimal, bahkan terhenti di tengah jalan seperti pasar karbon,” ujarnya.
“Kebijakan lainnya terlihat sebagai solusi palsu untuk mengurangi emisi, seperti penerapan penangkapan dan penyimpanan karbon dan hutan tanaman energi yang justru dapat berakibat deforestasi,” kata Ibrahim.
Ibrahim menyatakan bahwa proses transisi energi saat ini belum berkeadilan. Pasalnya tidak ada kepastian untuk melakukan pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Diantaranya adalah pengakhiran operasional PLTU Cirebon-1 yang hingga saat ini belum jelas.
“Sementara dampak yang dirasakan masyarakat atas pencemaran udara semakin mencekam. Proses pensiun dini yang berlarut diduga karena kepentingan investor dan eksportir batubara yg diakomodir pemerintah,” kata Ibrahim.
“Ke depan harga energi tidak semakin murah, tapi semakin mahal. Subsidi energi bahkan terancam dicabut perlahan ke depan karena tekanan ruang fiskal yang semakin sempit,” kata Ibrahim.
Menurut Ibrahim, proyek-proyek yang diklaim sebagai proyek transisi energi semua dikerjakan investor dengan sedikit menyerap tenaga kerja domestik, bahkan akan mengurangi penggunaan komponen dalam negeri.
“Di sisi lain, hilirisasi nikel juga belum mengarah pada ekosistem baterai yg diinginkan tapi justru menjadikan tambang nikel sebagai pemicu deforestasi baru,” kata Ibrahim.
Laporan Mighty Earth pada April lalu mengungkap, 80 ribu hektare hutan di Indonesia hilang untuk menambang nikel. Saat ini ada lebih dari setengah juta hektare hutan berada dalam konsesi nikel, sehingga menempatkannya pada risiko deforestasi. Deforestasi adalah kontributor utama lainnya terhadap pemanasan global.
Dua bulan terakhir semoga nyata
Pada masa akhir jabatannya, Fabby berharap Jokowi menunjukkan kepemimpinanya dalam mewujudkan komitmen transisi energi.
Banyak kebijakan dan sikap politis yang dapat dilakukan Jokowi selama dua bulan ke depan. Misalnya menyampaikan secara terbuka kepada presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memprioritaskan capaian energi terbarukan sebesar 23% tersebut. Jokowi juga harus memerintahkan BUMN termasuk perbankan nasional untuk mendukung target ini.
“Pernyataan terbuka seperti ini bisa memberi daya dorong terhadap akselerasi, karena kita hanya memiliki waktu satu tahun tiga bulan,” kata Fabby.
Jokowi juga bisa melakukan koordinasi dan evaluasi terhadap target yang berjalan lambat dan strategi yang dapat dijalankan pemerintahan selanjutnya. Serta menghapus kebijakan yang selama ini menjadi kendala untuk pengembangan energi terbarukan di dalam negeri.
3. Absennya Frasa Masyarakat Adat
Masyarakat Adat merasa diingkari oleh Presiden Joko Widodo.
FRASA ‘masyarakat adat’ absen di Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo pada Jumat lalu (16/8/2024). Mereka selama ini menanggung derita atas konflik agraria, terutama menghadapi korporasi. Mereka pun merasa diingkari dan ditipu oleh Presiden Joko Widodo.
Abdon Nababan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyatakan selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi, masyarakat adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah ia sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan yang tercantum dalam Nawacita. Apalagi setelah frasa ‘masyarakat adat’ absen dari Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.
“Tidak ada satupun frasa “masyarakat adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” ucap Abdon.
Ia menceritakan perjumpaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Jokowi sejak dia menjadi calon presidendi tahun 2014. Kala itu pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla menorehkan 6 janji Nawacita untuk Masyarakat Adat. Lembaga itu dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara.
“Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi- JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengungkap dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum masyarakat adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundangan di bidang agraria dan sumber daya alam justru mengandung unsur penyangkalan kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
“Political will pemerintahan sangat rendah terhadap masyarakat adat. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” papar
Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus, menyebutkan seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, sebanyak 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia.
Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16 persen dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8 persen dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah.
“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” kata Abdon.
SHARE