Smelter Bauksit di Kalbar Dinilai Bahayakan Lanskap Sungai Kunyit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 17 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Operasional smelter grade alumina refinery (SGAR) milik PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), dikhawatirkan akan membahayakan bentang alam (lanskap) Sungai Kunyit, di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar). Tak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati (biodiversitas) saja, tetapi juga terhadap warga di sekitarnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan smelter yang dibangun dengan label program strategis nasional (PSN) ini diproyeksikan untuk mengolah bauksit menjadi alumunium. Smelter yang dioperasikan oleh PT BAI, perusahaan patungan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT Aneka Tambang (Antam) yang mendapat sokongan dana pinjaman dari Tiongkok, tersebut rencananya akan operasional akhir 2024.

Adam menuturkan, bentang alam Sungai Kunyit merupakan wilayah yang kaya dengan keanekaragaman hayati, baik di sekitar wilayah perairannya maupun di daratannya. Pada saat yang sama lanskap Sungai Kunyit juga menjadi wilayah kelola bagi rakyat yang sejak lama menggantungkan hidup dan keberlanjutan kehidupannya pada ekosistem sekitar.

"Jadi jelas, kehadiran SGAR PT BAI ini merupakan proyek ambisius Jokowi yang berbahaya bagi lanskap Sungai Kunyit,” kata Adam, dalam sebuah rilis, 12 Juli 2024.

PT Borneo Alumina Indonesia saat menerima kunjungan Staff Ahli Bidang Konektivitas Pengembangan Jasa dan SDA Kemenko Perekonomian di Proyek SGAR PT BAI, pada 7 Maret 2023. Foto: PT BAI.

Lebih lanjut, Hendrikus Adam mengungkapkan, berdasarkan temuan studi yang dilakukan, pada masa pembangunan pabrik telah terjadi pelanggaran hak asasi warga. Saat beroperasi mulai Oktober 2024 nanti, Adam memperkirakan, smelter itu akan sangat membahayakan ekologi berikut keanekaragaman hayati sekitar lanskap Sungai Kunyit, termasuk bagi warga sekitar.

“Selain tanpa konsultasi publik dan tanpa meminta persetujuan bebas tanpa paksaan, proses pembebasan lahan yang sewenang-wenang, juga tidak ada ganti kerugian atas warga korban debu pembangunan pabrik. Sementara, negara menolak menjalankan kewajiban asasinya” ujar Adam.

Di sisi lain, Walhi Kalbar memprediksi, selain proses bayer menghasilkan limbah B3 yakni lumpur merah (red mud), pada tahap operasionalnya juga akan menghasilkan fly ash and bottom ash (FABA) dari sisa pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang tentu akan berbahaya bagi ekologi dan kesehatan warga.

Sayangnya, imbuh Adam, selama ini tidak ada informasi yang memadai mengenai bagaimana pihak PT BAI akan mengolah limbahnya, termasuk di mana limbah itu akan disimpan. Sementara dari proses audiensi yang dilakukan bersama pemerintah di daerah beberapa waktu lalu, Walhi Kalbar menyimpulkan bahwa ternyata pemerintah tidak memperoleh informasi yang valid bagaimana pengolahan residu bayer yang akan dihasilkan.

"Hal ini sungguh ironis dan berbahaya bagi keselamatan ekologi dan rakyat sekitar,” ucapnya.

Soal limbah lumpur merah (red mud) yang akan dihasilkan, pihak Dinas Perhubungan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Mempawah menyebut menurut rencana awal, residu akan ditampung di sekitar pabrik di Bukit Batu. Namun dalam perjalanannya, limbah itu akan di bawa ke Toho sebagai tempat penyimpanan akhir. Alasannya, karena volume limbah yang dihasilkan lebih besar dan luasan tempat pengolahan limbah di Bukit Batu kecil.

Staf Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Perhubungan dan Lingkungan Hidup Mempawah, Huda Rosada, mengatakan sudah dilakukan pembahasan terkait persetujuan teknis pengelolaan limbah B3 itu, dan kewenangannya ada di pusat (Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan/KLHK).

"Jadi mereka nanti akan membangun lokasi pengolahan (limbahnya) di Kecamatan Toho, berbeda dengan lokasi smelternya yang jaraknya sekitar 32 km. Kenapa di Toho, secara luas ada lahan Antam di sana, kemudian di sana (Toho) juga tanah keras. Jadi secara studi lebih layak berada di Toho,” kata Huda.

Sementara menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kalbar, limbah proses buyer PT BAI memang masuk kategori limbah B3, tetapi non-toxic. Meski begitu, menurut Ahmad Syukri dari Link-AR Borneo, pada praktiknya, setelah dicuci, limbah tailing tambang akan dialirkan ke dataran yang lebih rendah. Sehingga hal itu akan membahayakan keanekaragaman hayati yang ada.

Sebelumnya, pada 9 Juli 2024, pihak perwakilan PT BAI menyebut bahwa limbah lumpur merah (red mud) akan ditimbun dan diolah menjadi material padat berupa kepingan. Menurut Adam, pernyataan itu berbeda dengan apa yang disampaikan Dinas Perhubungan dan Lingkungan Hidup Mempawah.

Adam menduga ada sesuatu yang sengaja tidak diungkap terkait dengan proses pengolahan dan lokasi penyimpan limbah oleh perusahaan. Sedangkan, berdasarkan pengalaman, dalam praktiknya limbah lebih masuk akal dialirkan ke dataran rendah, yang pastinya akan berdampak serius terhadap ekosistem dan keselamatan warga sekitar.

SHARE