Tambang Ormas Agama, Mahasiswa Ini Anggap Suap untuk Cap Halal

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Rabu, 03 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan dituding sebagai cara pemerintah menjinakkan ormas keagamaan sebagai kelompok kritis. Keterlibatan ormas keagamaan dalam bisnis tambang membuat mereka memandang krisis sosial-ekologis maupun krisis iklim akibat dari ekstraktivisme pertambangan sebagai hal normal. 

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merekomendasikan ormas keagamaan menolak pemberian konsesi pertambangan yang ditawarkan pemerintah. Ormas keagamaan mestinya berhati-hati dengan niat pemerintah di balik tawaran ini. 

“Dalih pemerintah memberikan izin tambang kepada ormas keagamaan adalah faktor kepedulian supaya ormas keagamaan mampu mandiri. Dalih ini sungguh problematik karena seakan menidurkan ormas keagamaan untuk menormalisasi keadaan krisis sosial-ekologis maupun krisis iklim akibat dari ekstraktivisme pertambangan,” ucap Ketua Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik DPD IMM DI Yogyakarta, Pramudya Ananta, pada Jumat lalu (28/6/2024).

Menurutnya pemberian izin itu bukan merupakan kedermawanan negara, melainkan sebagai bentuk respon atas krisis legitimasi industri ekstraktif di Indonesia. Artinya, kata dia, ini semacam suatu bentuk penjinakan terhadap ormas keagamaan. 

Tampak dari ketinggian salah satu areal pertambangan batu bara yang dikelola PT Arutmin Indonesia./Foto: Arutmin.com

DPD IMM DIY beranggapan kebijakan ini justru menunjukkan upaya adu domba antara organisasi lingkungan atau orang yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat terdampak dengan ormas keagamaan. 

Pramudya menyebutkan pemberian konsesi terhadap ormas justru berpotensi memicu konflik internal di dalam ormas keagamaan. Kebijakan ini akan mengakumulasi permusuhan di antara elit ormas karena ketegangan dapat timbul dari perebutan kekuasaan dan keuntungan yang dihasilkan oleh konsesi pertambangan.

“Seluruh agama tentu memiliki seruan untuk gencar menyuarakan etika, tetapi ini akan kehilangan legitimasinya jika ikut menjadi aktor dalam pengrusakan lewat pertambangan. Pandangan agama melalui keputusan lembaga hingga fiqih yang mewajibkan merawat kualitas lingkungan yang baik dan sehat akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan,” kata dia.

Riset data yang dilakukan IMM DIY menyebutkan wacana hilirisasi pertambangan kian dengan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara melalui skema UU Cipta Kerja/Omnibus Law. Keuntungan terbesar justru didapatkan oligarki dan konglomerat pemodal pertambangan sedangkan masyarakat menjadi pihak paling dirugikan. 

Selain dampak buruk kualitas lingkungan hidup, UU Minerba menjadi problematis karena sentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah beralih ke pemerintah pusat. masyarakat berisiko kena kriminalisasi jika menolak perusahaan tambang, perusahaan tambang tetap bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan, dan perusahaan tambang dapat mengeruk keuntungan sebanyak mungkin hingga mendapat jaminan royalty 0 persen. 

Hilirisasi pertambangan mineral kritis seperti nikel telah menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektare dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat. Data WALHI Nasional menuliskan pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 ha yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2. 

Selain itu, merujuk data Global Energy Monitor, sektor pertambangan batu bara faktualnya telah menghasilkan metana. Indonesia telah menghasilkan metana sebesar 58 juta ton CO2e20 per tahun yang menempatkan Indonesia menjadi negara penghasil metana terbesar ke-8 di dunia. 

“Kondisi ini kian diperparah dengan disahkannya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara guna memuluskan kepentingan rezim memperbolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan melakukan aktivitas pertambangan,” kata dia. 

Olah data Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dilakukan IMM DIY menyebutkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia mencapai 4.135 IUP per tanggal 10 Juni 2024.

DPD IMM Yogyakarta pun meminta pemerintah membatalkan PP No 96 Tahun 2021 melalui jalur hukum yang telah ditentukan dan berhenti melakukan praktik industri ekstraktif.  

SHARE