Akal-akalan Pengusaha di Bekas Konsesi Sawit Tanah Papua
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Sawit
Sabtu, 29 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Meski beberapa izin telah dicabut, tapi para pengusaha tetap berhasrat untuk tetap melakukan ekspansi perkebunan sawit di Tanah Papua. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menemukan adanya upaya yang dilakukan pengusaha untuk menguasai lahan bekas areal izin usaha perkebunan (IUP) yang dicabut, menggunakan perusahaan baru.
Pusaka Bentala Rakyat mengungkapkan, pada 2020 lalu Ciliandry Anky Abadi Group, salah satu unit bisnis keluarga Fangiono, melakukan akuisisi dan pengambilalihan tiga perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Tanah Papua. Tiga perusahaan itu yakni PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) dengan IUP seluas 38.300 hektare, PT Inti Kebun Sawit (IKS) seluas 37.000 hektare, dan PT Inti Kebun Lestari (IKL) seluas 34.400 hektare.
Bersamaan dengan itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat (sebelum dimekarkan) telah melakukan evaluasi perizinan terhadap 24 perusahaan sawit dengan luas wilayah perizinan sebesar 576.090,84 hektare (2021). Pemerintah provinsi menemukan adanya pelanggaran legalitas atau administrasi perizinan, seperti pelanggaran kewajiban ketidakpatuhan dalam Izin Usaha Perkebunan, beroperasi tanpa Hak Guna Usaha, melakukan penanaman di lahan gambut yang dilarang, dan lain sebagainya.
Pada 2021, Bupati Sorong mencabut 4 perusahaan perkebunan sawit, salah satunya adalah PT Inti Kebun Lestari (IKL) yang belum lama diambil alih oleh keluarga Fangiono. Sedangkan tiga lainnya yakni PT Cipta Papua Plantation, PT Sorong Agro Sawitindo, dan PT Papua Lestari Abadi.
Tahun lalu, Pusaka menemukan adanya perusahaan baru yakni PT Sorong Global Lestari (SGL) di Kabupaten Sorong, yang sedang melakukan konsultasi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan mendapatkan penolakan masyarakat adat setempat. Area of interest (AoI) dari PT SGL adalah areal eks PT Inti Kebun Lestari (IKL).
"Diketahui pula, saham perusahaan PT SGL dimiliki salah satu anak perusahaan keluarga Fangiono yakni PT FNG Boga Nusantara. Perusahaan mengganti dan menggunakan nama lain untuk menguasai kembali lahan dan kawasan hutan bagi bisnis minyak kelapa sawit," kata Franky Samperante, Direktur Pusaka Bentala Rakyat, 20 Juni 2024.
Tak hanya itu, menurut Franky, modus berganti nama baru dan akuisisi eks lahan perkebunan kelapa sawit yang bermasalah juga dilakukan oleh taipan minyak sawit ini dengan nama baru PT Papua Agro Mandiri (PAM) yang mengakuisisi lahan eks perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, seluas 26.914 hektare--yang izinnya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada 2021.
Perusahaan, katanya, melakukan ini dengan fasilitasi kebijakan perizinan negara melalui persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KPPR) yang sebelumnya bernama Izin Lokasi sebagai persyaratan untuk mendapatkan perizinan berusaha.
"Teridentifikasi arahan lokasi KPPR yang diterbitkan pemerintah kepada PT PAM dan PT SGL berada di wilayah masyarakat adat Moi Sigin di Distrik Segun, Distrik Malabotom dan Moi Kelim di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya," katanya.
Franky melanjutkan, kini juragan sawit Fangiono tengah mempersiapkan perluasan ladang bisnis minyak sawitnya ke Kabupaten Sorong Selatan melalui anak perusahaan PT Lestari Papua Perkasa (LPP), yang berlokasi di Distrik Moswaren dan Distrik Wayer, dengan luas 19.239 hektare. Lahan ini adalah bekas perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Varia Mitra Andalan, yang pernah dimiliki taipan Peter Sondakh.
Dari penjelasan Franky, pemerintah mengumumkan pelaksanaan studi Amdal PT LPP dan meminta saran tanggapan masyarakat secara tertulis dengan paling lambat 10 hari kerja sejak diterbitkannya pengumuman itu. Pembatasan waktu dan masukan tertulis ini, menurutnya, berpotensi mengeksklusi hak masyarakat adat luas dalam berpartisipasi secara bermakna menentukan penggunaan tanah dan hutan adat oleh perusahaan.
"Prosedur untuk kepentingan akumulasi kekayaan pemodal ini rawan terjadinya perampasan tanah dan memicu ketegangan horizontal," ujar Franky.
Sistem hukum Indonesia, imbuhnya, mengenal pembatasan penguasaan lahan maksimum, misalnya ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, Pasal 3 ayat (1) dan (2) bahwa batasan luasan maksimum perusahaan sawit sebesar 100.000 hektare untuk satu perusahaan perkebunan secara nasional.
Sementara, berdasarkan hitungan Pusaka, keluarga Fangiono telah menguasai lahan perkebunan sawit di Tanah Papua melalui anak perusahaan lebih dari 100.000 hektare, belum termasuk lahan di luar Papua.
"Ini fakta pelanggaran hukum dan tidak adil. Tidak kalah pentingnya potensi kejahatan lingkungan melakukan deforestasi lebih dari 80.000 hektare di dua kabupaten," ucap Franky.
Franky menambahkan, kontradiksi dari ekspansi dan akumulasi kapital menghasilkan konsentrasi penguasaan alat produksi dan asset ekonomi pada segelintir penguasa, menghasilkan kesenjangan kekayaan dan kesenjangan sosial yang sangat besar. Tata kelola yang dikendalikan penguasa ekonomi dan kekuatan oligarki menyuburkan praktik korupsi dan kolusi untuk mengejar cuan.
"Selain itu, menimbulkan permasalahan lingkungan hidup yang serius dan mengancam kelangsungan hidup makhluk bumi. Demikian pula, masyarakat adat menjadi buruh secara paksa dan korban eksploitasi, lalu berdiri di pinggiran kebun dan menjadi penonton pada zona ekstraktif," ucapnya.
SHARE