Sawit Asal Grup Astra Agro Dicap Bermasalah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Sawit
Kamis, 27 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Salah satu raksasa perkebunan sawit, yakni Astra Agro Lestari (AAL) Group, dituding melakukan sejumlah pelanggaran dalam aktivitas usahanya. Merek konsumen rumah tangga dan pemodal global disebut menghadapi risiko reputasi dan keuangan yang semakin besar jika mengambil minyak sawit dari AAL.
Hal itu dibahas dalam sebuah laporan berjudul "Memupuk Konflik" yang dirilis Friends of the Earth (FoE) AS, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Milieudefensie (FoE Belanda), Selasa (25/6/2024). Laporan tersebut membahas konflik agraria yang berlarut-larut, kegagalan tata kelola, dan kurangnya akuntabilitas yang mewarnai operasi AAL di Indonesia.
Kelompok organisasi masyarakat sipil ini menemukan pelanggaran lingkungan hidup dan tata kelola yang dilakukan AAL, yang tampaknya lebih luas dibandingkan yang didokumentasikan sebelumnya. Termasuk penanaman sawit ilegal di dalam kawasan hutan, intimidasi dan kriminalisasi yang terus berlanjut terhadap pembela hak asasi manusia lingkungan hidup, dan beberapa anak perusahaan AAL yang beroperasi tanpa izin.
Laporan ini merinci bagaimana merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis yang memasok produknya ke AAL serta para pemodal yang mendanai AAL mengambil keuntungan dari lemahnya tata pemerintahan dan kegagalan administratif di Indonesia, demi menjaga kelangsungan usaha mereka.
Berikut ini beberapa temuan yang diuraikan dalam laporan tersebut:
- 17 konsesi sawit anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan 17.664 hektare kawasan hutan. Yang mana 74 persen atau sekitar 13 ribu hektare (7 anak perusahaan) dari luas konsesi AAL secara keseluruhan, berada di dalam kawasan hutan ini berada di Sulawesi.
- Sedikitnya 1.100 hektare perkebunan sawit AAL di kawasan hutan Indonesia tampaknya ilegal.
- Tiga anak perusahaan AAL di Sulawesi beroperasi tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
- Menurut data terbaru mengenai pabrik kelapa sawit (PKS), perusahaan besar seperti ADM, Bunge, Cargill, Fuji Oil, Louis Dreyfus, dan Olam membeli minyak sawit dari PKS yang terafiliasi dengan anak perusahaan PT AAL yang terlibat persoalan, yakni PT ANA, PT LTT, dan PT Mamuang. Apical, KLK, Musim Mas, Sime Darby, dan Wilmar membeli minyak sawit dari anak perusahaan PT AAL lainnya.
- Sedikitnya 18 merek konsumen global, termasuk Unilever, Barry Callebaut, dan General Mills, memiliki sejarah pembelian minyak sawit dari AAL.
- Sebanyak 29 penyedia pembiayaan telah mencoret perusahaan induk PT AAL, Jardine Matheson, dan/atau anak perusahaannya dari pembiayaan karena masalah lingkungan. Sementara beberapa pihak lainnya, termasuk BlackRock, HSBC, dan dana pensiun Belanda ABP, terus memberikan pembiayaan yang cukup besar kepada PT AAL dan perusahaan induknya.
“Perampasan tanah, pelanggaran hak asasi manusia, dan operasi ilegal yang dilakukan AAL harus menjadi peringatan,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional, dalam sebuah rilis, Selasa kemarin.
Menurut Uli, Pemerintah Indonesia harus memastikan tanah yang dirampas oleh AAL dikembalikan kepada masyarakat dan petani. Kemudian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, harus menyelidiki peta dan izin AAL dan memastikan akses terbuka terhadap data ini. Ia juga berharap Komnas HAM melakukan penyelidikan pelanggaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang dilakukan AAL dan secara transparan melaporkan hasil dari proses ini.
"Perusahaan perkebunan yang melanggar perundang-undangan terkait perizinan di Indonesia mesti dicabut izinnya. Untuk melindungi rimba terakhir Indonesia, perluasan perkebunan di dalam kawasan hutan harus dihentikan," katanya.
Disebutkan, laporan Memupuk Konflik ini diluncurkan dua tahun setelah federasi FoE menerbitkan bukti pelanggaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang dilakukan AAL, termasuk perampasan tanah dengan kekerasan, kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia lingkungan hidup, dan degradasi sungai.
Sebagai respon atas tindakan-tindakan tersebut, merek-merek konsumen dan pemodal harus memikirkan kembali hubungan bisnis mereka yang pasti semakin berisiko dengan AAL. Sejak 2022, sepuluh merek konsumen telah menangguhkan pembelian minyak sawit dari anak perusahaan AAL dalam kapasitas tertentu.
Pada Februari lalu, Norges Bank mengumumkan mereka telah mengeluarkan perusahaan induk AAL, Jardine Matheson dan Astra International dari Dana Pensiun Global Pemerintah Norwegia. BlackRock--manajer aset terbesar di dunia--telah memilih menentang para direktur AAL dan perusahaan induk Astra International karena pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia yang sedang berlangsung.
Tapi, alih-alih menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat dan menangani keluhan yang berkepanjangan, AAL justru menyangkal bahwa tuduhan FoE "tidak berdasar." Pada 2023, AAL memulai proses investigasi sepihak yang cacat, gagal memeriksa sebagian besar pelanggaran yang dipublikasikan dalam laporan tahun 2022 dan mengesampingkan fakta bahwa AAL tidak pernah mendapatkan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dari masyarakat untuk membuka lahan mereka.
AAL terus bersikukuh bahwa FPIC tidak relevan mulai sejak operasi perusahaan dijalankan, meskipun berbagai hukum dan mekanisme internasional telah menegaskan bahwa FPIC berlaku sepanjang masa operasi, dan terutama berlaku ketika masyarakat berkonflik dengan perusahaan dan digusur dari tanah mereka.
Juru Kampanye Hak Hutan dan Lahan Senior di FoE Amerika Serikat, Gaurav Madan, mengatakan, AAL dapat membuat komitmen retorik untuk menegakkan HAM dan mewujudkan keberlanjutan lingkungan. Tetapi bicara saja tidaklah cukup, diperlukan akuntabilitas.
"Sudah jelas bahwa AAL tidak pernah mendapatkan persetujuan dari masyarakat untuk beroperasi di lahan mereka dan mengabaikan hak atas FPIC," kata Madan.
Merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis, sambung Madan, harus menangguhkan pembelian minyak sawit dari AAL dan menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan lahan dikembalikan. Selain itu, para pemodal juga mesti mengadopsi kebijakan pengecualian agribisnis yang mengalihkan investasi dari model perkebunan monokultur yang dominan dan merusak.
Pelanggaran yang dilakukan AAL akan menjadi perhatian serius bagi perusahaan-perusahaan yang menjual produknya di pasar Eropa. Mulai Januari 2025, Peraturan Deforestasi Eropa (European Union Deforestation-Free Regulation/EUDR) akan mewajibkan perusahaan untuk menunjukkan rantai pasok yang bebas dari deforestasi dan pelanggaran hukum.
Ketentuan itu termasuk penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional dan hak untuk mendapatkan informasi awal tanpa paksaan (FPIC). Dalam kasus ketidakpatuhan, perusahaan dapat menghadapi sanksi yang signifikan, termasuk denda, penyitaan barang, dan larangan untuk menjual komoditas di pasar.
"Untuk menghentikan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia, kita perlu melihat pergeseran ke pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Para pemodal dan pembeli minyak kelapa sawit harus berhenti mempromosikan perluasan perkebunan industri," ujar Danielle van Oijen, Koordinator Program Hutan Internasional di Milieudefensie (FoE Belanda).
Oijen menambahkan, melanjutkan pembelian minyak sawit dari AAL memiliki risiko deforestasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Aparat penegak hukum di Uni Eropa, menurutnya, harus menyelidiki secara menyeluruh semua transaksi yang melibatkan produk AAL untuk memastikan kepatuhan terhadap EUDR.
AAL bantah berbagai tudingan laporan Memupuk Konflik
Secara terpisah, pihak AAL menyayangkan berbagai tudingan yang dibahas kelompok organisasi masyarakat sipil dalam laporan Memupuk Konflik itu. Dalam keterangan tertulis yang diterima Betahita, AAL melalui Vice President of Investor Relation & Public Affairs, Fenny A. Sofyan, merasa heran masih ada laporan tentang AAL yang dirilis tanpa konfirmasi terkait dugaan deforestasi, pelanggaran HAM, dan perusakan lingkungan pada rantai pasok bisnis perusahaan yang dituduhkan kepada AAL.
Terkait apa yang dituduhkan, Fenny mengatakan, AAL telah menunjuk EcoNusantara (ENS), sebagai penilai independen yang memiliki kapabilitas dan objektivitas untuk melakukan peninjauan kembali terhadap segala tuduhan dan isu sebagaimana yang tertulis dalam laporan FoE dan Walhi di September 2022. Dalam proses verifikasi tersebut ENS telah juga telah mengundang para pihak namun hanya Walhi yang tidak memenuhi konfirmasi kehadiran.
"Tanpa mempedulikan hasil verifikasi Econusantara dan tanpa melakukan konfirmasi, pada Juni 2024 FOE dan Walhi kembali mempublikasikan kutipan laporan Yayasan Genesis Bengkulu yang tidak sesuai dengan data dan fakta di lapangan. Sebagaimana diketahui, sebelumnya Yayasan Genesis Bengkulu mempublikasikan laporan yang telah direvisi pada Juni 2024," kata Fenny, Rabu (26/6/2024).
Fenny bilang, AAL dan seluruh anak perusahaannya beroperasi sesuai hukum perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Indonesia. AAL, memiliki kebijakan keberlanjutan yang diimplementasikan secara resmi sejak 2015, dan tidak pernah melakukan ekspansi atau pembukaan lahan baru sejak saat itu.
Lebih lanjut Fenny menuturkan, AAL mengidentifikasi keterbatasan sumber data yang digunakan, baik pada Laporan FoE dan Walhi juga pada Laporan Genesis Bengkulu, yang menghasilkan informasi yang keliru dengan kondisi sebenarnya.
Yang pertama, Genesis Bengkulu hanya memanfaatkan Peta Atlas Nusantara dan peta bidang tanah dari Badan Pertanahan dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai sumber data penelitian deforestasi di kawasan hutan yang dituduhkan kepada AAL. Yang kedua, Genesis Bengkulu juga menjelaskan bahwa data pemerintah mengenai HGU tidak bersifat publik.
Dua pernyataan di atas, kata Fenny, mengesankan bahwa Genesis Bengkulu tidak menggunakan data HGU/izin lokasi anak perusahaan Astra Agro yang sah diberikan oleh pemerintah Indonesia. Data HGU menjadi bahan yang sangat mendasar untuk mengkaji tumpang tindih kawasan hutan dengan HGU/izin usaha perkebunan kelapa sawit.
"Tanpa data HGU/izin lokasi yang terverifikasi, hasil kajian bisa menyesatkan," katanya.
Fenny menguraikan, data referensi Genesis Bengkulu menunjukkan bahwa batas areal perkebunan berbeda dengan bentuk HGU/izin lokasi anak perusahaan AAL. Selanjutnya, areal perkebunan yang dianalisis berada pada dua kabupaten yang berbeda dari HGU/izin lokasi anak perusahaan AAL.
"Data referensi Yayasan Genesis Bengkulu menunjukkan luas lahan perkebunan lebih besar dibandingkan HGU/izin lokasi anak perusahaan Astra Agro," katanya.
AAL, masih kata Fenny, juga mengidentifikasi bahwa laporan Genesis Bengkulu tidak mengkaji peraturan historis yang berkembang seiring berjalannya waktu, terutama mengenai tata ruang nasional dan implikasinya terhadap tumpang tindih antara HGU dan kawasan hutan. HGU merupakan produk hukum.
Kasus tumpang tindih antara HGU dan kawasan hutan yang dimaknai sebagai bentuk deforestasi dalam Laporan Studi Genesis Bengkulu dapat memberikan persepsi yang menyesatkan kepada masyarakat. Permasalahan tumpang tindih kawasan hutan dan HGU/izin perkebunan sawit telah diatur dalam UUCK (UU Cipta Kerja).
"Perlu dicatat bahwa perubahan peraturan selalu terjadi seiring berjalannya waktu. Pada beberapa kasus di Indonesia, dalam menjalankan program penataan ruang daerah, pemerintah berkali-kali melakukan revisi peraturan terkait penataan ruang seperti yang dapat dilihat pada laporan tanggapan kami," kata Fenny.
Berdasarkan peraturan, Fenny melanjutkan, sebagaimana tercantum dalam laporan tanggapan AAL, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup telah melakukan penunjukan kembali kawasan hutan secara bertahap, sehingga banyak terjadi kasus pengembalian sebagian kawasan HGU menjadi kawasan hutan, padahal HGU tersebut sudah diperoleh jauh sebelumnya.
Fenny menyebut, deforestasi di dalam kawasan hutan di 15 konsesi anak perusahaan AAL antara 2015 dan 2023, yang dilaporkan Genesis Bengkulu, dapat dipastikan sangat tidak akurat. Sejak Kebijakan Keberlanjutan ditetapkan pada 2015, Astra Agro tidak pernah membuka lahan apapun untuk pembangunan baru.
"Dalam memulai pembangunan kebun, perusahaan telah melaksanakan seluruh proses sesuai peraturan perundang-undangan termasuk dalam pelaksanaan pembebasan lahan yang melibatkan para pemangku kepentingan termasuk masyarakat dengan terlebih dahulu melakukan sosialisasi hingga mendapatkan kesepakatan bersama yang dalam terminologi saat ini dikenal dengan FPIC," ujar Fenny.
SHARE