Ekspansi Batu Bara Bikin Komitmen Paris Makin Jauh

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Selasa, 18 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -Ekspansi infrastruktur batu bara menghambat peluang Indonesia untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Perusahaan batu bara yang mengaku berinvestasi di bisnis non batu bara berpotensi melakukan greenwashing. Demikian hasil studi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).

IEEFA juga mencatat merekahnya pembukuan laba industri batu bara pada 2022. Keuangan bisnis ini pun terjamin pada 2023 melalui ekspansi bisnis. 

Dalam laporan ini IEEFA Dua perusahaan, PT Bayan Resources Tbk dan Geo Energy Resources Ltd, berencana meningkatkan kapasitas tambangnya total 58 juta ton. Sementara PT Adaro Energy Tbk akan membangun PLTU batu bara 1,1 megawatt (MW) untuk mendukung smelter aluminiumnya.  

Laporan IEEFA berjudul ‘Indonesia's Coal Companies: Some Diversify, Others Expand Capacity' menyebutkan keberhasilan ekspansi infrastruktur batu bara ini menghambat peluang Indonesia untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris

Mulut tambang batu bara PT Adaro Indonesia Tbk./Foto: Adaro.com

Para peneliti mengkaji tujuh produsen batu bara terbesar di Indonesia, yang berkontribusi pada 27 persen produksi batu bara nasional, yakni Adaro Energy, Bayan Resources, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk, PT Indo TambangrayaMegah Tbk (ITMG), Geo Energy Resources, dan PT Harum Energy Tbk. 

Tujuh produsen batu bara tersebut membukukan kas hingga 10,3 miliar dolar AS pada 2022 menyusul melonjaknya harga batu bara. Setelah pembayaran dividen pada pertengahan 2023, ketujuh perusahaan ini memiliki total kas 6,5 miliar dolar AS pada akhir tahun lalu. Selaras, belanja modal ketujuh perusahaan ini meningkat dari 829 juta dolar AS pada 2022 menjadi 1,3 miliar dolar AS pada 2023. 

Analis Keuangan Energi IEEFA yang menulis laporan ini, Ghee Peh, menyebutkan meski lima dari tujuh perusahaan batu bara terbesar di Indonesia tidak mengindikasikan penambahan kapasitas tambang, rencana ekspansi tambang Bayan Resources dan Geo Energy saja diperkirakan dapat menaikkan produksi batu bara hingga 58 juta ton. 

“Ekspansi kapasitas Bayan Resources dan Geo Energy 58 juta ton dapat mendukung kebutuhan rencana pembangunan PLTU captive 21 gigawatt (GW), yang berpotensi menambahkan emisi karbon dioksida 53 juta ton,” kata dia. 

Pembiayaan dari perbankan juga turut berkontribusi pada ekspansi tambang batu bara ini. Bayan Resources telah mengamankan pinjaman 200 juta dolar AS, masing-masing dari Bank Permata dan Bank Mandiri. Sementara Geo Energy telah memperoleh pinjaman 220 juta dolar AS dari Bank Mandiri.     

Potensi Greenwashing 

Ghee Peh memperingatkan, ada potensi aksi greenwashing dari lima perusahaan batu bara yang mengaku akan berinvestasi di bisnis non batu bara. Sebagai contoh, Adaro Energy akan mengembangkan smelter aluminium dan Harum Energy akan membangun smelter nikel. 

Adaro saat ini telah memiliki PLTU dengan total kapasitas 2,3 GW dan berencana membangun 2,2 GW lagi, di antaranya untuk mendukung smelter aluminium. Sedangkan Harum Energy belum merinci jenis pembangkit listrik yang akan memasok smelter nikelnya. 

Ia meyakini bahwa PLTU captive akan menjadi pendorong utama permintaan batu bara Indonesia di masa mendatang.

“Meski Pemerintah Indonesia mendorong produksi nikel dan aluminium untuk mendukung transisi energi, penting juga untuk menyadari potensi risiko greenwashing dari rencana investasi PLTU captive,” kata dia. 

Pada Oktober 2023, PTBA telah mengoperasikan PLTU Sumsel-8 dengan kapasitas 2x600 MW. Sementara di Weda Bay Industrial Park, lima PLTU captive batu bara telah dibangun, dan 12 unit lainnya direncanakan memasok listrik 3,8 GW. 

Dalam laporan sebelumnya, Peh mengungkapkan, terdapat total rencana pembangunan PLTU captive dengan kapasitas 21 GW di seluruh Indonesia. Angka ini setara setengah dari total kapasitas pembangkit nasional 2023 sebesar 40,7 GW. Sedangkan PLTU captive yang saat ini sudah beroperasi mencapai 13 GW atau setara 32 persen dari total kapasitas 2023. Tambahan kapasitas 21 GW diperkirakan menaikkan porsi PLTU captive hingga 52 persen dari total kapasitas pembangkit listrik Indonesia pada 2023. 

“Indonesia hanya mempunyai waktu kurang dari tujuh tahun untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris, yakni memangkas emisi CO2 hingga 32% pada 2030. Prospek pertumbuhan masif PLTU baru kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran di antara anggota Just Energy Transition Partnership (JETP),” ucap Peh. 

PLTU captive yang dioperasikan oleh pelaku industri dapat menghambat komitmen dekarbonisasi dan transisi energi yang ditetapkan dalam kesepakatan JETP senilai 20 miliar dolar AS. Selain itu, Pemerintah Indonesia, melalui dokumen penurunan emisi nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) yang merupakan mandat Perjanjian Paris, memiliki komitmen untuk menurunkan emisi CO2 32 persen pada 2030. Rencana investasi baru di sektor batu bara diragukan akan membantu upaya Indonesia mencapai target tersebut tepat waktu.

SHARE