Polisi Main Keras di Aksi Selamatkan Hutan Papua di Bali
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hutan
Kamis, 13 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aksi kekerasan dialami massa dari Ikatan Mahasiswa Masyarakat Pelajar Papua (IMMAPA) Bali, saat melakukan aksi damai mendukung perjuangan masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi dalam mempertahankan tanah dan hutan adat mereka dari ancaman perusahaan perkebunan dan pertambangan, di Bali, pada Senin (10/6/2024). Tindakan represif yang dilakukan kepolisian tersebut menuai kecaman.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua, Maikel Primus Peuki, menyatakan, tindakan represif aparat kepolisian terhadap aksi damai mahasiswa Papua adalah pelanggaran terhadap hak demokrasi untuk berekspresi dan berkumpul secara damai. Mahasiswa Papua yang bersuara untuk memperjuangkan hak hidup dan tanah adat mereka, seharusnya mendapat perlindungan, bukan kekerasan.
“Walhi Papua mengecam keras tindakan brutal ini dan meminta pertanggungjawaban dari pihak kepolisian atas perlakuan terhadap para demonstran. Kami juga menyerukan kepada masyarakat luas untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi dalam mempertahankan hutan adat mereka dari eksploitasi yang tidak berkelanjutan,” kata Maikel, dalam sebuah keterangan tertulis, Selasa (11/6/2024).
Menurut informasi yang dihimpun, kekerasan terhadap mahasiswa asal Papua itu terjadi saat melakukan aksi damai di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat. Awalnya sekitar pukul 09.30 WITA, kurang lebih 200 mahasiswa asal Tanah Papua berkumpul di parkiran timur Lapangan Niti Mandala Renon, Kelurahan Renon, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar.
Mereka kemudian berbaris rapi dan membentangkan spanduk serta poster-poster kampanye penyelamatan hutan Papua, sebelum kemudian melakukan longmarch menuju ke Bundaran Tugu Hang Tuah. Namun, sebelum mencapai titik aksi di Bundaran Hang Tuah, di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat, polisi sudah bersiaga dengan memarkir dua mobil dalmas dan satu mobil komando untuk mengadang massa aksi.
Aparat kepolisian, berjumlah sekitar 200 personel, mengadang massa dengan alasan adanya aksi tandingan penolakan aksi damai mahasiswa Papua oleh ormas Patriot Garuda Nasional (PGN) di depan Konsulat Jenderal AS.
Mahasiswa pun akhirnya memutuskan bertahan di tempat sambil berorasi, membaca puisi, dan menyampaikan pesan-pesan damai. Setelah empat jam menunggu, massa mencoba mendobrak barikade untuk mencapai titik aksi, polisi merespons dengan menembakkan gas air mata, mendorong, menendang, dan memukul beberapa mahasiswa.
Dalam insiden itu, beberapa mahasiswa mengalami luka-luka dan lima orang, termasuk empat mahasiswa Papua dan seorang aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, ditangkap dan dibawa ke Polsek Renon. Setelah sekitar empat puluh menit, massa aksi mendatangi Polsek Renon untuk menuntut pembebasan rekan-rekan mereka. Polisi akhirnya membebaskan kelima orang tersebut.
Dilansir dari IDN Times, Kabag Ops Polresta Denpasar, Kompol I Ketut Tomiyasa, mengatakan menerima dan mempersilakan IMMAPA untuk melakukan aksi damai di Bali. Pihaknya akan mengamankan, menjaga, dan mengawal jalannya aksi asalkan tertib, tidak mengganggu, dan jangan sampai menyentuh ataupun anggotanya diprovokasi. Tomi juga menyinggung massa yang aksi damainya melanggar lalu lintas.
Namun untuk lokasi aksi, pihaknya tidak dapat memenuhi keinginan mereka beraksi di Bundaran Tugu Hang Tuah. Karena di lokasi bundaran itu juga ada aksi penolakan terhadap IMMAPA.
Tomi menuturkan, pihaknya tidak bermaksud untuk membenturkan kedua aksi ini. Menurut Tomi, tugas polisi adalah menjamin keselamatan karena diatur dalam undang-undang (UU), baik ada maupun tidak surat pemberitahuan.
"Ini berisiko menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Jadi keamanan dan keselamatan inilah yang menjadi pedoman kami dari kepolisian," kata Tomi saat bernegosiasi dengan pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali yang mendampingi aksi damai mahasiswa dan masyarakat Papua pada pukul 10.18 WITA.
Perjuangan Suku Awyu dan Suku Moi
Perwakilan suku Awyu dan Moi, dari Kabupaten Boven Digoel, Papua Barat, menggelar aksi untuk mendesak Mahkamah Agung membatalkan izin dua izin perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengancam hutan adat mereka. Dok. Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace
Dalam aksi damai itu, mahasiswa asal Papua ini sebetulnya hanya ingin menarik dukungan dan menyuarakan perjuangan Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, yang sedang melawan investor yang merambah hutan adat mereka. Dua suku besar itu saat ini terlibat dalam gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit untuk mempertahankan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Hendrikus Woro, mewakili Suku Awyu, menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin lingkungan untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang memiliki izin seluas 36.094 hektare. Meski gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua, mereka berharap Mahkamah Agung akan mengabulkan kasasi mereka.
Selain PT IAL, masyarakat adat Awyu juga menghadapi gugatan dari PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang berekspansi di Boven Digoel. Di sisi lain, Suku Moi melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit.
Walhi Papua mengajak seluruh elemen masyarakat, baik di dalam negeri maupun komunitas internasional, untuk turut serta dalam kampanye penyelamatan hutan Papua. Menurutnya penting seluruh pihak untuk memperjuangkan kelestarian hutan Papua, yang bukan hanya merupakan rumah bagi spesies langka dan masyarakat adat, tetapi juga aset ekologis yang vital bagi keseimbangan lingkungan global.
Walhi Papua, kata Meikel, menegaskan bahwa perjuangan untuk melindungi hutan Papua adalah perjuangan untuk kehidupan dan keberlanjutan. Dukungan dan solidaritas dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi, serta hutan Papua tetap lestari untuk generasi mendatang.
SHARE