Aktivis Mendesak Restorasi Habitat Satwa Liar di Gunungkidul
Penulis : Kennial Laia
Satwa
Minggu, 09 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Alih fungsi lahan di Kabupaten Gunungkidul, DIY Yogyakarta, dikritik karena dianggap menghilangkan habitat satwa liar dan mengancam keberlangsungan pasokan air bagi warga sekitar. Menurut sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Primates Fight Back, pembangunan untuk pariwisata dan jalan di daerah ini semakin mengkhawatirkan.
Dalam aksi yang digelar bertepatan pada Hari Lingkungan Sedunia, Rabu, 5 Juni 2024, Koalisi Primates Fight Back menyerukan agar alih fungsi lahan untuk pembangunan jalan dan pariwisata ini diawasi secara ketat dan mengutamakan perlindungan ekosistem dan satwa liar.
“Satwa liar adalah bagian dari hutan, menghabisi hutan dan menjadikannya bangunan pariwisata juga jalan raya jelas-jelas berseberangan dengan upaya melindungi dan mengelola lingkungan hidup yang lestari,” kata Koordinator Aksi dan pendiri Animal Friends of Jogja, Angelina Pane, Rabu, 5 Juni 2024.
“Dan sekarang, ramai-ramai orang menuding monyet, landak, dan satwa liar lainnya sebagai hama padahal mereka korban karena kehilangan habitat mereka,” ujarnya.
Koalisi mencatat bahwa hanya dalam satu tahun, 10.000 hektare lahan di Gunungkidul telah beralih fungsi akibat pariwisata. Luas ini lebih dari tiga kali Kota Yogyakarta yang memiliki luas 3.282 hektare. Sejumlah lahan yang dialihfungsikan merupakan lahan pertanian.
Masifnya pembangunan di area Gunungkidul juga dikhawatirkan akan berdampak pada sumber air bagi masyarakat sekitar. Kawasan kars Gunungsewu terdapat di kabupaten ini, yang memiliki status UNESCO Global Geopark Network. Membentang dari Bantul, Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan, wilayah perbukitannya merupakan daerah resapan bagi pemukiman-pemukiman di sekitarnya.
Keberadaannya kini terancam. Salah satunya karena rencana pembangunan resor wisata oleh PT Agung Rans Bersahaja Indonesia, milik artis dan pemengaruh Raffi Ahmad, di Pantai Krakal, Tanjungsari, Gunungkidul. Proyek ini mencakup 300 vila dan tiga restoran di atas lahan seluas 10 hektare.
“Karst di Gunungkidul adalah sumber air bagi semua yang hidup di sana, termasuk monyet ekor panjang. Kalau karst-karst ini dipapras, diaspal, dibangun beton yang masif, apa lagi yang tersisa buat hewan liar di sana?” kata Antono Suyudi, dari Aksi Peduli Monyet (AIPOM).
“Sekarang ramai berita monyet masuk ladang dan disebut sebagai konflik antara warga dan monyet, seolah-olah monyet adalah akar masalahnya. Sementara pemerintah yang membiarkan alih fungsi lahan, secara langsung maupun tidak, mempersempit lahan-lahan pertanian dan hutan,” kata Antono.
Koalisi Primates Fight Back mendesak pemerintah DIY Yogyakarta untuk mengawasi alih fungsi lahan secara ketat di Gunngkidul, terutama dalam melindungi habitat alami monyet ekor panjang dan satwa liar yang masih tersisa di daerah tersebut.
“Mereka sudah lama hidup di alam liar, menggusur dan menghilangkan habitat mereka bertentangan dengan tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” kata Koalisi dalam keterangannya yang diterima redaksi.
Koalisi juga mendesak agar pemerintah mengembalikan habitat alami monyet ekor panjang, dengan menanam sumber pakan alami dan pohon penyimpan air sebagai bagian dari inisiatif ketahanan iklim di Gunungkidul.
“Dorong pariwisata ramah lingkungan seperti ekoturisme berbasis komunitas lokal. Investor dari luar, dengan model-model pariwisata massal, memiliki dampak terbatas pada kesejahteraan warga lokal,” kata Koalisi.
SHARE