Saling Makan Pasal dalam Beleid Tambang Ormas Agama

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 03 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah mengeluarkan regulasi tentang pemberian prioritas izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada ormas keagamaan melalui PP No 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. Namun regulasi yang diteken Presiden Joko Widodo ini dinilai tak hanya bertentangan dengan UU Minerba selaku peraturan di atasnya tapi juga mengandung kontradiksi antar pasal, amburadul.

Pada Kamis lalu (30/5/2024), Presiden Jokowi meneken PP No 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 83A peraturan itu mengatur mengenai prioritas penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) wilayah bekas wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) kepada badan usaha milik ormas keagamaan. 

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengungkap pasal ini bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Pertambangan. Pasal 75 UU Minerba menyebutkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diberikan kepada 3 jenis badan usaha, yakni Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan badan Usaha Swasta. 

BUMN dan BUMD mendapat prioritas mendapatkan IUPK. Sedangkan badan Usaha Swasta dapat mengajukan lelang atas WIUPK dengan pertimbangan luas kawasan, kemampuan administratif, kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan, serta kemampuan finansial. 

Tampak dari ketinggian lokasi konsesi PT Samantaka Batu Bara di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau,/Foto: Betahita.id

“Artinya UU Minerba sudah menetapkan prioritas dalam pemberian WIUPK ini. Jika PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan ini memiliki penetapan prioritas yang berbeda maka hal itu kontradiktif. Padahal UU Minerba ini aturan di atas PP itu, ini cacatnya,” ucap Ary ketika dihubungi melalui telepon pada Minggu (2/6/2024). 

Pasal ini sendiri merupakan turunan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.

“Negara dalam pelaksanaannya adalah pemerintah dan BUMN merupakan bagian dari negara yang mengupayakan kemakmuran rakyat,” ucap dia. 

Pada pelaksanaannya dalam pertambangan batu bara misalnya, UU Minerba memprioritaskan WIUPK kepada PT Bukit Asam selaku BUMN, atau pada BUMD. Jika tidak maka akan ada lelang dengan pertimbangan tertentu. 

Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan peraturan pemerintah seharusnya mengikuti aturan di atasnya, dalam hal ini UU Minerba. UU itu telah membatasi orang atau lembaga yang berhak mendapatkan IUPK. Jika  nomenklatur ormas keagamaan tak ada dalam beleid itu maka peraturan di bawahnya tak dapat memaksakannya sebagai prioritas penerima IUPK. 

Menurutnya pemerintah sudah melanggar asas lex superior derogate legi inferiori, yakni peraturan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

“Ini sudah jelas melanggar UU Minerba yang juga direvisi saat pemerintahan Jokowi sendiri. Bikin aturan sendiri, dilanggar sendiri,” kata dia.

Selain bertentangan dengan UU Minerba, Roni mencatat pasal kontradiktif dalam peraturan pemerintah itu sendiri. PP No 25 Tahun 2024 tidak mengubah Pasal 75 pada peraturan sebelumnya, PP No 96 Tahun 2021. Padahal pasal tersebut mengatur mengenai prioritas penawaran WIUPK kepada BUMN dan BUMD. 

“Menteri dalam memberikan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu memberikan penawaran kepada BUMN dan BUMD dengan cara prioritas,” tulis Pasal 75 ayat (3) peraturan tersebut. 

Pasal ini menjadi kontradiktif dengan pasal pemberian prioritas IUPK kepada badan usaha ormas keagamaan.

Balas budi politik

Roni menyebutkan pemerintah seharusnya menunjukkan sikap tertib regulasi. Menurutnya asas hukum yang dilanggar pemerintah terkait PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan ini menunjukkan aturan ini hanya dilakukan demi kepentingan politik semata. 

Asas lex superior derogate legi inferiori yang sudah diakui masyarakat dunia dilanggar dengan sesuka hatinya saja. Hukum sudah tak jadi panglima di negara ini,” kata dia.  

Ary pun berpendapat sama. Menurutnya selama ini ormas keagamaan memiliki unit usaha, seperti sekolah rumah sakit, hingga minimarket. Namun untuk pertambangan unit usaha ormas keagamaan tidak pernah berkecimpung, Jika mereka mendapat WIUPK maka mereka harus membentuk badan hukum swasta, Perseroan Terbatas (PT). 

“Artinya mereka baru membentuk karena mereka dikasih WIUPK, bukan karena track record. Ini kan sama saja pemberian IUPK karena balas budi atau karena butuh dukungan politik, mungkin untuk pilkada,” ucap dia. 

Ia curiga bagi-bagi IUPK untuk ormas keagamaan sudah dirancang pemerintah jauh hari dan memang akan digelontorkan di masa-masa pesta demokrasi.  

Catatannya menunjukkan pada 6 Januari 2022, Jokowi mengumumkan pencabutan 2.078 izin perusahaan tambang minerba. Selain itu pencabutan juga dilakukan pada sebanyak 192 izin sektor kehutanan dan pencabutan HGU. 

Pengumuman pencabutan ini diikuti oleh pernyataannya untuk pemanfaatan IUPK dan izin usaha kehutanan kepada kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan yang produktif (termasuk kelompok petani, pesantren, dan lain-lain), yang bisa bermitra dengan perusahaan yang kredibel dan berpengalaman.

“Indonesia terbuka bagi para investor yang kredibel, yang memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik, serta memiliki komitmen untuk ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam,” kata Jokowi kala itu.

SHARE