Komnas HAM Minta Penghentian Sidang Sorbatua Siallagan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Sabtu, 01 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), menghentikan persidangan kasus kriminalisasi tetua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Pengkajian dan Penelitian, Saurlin Siagian, mengatakan kasus yang dialami Sorbatua Siallagan sebenarnya tidak masuk ke ranah hukum. Alasannya karena ada proses administrasi dalam sengketa teritorial yang belum diselesaikan pemerintah.
Saurlin menyebut, kemungkinan dalam satu atau dua tahun ini kasus sengketa tanah adat tersebut akan selesai. Saurlin mengungkapkan, terdapat 31 kasus sengketa tanah adat yang tengah terjadi di Tano Batak, salah satunya di Dolok Parmonangan. Penyelesaian konflik-konflik tersebut, menurutnya, sudah ada titik terang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Makanya, kami minta sidang Sorbatua Siallagan dihentikan karena seharusnya kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak perlu dilakukan," kata Saurlin Siagian, usai menghadiri persidangan Sorbatua Siallagan di Pengadilan Negeri Simalungun, dikutip dari AMAN, Rabu (29/5/2024).
Saurlin menjelaskan, kehadiran Komnas HAM dalam persidangan Sorbatua Siallagan adalah untuk membantu penyelesaian konflik masyarakat adat yang ada di Tano Batak.
Kasus Sorbatua Siallagan di PN Simalungun mulai disidangkan pada Rabu (22/5/2024) lalu dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sorbatua didakwa atas dua pasal, yakni pembakaran hutan dan menduduki kawasan hutan tanpa izin.
Namun, melalui nota keberatannya, Sorbatua Siallagan membantah semua dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sorbatua Siallagan menyebut tidak pernah melakukan pembakaran hutan dan sampai kini ia dan komunitas adatnya tetap menjaga hutan lestari dengan sumber mata air yang terjaga.
Sorbatua juga membantah tuduhan tidak menduduki kawasan hutan tanpa izin. Lahan yang dikuasainya merupakan lahan milik leluhur mereka yang sudah 11 generasi dikuasai dan ditanami.
Penasihat hukum Sorbatua Siallagan, Audo Sinaga, juga membantah semua dakwaan JPU. Dikatakannya, surat dakwaan JPU secara umum tidak cermat dan tidak jelas serta kabur dan tidak lengkap. Sebab, menggunakan dasar hukum undang-undang yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Untuk itu, Sorbatua harus dibebaskan dari hukum demi tegaknya keadilan,” ujar Audo.
Audo menjelaskan, Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah mendiami wilayah adat mereka sejak 1700-an, jauh sebelum Republik Indonesia merdeka pada 1945.
Dijelaskannya, pemerintah menetapkan kawasan wilayah adat menjadi kawasan hutan pada 1982. Padahal, wilayah tersebut adalah wilayah adat Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan.
Pada 1993, Pemerintah memberikan izin konsesi hutan kepada PT Toba Pulp Lestari. Akan tetapi, dalam surat dakwaan JPU justru mendakwa Sorbatua Siallagan membakar hutan dan menduduki kawasan hutan tanpa izin.
“JPU sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah berdiam di wilayah itu jauh sebelum izin konsesi PT TPL diberikan negara,” katanya.
Kawal Persidangan
Sejumlah Komunitas Masyarakat Adat yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL melakukan aksi solidaritas di depan gedung Pengadilan Negeri Simalungun untuk mengawal persidangan Sorbatua Siallagan. Mereka menuntut bebaskan Sorbatua Siallagan dari segala dakwaan, hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak-hak mereka, sahkan peraturan daerah tentang masyarakat adat di Sumut.
Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, menyatakan akan terus mengawal persidangan Sorbatua Siallagan hingga mendapatkan keadilan. Hengky menganggap penangkapan Sorbatua Siallagan merupakan bentuk kriminalisasi di tengah perjuangan masyarakat adat menjaga wilayah adat mereka.
Ia menduga cara-cara kriminalisasi ini kerap dipakai oleh perusahaan untuk menggunakan institusi kepolisian guna menghalau agar masyarakat adat berhenti berjuang untuk tanah adatnya.
“Masyarakat Adat Tano Batak tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan hak-haknya yang dirampas. Kami akan terus melawan ketidakadilan,” kata Hengky.
SHARE