Kasus Mangrove Warga Langkat, Walhi: Potret Hukum yang Abai Akar

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Selasa, 28 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Penangkapan warga Desa Kwala Langkat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), yang menyuarakan perusakan mangrove, merupakan gambaran potret penegakan hukum yang timpang, sementara akar persoalan kasus ini yang justru terabaikan. Demikian menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut. 

Dalam keterangannya, Direktur Walhi Sumut, Rianda Purba, mengatakan pihak kepolisian dan pemerintah, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Dinas Kehutanan Sumut, lambat dan tidak serius dalam penanganan kasus perusakan hutan mangrove di Desa Kwala Langkat. Padahal perusakan hutan mangrove di pesisir Langkat masih rutin terjadi hingga hari ini, dan sudah pula disuarakan oleh para pembela lingkungan.

Oleh Ilham Mahmudi (40 tahun), misalnya. Warga Desa Kwala Langkat ini telah melayangkan laporan mengenai terjadinya perambahan hutan mangrove yang akan dikonversikan menjadi perkebunan sawit di Desa Kwala Langkat kepada Polda Sumut.

Pada Februari 2024, Ilham telah melaporkan 4 orang yang diduga terlibat dalam kegiatan perambahan ini, yaitu Sarkowi alias Olo, Supardi, Simon Sembiring, dan Mahyu Danil. Namun, hingga hari ini belum ada penetapan tersangka yang bertanggung jawab dalam kasus perambahan hutan ini.

Pembela lingkungan, Ilham Mahmudi, ditangkap polisi tak lama setelah ia melaporkan perusakan mangrove di Desa Kwala Langkat ke Polda Sumut. Foto: Walhi Sumut.

Lambatnya penanganan aparat penegak hukum terhadap laporan Ilham ini membuat warga tak sabar. Walhasil, sebuah pondok yang menjadi tempat beristirahat para pelaku perusak hutan mangrove dirusak warga.

"Pondok tersebut berdiri di dalam kawasan hutan lindung, dirobohkan, lalu Ilham ditangkap Polres Langkat pada 18 April 2024. Hingga hari ini Ilham masih mendekam di ruang tahanan Polres Langka. Dia terkena delik KUHP, Pasal 170," kata Rian, Senin (27/5/2024).

Penangkapan Ilham ini menuai reaksi dari warga lainnya. Warga ramai-ramai menyambangi rumah kepala desa dan rumah milik Sarkowi alias Olo (S/O), warga yang diduga turut terlibat dalam pengrusakan hutan mangrove. Sarkowi juga merupakan orang yang dilaporkan oleh Ilham ke Polda Sumut atas perusakan hutan mangrove pada Februari 2024 lalu.

"Kedatangan warga ke rumah S/O, karena menduga bahwa S/O turut mengetahui keberadaan Ilham dan diduga terlibat dalam penangkapan Ilham tersebut. Amarah warga pun tidak terbendung kepada S/O," kata Rian.

Amarah warga tersebut akhirnya bisa diredam oleh Sapi'i (50) dan Taufik (35), warga Desa Kwala Langkat lainnya. Setibanya dari menangkap ikan di laut, keduanya langsung menyusul warga ke rumah Sarkowi, untuk mendinginkan situasi. Tapi beberapa pekan kemudian, Sapi'i dan Taufik justru ditangkap oleh pihak kepolisian.

"Pada Sabtu, 11 Mei 2024, sekitar pukul 09.00 WIB, saat Sapi'i dan Taufik sedang melaut bersama 11 warga lainnya (mencari kerang), kapal mereka dihampiri beberapa orang yang mengendarai speedboat. Orang-orang di speedboat tersebut menunjukkan senjata api dan kemudian menangkap paksa Sapi'i dan Taufik," kata Rian.

Anehnya, kata Rian, Kapolsek Tanjung Pura AKP Andri Siregar mengaku tidak mengetahui kalau Kanit Reskrim Polsek Tanjung Pura IPTU Kaspar Napitupulu melakukan penangkapan terhadap kedua nelayan tersebut. Rian menduga Kanit Reskrim Polsek Tanjung Pura IPTU Kaspar Napitupulu bertindak 'liar' dalam tugasnya dan tanpa adanya SPKap dari pimpinannya.

Hal itu juga dapat dibuktikan dengan surat perintah penangkapan (SPKap) yang baru diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan--kuasa hukum dua nelayan tersebut--beberapa jam setelah peristiwa penangkapan terjadi. Padahal, kata Rian, polisi mestinya menunjukkan SPKap kepada tersangka ataupun keluarga atau kerabat tersangka saat melakukan penangkapan.

Diskriminasi dalam penegakan hukum

Hutan mangrove di Desa Kwala Langkat, Kabupaten Langkat, Sumut, dikonversi menjadi perkebunan sawit oleh sejumlah oknum warga. Foto: Walhi Sumut.

Rian melanjutkan, minimnya tindak lanjut dari kepolisian untuk menangkap pelaku yang bertanggung jawab atas perusakan hutan mangrove di Desa Kwala Langkat, tidak berdasar. Alasannya, yang pertama, pondok atau barak yang digunakan para perusak hutan mangrove itu berdiri bukan di atas tanah milik orang lain/perusahaan melainkan di kawasan hutan Negara, yang berstatus hutan lindung.

"Sehingga legal standing si pelapor (yang melaporkan warga ke kepolisian) tidak ada, seharusnya perseorangan yang diduga melakukan perusakan hutan yang harus ditangkap," kata Rian.

Alasan Kedua, Ilham Mahmudi, Sapi'i dan Taufik, telah beritikad baik dalam menjaga dan melindungi lingkungan, sehingga tidak bisa dijerat secara hukum baik pidana dan perdata, karena berdasarkan pasal 66, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH), setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Alasan ketiga, lanjut Rian, adanya indikasi diskriminasi dalam penegakan hukum oleh kepolisian. Dalam kasus ini, penanganan laporan Ilham Mahmudi terhadap 4 orang yang diindikasi pelaku perusak hutan mangrove ke Polda Sumut, berjalan lambat.

"Sementara orang-orang yang diduga menyewa alat berat yang merusak hutan sampai hari ini juga belum diproses hukum. Justru laporannya orang-orang yang diduga perambah hutan malah ditindaklanjuti," katanya.

Polisi, katanya, tidak menangani semua kasus dengan tingkat urgensi dan perhatian yang sama, sehingga terkesan ada bias yang mempengaruhi keputusan polisi. Selain itu, imbuh Rian, diduga kuat akan terjadi lagi kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat lain yang menolak perusakan hutan mangrove pesisir.

Akar persoalan yang diabaikan

Walhi Sumut mencatat pesisir timur Sumut sudah kehilangan 59,69% tutupan hutan mangrove. Rusaknya ekosistem mangrove disebabkan adanya alih fungsi mangrove menjadi areal perkebunan dan pertambakan.

Akibatnya konversi hutan mangrove demi kepentingan areal usaha perkebunan dan pertambakan, alur-alur sungai atau sering disebut paluh sungai ditutup, dan tidak ada lagi benteng alami mangrove yang melindungi perkampungan-perkampungan masyarakat pesisir, sehingga air pasang laut memasuki perkampungan masyarakat.

"Hilangnya hutan mangrove telah menghilangkan areal wilayah kelola nelayan tradisional yang hidupnya bergantung pada hutan dan hilangnya sumber ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem mangrove," ucap Rian.

Dengan melihat kenyataan ini, lanjut Rian, praktik mafia tanah adalah bagian penting penyumbang konflik, khususnya yang berada pada wilayah pantai timur Sumut, yang mengakibatkan proses-proses perampasan tanah dengan cara melawan hukum. Situasi semacam ini menjelaskan mafia tanah adalah praktik persekutuan jahat yang tumbuh subur karena ketertutupan, rendahnya pengawasan publik dan minimnya penegakan hukum.

"Meski demikian, tidak dapat dipungkiri selama ini aparat kepolisian pada berbagai kejadian konflik agraria lebih sering berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat. Melihat dari kasus Langkat ini, terdapat beberapa pola dan dugaan keterlibatan aparat negara dalam konflik sumber daya alam, yang berhadapan dengan masyarakat," ujarnya.

Pertama, katanya, keterlibatan di lapangan hingga jadi aktor kekerasan langsung dalam konflik ini berupa penangkapan, penganiayaan, dan penembakan. Kedua, pemidanaan tidak sah yang berpotensi menjadi kriminalisasi praktik ini dipakai untuk menunjukkan, aspek pemidanaan kepada masyarakat lebih untuk meredam dan menakut-nakuti masyarakat.

"Ketiga, pemidanaan atas kejadian konflik tersebut tanpa usaha lanjutan menjangkau penyidikan akar masalah letupan konflik sumber daya alam," tutur Rian.

SHARE