Energi Terbarukan Berbasis Komunitas Siap Hasilkan Rp 10 ribu T

Penulis : Kennial Laia

Energi

Rabu, 22 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi produk domestik bruto atau PDB sebesar Rp10.529 triliun di Indonesia. Hal ini terungkap dalam studi terbaru oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan 350.org. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, dampak tersebut dapat terlihat dalam 25 tahun jika transisi energi di Indonesia benar-benar melibatkan komunitas akar rumput. 

“Dampak positif energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang,” kata Bhima, Selasa, 21 Mei 2024. 

“Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit,” ujarnya. 

Energi bersih dan terbarukan seperti tenaga angin dan matahari semakin murah, dan memungkinkan dunia untuk mencapai target 1.5C dengan target dan kebijakan yang tidak mendukung energi fosil. Dok IEA

Menurutnya, pengembangan energi berbasis komunitas dapat menjadi jalan keluar ketika pemerintah sedang mencari cara agar tingkat pengangguran bisa turun di daerah.  

Peluang pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas bisa berasal dari komitmen JETP (Just Energy Transition Partnership). 

“Jika 50% dana JETP yang sebesar US$20 miliar dialokasikan untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 GW,” ungkap Bhima. “Itu berarti pembangkit energi terbarukan setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 MW.”

Tidak hanya itu, Bhima mengatakan kajian tersebut dapat memberikan perspektif baru bagi pengambil kebijakan untuk segera menggeser kebijakan transisi energi yang selama ini hanya berfokus pada pembangkit skala besar. “Hal ini justru rentan menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat lokal,” katanya. 

“Sebaliknya, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas justru mampu berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah selama 20 tahun implementasi dari 0,74 ke 0,71. Karena sifatnya lebih inklusif, energi berbasis komunitas sangat cocok diterapkan di Indonesia,” kata Bhima.

Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim 350.org, mengatakan kebijakan transisi energi di Indonesia saat ini didominasi narasi tunggal yang bias pada pengembangan energi terbarukan skala besar. 

“Ini sangat terasa dalam dokumen CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan) JETP yang diluncurkan November 2023 lalu,” katanya.

Firdaus mengatakan, kecenderungan itu tidak terlepas dari dominasi lembaga bisnis bantuan internasional seperti GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero), ADB, dan World Bank. “Pengembangan energi terbarukan skala besar menjadi jalan untuk membuat jebakan utang luar negeri dalam skema pendanaan JETP,” ujarnya. 

“Narasi tunggal dari lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional itu harus dilawan, bila kita ingin mewujudkan transisi energi berkeadilan dalam JETP,” kata Firdaus.

SHARE