Ormas Bubarkan Forum Tandingan World Water Forum

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Selasa, 21 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah dituduh mengintimidasi perhelatan People’s Water Forum (PWF) di Bali. Penyelenggara Forum Air untuk Rakyat menyebutkan pihak pemerintah melalui beberapa instansi, termasuk Ormas, meminta pembatalan forum yang menjadi tandingan WWF ke 10 ini.  

Forum tandingan Pertemuan Tingkat Tinggi Forum Air Sedunia (World Water Forum/WWF) ke-10 yang digelar di Institut Seni Indonesia di Denpasar Bali dipaksa bubar oleh puluhan anggota Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) pada Senin (20/5/2024)

Video yang didapatkan redaksi menunjukkan, massa ormas itu berkata kasar sambil memerintahkan pembubaran acara, hingga masuk ke ruang diskusi dan mengambil paksa spanduk dan baner. 

Rilis pers yang diterima redaksi menyebutkan PWF merupakan wadah gerakan keadilan air di seluruh dunia. Mereka kritis terhadap kepentingan pemodal dalam mengendalikan Forum Air Dunia atau the World Water Forum (WWF).

Forum tandingan Pertemuan Tingkat Tinggi Forum Air Sedunia (World Water Forum/WWF) ke-10 yang digelar di Institut Seni Indonesia di Denpasar Bali ini dipaksa bubar oleh puluhan anggota Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) pada Senin (20/5/2024). Foto: KRUhA

Selama 20 tahun PWF menawarkan forum terbuka yang dapat dijangkau oleh warga, komunitas, serikat, dan aktivis lingkungan. Forum ini menjadi tempat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, dengan tujuan mencari solusi baru bagi masa depan pembangunan terkait air yang adil, setara dan berkelanjutan. 

Sejak 2003, wadah ini telah menggalang solidaritas dan meningkatkan kapasitas jaringan regional dan global melalui pertemuan-pertemuan berikut: di Kyoto pada 2003, Meksiko 2006, Istanbul 2009, Marseille 2012, Daegu 2015, Brasilia 2018, dan Dakar 2022.

Namun forum yang digelar di Bali ini justru mendapat intimidasi. Intimidasi ini bukan hanya saat penyelenggaraan acara melainkan sejak awal Mei lalu. Mereka didatangi intel dari kepolisian maupun militer, mendapat perintah pembatalan dari instansi pemerintah, hingga peretasan telepon dan website. 

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA), selaku koordinator jaringan PWF di Indonesia, menilai bahwa dalam sepuluh tahun terakhir terdapat pola intimidasi terhadap berbagai acara kritis masyarakat sipil, dengan menekan pihak penyedia tempat penyelenggaraan acara. Setidaknya sejak 2013 tidak ada lagi aksi tandingan yang diperbolehkan untuk bersikap kritis terhadap negara. 

“Pada 2018, di acara tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (WB-IMF) di Bali, aksi doa bersama secara massal di Renon, dibubarkan aparat kepolisian. Hal ini merupakan salah satu bentuk perwujudan gerakan anti-demokratis negara Indonesia,” ucap Reza Sahib, National Coordinator KRUHA, melalui rilis pers yang sama.

Pembubaran ini sendiri mendapat kecaman dari 40 akademisi dari berbagai negara, di antaranya Herlily, Universitas Indonesia Wigke Capri dari Leiden University dan KITLV Belanda, John Petrus Talan dari University College London, Dhia Al Uyun, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Professor David McDonald dari Queen’s University Canada, Farabi Fakih dari Universitas Gadjah Mada, dan Herlambang P. Wiratraman dari Universitas Gadjah Mada. 

Mereka mendesak pemerintah menghentikan intimidasi, menuntut Komnas HAM memproses pelanggaran kebebasan akademis, dan meminta Komnas HAM serta Special Rapporteur PBB memantau intimidasi ini. 

Kritik Terhadap Klaim Jokowi di WWF 10

Gelar WWF ke-10 di Bali mendapat kritik dari Walhi. Mereka mengkritisi klaim yang dilakukan Presiden Joko Widodo atas pembangunan infrastruktur air. 

Pada pidatonya, Presiden Jokowi mengaku telah memperkuat infrastruktur airnya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektar jaringan irigasi, 2.156 km pengendali banjir dan pengamanan pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektar jaringan irigasi. 

Namun, menurut Walhi, berbagai pembangunan infrastruktur tersebut sarat dengan penggusuran dan perusakan lingkungan. Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil, Parid Ridwanuddin, mencontohkan kasus Bendungan di desa Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), yang diklaim akan mengaliri 15.519 hektare lahan dan menjadi sumber pemenuhan air baku bagi masyarakat di Purworejo dan Kulonprogo. 

“Bendungan ini juga diklaim akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan pariwisatanya. Namun, situasi yang terjadi di lapangan justru merusak lingkungan akibat pertambangan batu andesit, penahanan 64 orang, sekaligus merusak sumber daya air,” ucap dia. 

Belum lagi pemerintah tengah getol menggenjot pertambangan, terutama nikel dan hilirisasinya, yang justru membuat pulau kecil mengalami kerentanan persediaan air bersih. 

Catatan Walhi menyebutkan sampai tahun 2024, tercatat sebanyak 218 izin usaha pertambangan (IUP) mengapling 34 pulau-pulau kecil di berbagai wilayah di Indonesia. Di antara pulau kecil yang mengalami kiamat air akibat pertambangan adalah Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. 

“Di Pulau kecil ini terdapat 1 Penanaman Modal Asing (PMA) dan 5 Penanaman Modal Dalam Negeri dengan status izin usaha pertambangan (IUP),” kata dia. 

Selain itu Walhi Jawa Barat mengkritik pemerintah yang memamerkan keberhasilan mereka melakukan perbaikan Sungai Ciliwung dengan program Ciliwung Harum. Menurut mereka kondisi sungai itu kini masih rusak. Pencemaran masih terjadi meski pemerintah mengklaim hanya terjadi pencemaran ringan.

“Ini saja soal pencemaran klaimnya sepihak karena tidak ada keterbukaan metodologi dan data. Sebenarnya yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan tindakan hukum pada pencemar, tapi tidak pernah dilakukan,” ucap Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin.

SHARE