Tahun 2025: Suhu Bumi Naik, Sebaran Malaria Turun
Penulis : aryo Bhawono
Iklim
Selasa, 14 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Para ilmuwan menggunakan model iklim dan hidrologi untuk memetakan perkembangbiakan persebaran malaria. Kondisi panas dan kering karena perubahan iklim disimpulkan akan menyebabkan penurunan wilayah yang cocok untuk penularan malaria secara keseluruhan mulai tahun 2025 dan seterusnya.
Para peneliti dari Universitas Leeds ini menggunakan beberapa model iklim dan hidrologi dengan memasukkan proses penguapan, infiltrasi, dan aliran sungai untuk memetakan persebaran malaria. Metode ini berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan keberadaan air permukaan yang cocok untuk perkembangbiakan nyamuk.
Penelitian yang berjudul ‘Future malaria environmental suitability in Africa is sensitive to hydrology’ ini memberikan kabar baik, paling tidak laporan itu memperkirakan kondisi panas dan kering karena perubahan iklim akan menyebabkan penurunan wilayah yang cocok untuk penularan malaria secara keseluruhan mulai tahun 2025 dan seterusnya.
Penulis utama penelitian ini, Mark Smith, yang juga merupakan Profesor Madya dalam Riset Air di Sekolah Geografi Universitas Leeds mengatakan riset ini memberi perkiraan yang lebih realistis secara fisik mengenai wilayah-wilayah di Afrika yang akan menjadi lebih baik atau lebih buruk dalam kasus malaria.
“Seiring dengan semakin tersedianya perkiraan rinci mengenai aliran air, kita dapat menggunakan pemahaman ini untuk mengarahkan penentuan prioritas dan menyesuaikan intervensi malaria dengan cara yang lebih tepat sasaran dan terinformasi. Hal ini sangat berguna mengingat langkanya sumber daya kesehatan yang sering kali tersedia,” kata dia seperti dikutip dari Phys.
Laporan ini juga menyoroti peran saluran air seperti Sungai Zambezi dalam penyebaran penyakit ini. Hampir empat kali lipat populasi diperkirakan tinggal di daerah yang cocok untuk malaria hingga sembilan bulan dalam setahun dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Malaria adalah penyakit menular melalui vektor nyamuk yang sensitif terhadap iklim dan menyebabkan 608.000 kematian dari 249 juta kasus pada tahun 2022.
Sebanyak 95 persen kasus global dilaporkan terjadi di Afrika. Tercatat penurunan kasus di sana telah melambat atau bahkan berbalik arah dalam beberapa tahun terakhir. Namun angka penurunan ini hal ini sebagian disebabkan oleh terhentinya investasi dalam respons global terhadap pengendalian malaria.
Selain itu pendekatan baru berbasis hidrologi juga menunjukkan perubahan kesesuaian malaria di berbagai tempat yang lebih sensitif terhadap emisi gas rumah kaca di masa depan. Misalnya saja, perkiraan penurunan kesesuaian terhadap penyakit malaria di Afrika Barat lebih luas dibandingkan perkiraan model berbasis curah hujan. Penurunan kesesuaian ini meluas hingga ke Sudan Selatan.
Sedangkan perkiraan peningkatan di Afrika Selatan kini terlihat mengikuti aliran air seperti Sungai Orange.
Sejawat penulis penelitian ini, Chris Thomas dari Universitas Lincoln mengatakan kemajuan utama model ini adalah memperhitungkan tidak semua air tetap berada di tempat hujan, dan ini berarti kondisi perkembangbiakan nyamuk malaria juga bisa lebih luas, terutama di sepanjang dataran banjir sungai besar di daerah sabana gersang yang merupakan ciri khas banyak daerah di Afrika.
“Hal yang mengejutkan dalam pemodelan baru ini adalah sensitivitas panjang musim terhadap perubahan iklim—hal ini dapat berdampak dramatis pada jumlah penyakit yang ditularkan,” ucap dia.
Profesor Risiko Iklim dan Pemodelan Lingkungan di Universitas Nottingham, Simon Gosling yang ikut menulis penelitian ini dan membantu mengkoordinasikan eksperimen pemodelan air yang digunakan dalam penelitian tersebut, menyoroti cara kompleks aliran air permukaan mengubah risiko penularan malaria di seluruh Afrika. Hal ini dimungkinkan berkat program penelitian besar yang dilakukan oleh komunitas pemodelan hidrologi global untuk mengumpulkan dan menyediakan perkiraan dampak perubahan iklim terhadap air yang mengalir melintasi planet ini.
“Meskipun penurunan risiko malaria di masa depan mungkin terdengar seperti kabar baik, hal ini berdampak pada berkurangnya ketersediaan air dan peningkatan risiko penyakit penting lainnya, demam berdarah,” kata dia.
Para peneliti berharap bahwa kemajuan lebih lanjut dalam pemodelan mereka akan memungkinkan rincian yang lebih baik mengenai dinamika badan air yang dapat membantu memberikan masukan bagi strategi pengendalian malaria nasional.
SHARE