Tambang Emas Bukit Sanggul Bengkulu Ancam 2.378 Ha Sawah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 02 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aktivitas pertambangan emas di kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai dampak buruk. Mulai dari pencemaran lahan persawahan warga seluas sekitar 2.378 hektare (ha), hingga bencana alam.
Pada awal Maret lalu, Genesis telah melakukan analisis tutupan lahan kawasan HL Bukit Sanggul, yang luasnya sekitar 74.152,51 hektare. Tutupan lahan diklasifikasikan menjadi 6 kelas, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, semak belukar, pertanian lahan kering bercampur semak, lahan terbuka dan tubuh air.
Hasil analisis tutupan lahan HL Bukit Sanggul yang dilakukan Genesis menunjukkan, sebesar 85,5% atau 63.426,69 hektare masih berupa hutan alami, sedangkan 14,4% atau 10.668,36 hektare telah dirambah menjadi lahan pertanian, semak belukar dan lahan terbuka, dan sebesar 0,1% atau 57,45 hektare merupakan tubuh air berupa sungai.
HL Bukit Sanggul saat ini telah dibebani oleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Energi Swa Dinamika Muda (PT ESDM). Izin pertambangan ini dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Seluma dengan Nomor I.302.ESDM Tahun 2017 memiliki luasan 30.010 hektare. Pertambangan dengan komoditi emas ini, memiliki masa perizinan dimulai dari 15 Agustus 2017 sampai 6 Maret 2025 dan telah memegang izin eksplorasi.
Berdasarkan hasil analisis, sebesar 29.414,52 hektare atau 98,9% area konsesi PT ESDM yang berada pada kawasan HL Bukit Sanggul masih berupa tutupan hutan alami, sedangkan 317,64 hektare atau 1,1% telah dirambah menjadi lahan pertanian, semak belukar dan lahan terbuka.
Manajer Riset dan Kampanye Kehutanan Yayasan Genesis, Angga Kurniawan, mengatakan kawasan HL Bukit Sanggul seluas hampir 20 ribu hektare sudah diubah statusnya menjadi hutan produksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dengan motivasi peningkatan iklim investasi.
Di area yang direvisi itu sudah dibebani izin perusahaan tambang emas milik PT ESDM. Yang mana, sejauh ini perusahaan ini diketahui sudah turun ke lapangan untuk mengambil sampel, pemetaan topografi, serta pengambilan gambar dari udara.
Dengan berubahnya sebagian kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi, lanjut Angga, karpet merah diberikan kepada pihak perusahaan untuk menambang dengan model pertambangan terbuka (open pit). Sedangkan apabila pertambangan terbuka ini dilakukan, maka pintu kerusakan lingkungan juga akan terbuka semakin lebar.
"Sebut saja penebangan secara besar-besaran atau hilangnya vegetasi dari HL Bukit Sanggul, yang mana pohon sendiri memberikan banyak sekali manfaat seperti menyerap karbon, menghasilkan oksigen, menyimpan cadangan air hujan, dan masih banyak lagi. Dampak lainnya lagi adalah perubahan topografi dan tercemarnya air sungai," kata Angga, Rabu (1/4/2024).
Angga menuturkan, lahan persawahan warga yang berada di 6 kecamatan, yakni Ulu Talo, Talo, Ilir Talo, Talo Kecil, Semidang Alas, dan Semidang Alas Maras, yang memiliki total luas kurang lebih 2.378 hektare, akan berada dalam ancaman gagal panen apabila menggunakan air sungai yang telah tercemar zat berbahaya akibat aktivitas pertambangan.
"Karena sampai saat ini, sawah warga 6 kecamatan tersebut masih sangat bergantung pada aliran irigasi Sungai Air Talo Besar, Sungai Air Alas, Sungai Air Alas Tengah, dan Sungai Air Alas Kanan yang bersumber dari HL Bukit Sanggul yang wilayahnya masuk dalam revisi," kata Angga.
Selain itu, lanjut Angga, aktivitas pertambangan di Bukit Sanggul juga bisa mengundang bencana alam. Hasil kajian Genesis dengan menggunakan data ketinggian dan kelerengan Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia menemukan bahwa area yang akan diturunkan fungsinya memiliki ketinggian wilayah 200-1800 mdpl dengan tingkat kelerengan 25% (curam) hingga 45% (sangat curam). Kondisi ini menjadikan area ini rentan akan bencana longsor dan gerakan tanah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu dari tahun 2020 sampai 2022, sejumlah deretan bencana telah banyak terjadi di Kabupaten Seluma. Di antaranya banjir, tanah longsor, angin topan, gempa bumi, dan abrasi.
Yang menjadi perhatian adalah dalam periode tersebut, sebanyak 19 desa pernah terendam banjir dan 9 diantaranya diterjang banjir bandang. Mayoritas desa yang terkena banjir adalah desa yang berada di sekitar aliran sungai seperti Desa Air Keruh di Kecamatan Ulu Talo, Desa Lubuk Gio, Desa Muara Danau, Desa Kembang Sri dan Desa Napal Melintang di Kecamatan Talo.
Angga menambahkan, hutan lindung dapat dikatakan rusak bila terdapat perubahan fisik pada hutan sehingga hutan tidak dapat berfungsi semestinya. Hutan yang rusak tidak dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup bagi masyarakat dan akibat hutan yang rusak berpengaruh juga pada lingkungan hidup sekitarnya.
Lingkungan hidup dimaksud adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya. Perlu diketahui sebelumnya, sungai-sungai yang mengalir bersumber dari dalam hutan.
"Jadi apabila hutannya terjaga dengan baik, maka sungainya pun akan baik. Tapi jika hutannya sudah rusak, maka sungainya juga akan ikut rusak," ucap Angga.
SHARE