Konservasi Terbukti Melawan Kepunahan Biodiversitas

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Minggu, 28 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Studi terbaru menunjukkan bahwa konservasi alam tidak hanya berhasil;  peningkatan intervensi konservasi juga akan menjadi transformasional dalam menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati serta mengurangi dampak perubahan iklim. 

Riset tersebut, diterbitkan di jurnal Science pada Kamis, 25 April 2024, mengungkapkan temuan dari meta-analisis komprehensif pertama mengenai dampak tindakan konservasi ini sangat penting. Pasalnya saat ini tercatat lebih dari 44.000 spesies berada dalam risiko kepunahan, dengan konsekuensi yang sangat besar bagi ekosistem, iklim, dan kehidupan manusia, termasuk air bersih, mata pencaharian, rumah, pelestarian budaya, serta jasa ekosistem lainnya.

Di sisi lain pemerintah dunia baru-baru ini mengadopsi target global baru untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati, sehingga semakin penting untuk memahami apakah intervensi konservasi berhasil.

“Jika Anda hanya melihat tren penurunan spesies, akan mudah untuk berpikir bahwa kita gagal melindungi keanekaragaman hayati, namun Anda tidak akan melihat gambaran keseluruhannya,” kata Penny Langhammer, penulis utama studi tersebut dan eksekutif wakil presiden Re:wild, Kamis, 25 April 2024. 

Orangutan liar di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, yang merupakan area program konservasi Yayasan BOS Mawas, Kalimantan Tengah. Dok BOSF/Annisa Dyah Puspitasari

Langhammer mengatakan, makalah tersebut menunjukkan bahwa konservasi sebenarnya berupaya untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati. 

“Jelas bahwa konservasi harus diprioritaskan dan mendapat tambahan sumber daya dan dukungan politik yang signifikan secara global, sekaligus mengatasi penyebab sistemik keanekaragaman hayati, seperti konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan," kata Langhammer. 

Meskipun banyak penelitian yang melihat proyek dan intervensi konservasi individual serta dampaknya dibandingkan dengan tidak adanya tindakan apa pun, makalah-makalah ini tidak pernah dimasukkan ke dalam analisis tunggal untuk melihat bagaimana dan apakah tindakan konservasi berhasil secara keseluruhan.

Peneliti melakukan meta-analisis pertama terhadap 186 studi, termasuk 665 uji coba, yang mengamati dampak dari berbagai intervensi konservasi secara global, dan dari waktu ke waktu, dibandingkan dengan apa yang akan terjadi tanpa intervensi tersebut. Studi tersebut mencakup aksi konservasi selama lebih dari satu abad dan mengevaluasi tindakan yang menargetkan berbagai tingkat keanekaragaman hayati—spesies, ekosistem, dan keanekaragaman genetik.

Meta-analisis ini menemukan bahwa tindakan konservasi—termasuk penetapan dan pengelolaan kawasan lindung, pemberantasan dan pengendalian spesies invasif, pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan, pengurangan dan restorasi hilangnya habitat—meningkatkan sebagian besar kondisi keanekaragaman hayati atau memperlambat penurunan spesies (66%) dibandingkan dengan tidak ada tindakan yang diambil sama sekali. Dan ketika intervensi konservasi berhasil, para peneliti menemukan bahwa intervensi tersebut sangat efektif.

Salah satu contoh yang berhasil adalah di Di Cekungan Kongo, di mana deforestasi pada konsesi penebangan kayu yang memiliki Rencana Pengelolaan Hutan (FMP) 74% lebih rendah dibandingkan dengan konsesi tanpa FMP.

Contoh lainnya adalah kawasan lindung dan lahan masyarakat adat yang terbukti secara signifikan mengurangi laju deforestasi dan kepadatan kebakaran di Amazon Brasil. Deforestasi mencapai 1,7 hingga 20 kali lebih tinggi dan kebakaran yang disebabkan oleh manusia terjadi empat hingga sembilan kali lebih sering di luar kawasan cagar dibandingkan di dalam kawasan.

Namun tidak semua upaya konservasi untuk memulihkan target spesies berhasil. Meski demikian, ada beberapa manfaat yang diraih konservasionis dalam prosesnya, seperti pengetahuan untuk menyempurnakan metodenya. Dalam kasus lain, spesies asli lainnya yang mendapatkan manfaat tanpa disengaja. Misalnya, kelimpahan kuda laut lebih rendah di lokasi yang dilindungi karena kawasan perlindungan laut meningkatkan jumlah predator kuda laut, termasuk gurita.

"Dalam konservasi, selalu ada ruang untuk harapan,” kata Joseph Bull, tim penulis studi dan profesor madya di fakultas biologi University of Oxford. “Namun, hasil kami jelas menunjukkan bahwa masih ada harapan. Intervensi konservasi tampaknya merupakan perbaikan tindakan terus menerus; dan jika tidak, kerugiannya relatif terbatas."

Lebih dari separuh PDB dunia, atau hampir $44 triliun, bergantung pada alam secara moderat atau tinggi.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, program konservasi global yang komprehensif akan memerlukan investasi antara US$178 miliar hingga US$524 miliar, yang difokuskan terutama di negara-negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagai gambaran, pada 2022, subsidi bahan bakar fosil global—yang merusak alam— berjumlah US$7 triliun.

Jumlah ini 13 kali lipat dari jumlah tertinggi yang dibutuhkan setiap tahunnya untuk melindungi dan memulihkan planet ini. Saat ini, lebih dari US$121 miliar diinvestasikan setiap tahunnya untuk konservasi di seluruh dunia, dan penelitian sebelumnya menemukan bahwa rasio biaya-manfaat dari program global yang efektif untuk konservasi satwa liar setidaknya adalah 1:100.

“Untuk memastikan dampak positifnya bertahan lama, kita perlu berinvestasi lebih banyak pada alam dan terus melakukannya secara berkelanjutan,” ujar  Claude Gascon, salah satu penulis dan direktur strategi dan operasi di Global Environment Facility.

“Studi ini dilakukan pada saat yang kritis ketika dunia telah menyepakati target keanekaragaman hayati global yang ambisius dan diperlukan yang akan mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan kita memerlukan tindakan konservasi pada skala yang benar-benar baru,” katanya. 

SHARE