Perdebatan Alot Berlangsung di KTT Plastik

Penulis : Aryo Bhawono

Polusi

Sabtu, 27 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perbedaan pendapat mewarnai pembahasan Global Plastic Treaty dalam Konferensi United Nation for Environmental Programme (UNEP). Pada Forum Intergovernmental Negotiating Committee keempat (INC-4) di Ottawa, Kanada, negara yang bergantung pada bahan bakar fosil melakukan penolakan keras atas peraturan mengikat soal plastik. 

Perbedaan pendapat ini terjadi sejak Selasa (23/4/2024). Negara-negara peserta diharapkan menyepakati perjanjian yang secara hukum mengikat. Perjanjian itu tidak hanya membeberkan cara membuang plastik, tetapi juga berapa banyak memproduksinya dan cara menggunakannya. 

Bila tercapai, itu akan menjadi perjanjian yang paling signifikan untuk mengatasi emisi pemanasan iklim global sejak Perjanjian Paris 2015.

Namun ketika negosiasi dimulai di Ottawa, muncul penolakan keras dari pelobi petrokimia dan beberapa negara yang bergantung pada bahan bakar fosil untuk membatasi produksi atau melarang bahan kimia tertentu.

Tumpukan sampah, termasuk sampah plastik, yang terakumulasi di Aldabra Atoll, Seychelles. Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbesar di pantai negara Afrika Timur itu./Foto: Seychelles Islands Foundation (SIF).

Koordinator Internasional Jaringan Penghapusan Polutan Internasional (IPEN), Björn Beeler, menyebutkan mereka menginginkan perjanjian yang menempatkan kendali global terhadap bahan kimia berbahaya dalam plastik dan mengakhiri pertumbuhan pesat produksi plastik.

“Produksi adalah pusat dari segalanya, itulah alasan mengapa hal ini berjalan lambat. Dan itu akan menjadi sangat mahal. Ini bukan tentang lautan. Ini lebih tentang minyak,” katanya seperti dikutip dari AP.

Senator AS Jeff Merkley dari Oregon yang memimpin delegasi kongres AS ke Ottawa untuk mengadvokasi perjanjian yang kuat menyebutkan sikap pemerintah AS adalah bahwa negara-negara harus mengambil langkah sukarela untuk mengakhiri polusi plastik, namun hal itu tidak cukup untuk mendorong perubahan, kata Merkley.

“Alasan mendasar mengapa AS tidak ambisius adalah karena kami adalah negara penghasil gas fosil,” katanya.

ExxonMobil sendiri meningkatkan produksi plastik. Karen McKee, Presiden Solusi Produk ExxonMobil sekaligus presiden Dewan Asosiasi Kimia Internasional menyebutkan plastik merupakan bahan yang berguna dan berharga yang meningkatkan kualitas hidup di seluruh dunia. Bahan lain yang mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca.  

“Bukan berarti kami tidak peduli terhadap sampah plastik yang mencemari lingkungan. Tetapi saya akan memisahkan produksi plastik dari kebutuhan untuk mengelola plastik yang sudah habis digunakan dan untuk meningkatkan sirkularitas,” kata dia.

Sementara dikutip dari VOA, ketua perundingan di Ottawa berencana membagi delegasi nasional menjadi tujuh kelompok kerja pekan ini untuk mengatasi permasalahan yang belum terselesaikan, termasuk apa yang harus dimasukkan dalam perjanjian tersebut dan bagaimana itu harus dilaksanakan.

Pada bulan Maret 2022, sebanyak 175 negara sepakat untuk membuat perjanjian pertama yang mengikat secara hukum mengenai polusi plastik, termasuk di lautan, pada akhir tahun 2024. Ini adalah jangka waktu negosiasi yang sangat singkat, yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan urgensi masalah tersebut. Ini adalah pertemuan keempat dari lima pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah untuk Plastik PBB.

Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB, Inger Andersen, menyebutkan ribuan delegasi diperkirakan hadir dalam KTT Ottawa. Mereka adalah para perunding, pelobi, dan pengamat dari lembaga-lembaga nirlaba. Pada putaran keempat perundingan itu menjelang kesepakatan akhir yang akan dicapai pada Desember, menjadikannya salah satu upaya perjanjian tercepat yang dipimpin PBB hingga saat ini.

“Proses ini tidak diragukan lagi merupakan proses yang dipercepat dan ambisius, karena kita tidak punya waktu puluhan tahun untuk bertindak,” kata dia.

Laporan badan federal AS, Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley menyebutkan hingga kini produksi plastik menyumbang sekitar 5 persen emisi dan dapat meningkat hingga 20 persen pada 2050.  

Produksi plastik diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2060. Para pendukung kebijakan ini mengatakan bahwa pengungkapan informasi itu adalah langkah dasar pertama dalam mengendalikan sampah plastik berbahaya – yang sebagian besar berakhir sebagai sampah yang merusak lanskap, menyumbat saluran air atau tempat pembuangan sampah – dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Data PBB menyebutkan hampir seperlima sampah plastik dunia dibakar, sehingga melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Kurang dari 10 persen di antaranya didaur ulang.

SHARE