DFW Minta KKP Tindak 2 Kapal Transhipment Asing di Arafura

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Jumat, 19 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mendesak Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) untuk melakukan operasi penegakan hukum terhadap kapal asing yang terindikasi melakukan kejahatan perikanan di Laut Arafura. 

Miftahul Choir, Manajer Human Right DFW Indonesia menyampaikan hal tersebut karena ada dua kapal asing, RZ03 dan RZ05, dalam penangkapan KM MUS yang terindikasi melakukan kejahatan perikanan berupa alih muatan di tengah laut, jual beli BBM subsidi, dan perdagangan orang. “Di kedua kapal asing tersebut (juga) ditengarai masih terdapat ABK Indonesia,” ungkap Miftahul, dikutip Kamis, 18 April 2024.

"KKP dan TNI AL harus melakukan sinergi dan penindakan," kata dia sembari mengapresiasi keberhasilan KKP menangkap KM MUS.

Kegiatan transhipment atau pemindahan ikan ke kapal asing dikategorikan sebagai illegal, unreported and unregulated fishing. Foto: Istimewa/KKP

Sebelumnya, Kapal Pengawas Orca 06 milik KKP menangkap Kapal Ikan Indonesia (KII) KM MUS yang telah melakukan alih muatan (transhipment) dengan dua Kapal Ikan Asing (KIA) di Laut Arafura, Maluku. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Dr. Pung Nugroho Saksono, mengatakan bahwa dalam penangkapan ini pihaknya mendapat perintah dari Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono.

“Kami mendapatkan perintah langsung dari Menteri Kelautan dan Perikanan tentang adanya aktivitas kapal ikan asing di WPPNRI 718,” kata Pung.

KP Orca 06 berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan Indonesia KM MUS pada Minggu dini hari, tanggal 14 April 2024, di Laut Arafura, Maluku. Titik koordinat penangkapan 05° 30.422" LS - 133° 59.005" BT.

“Atas kasus ini, terdapat tiga masalah yang terungkap. Pertama menyuplai BBM, kedua KII pengangkut menerima ikan dari KIA yang notabene ilegal,  dan terakhir adanya perbudakan atau human trafficking. Ini kasus extraordinary. Pak Menteri memerintahkan untuk mengembangkan kasus tersebut dan mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya,” ungkap Pung.

Muhammad Karim, Akademisi Perikanan dan Kelautan dari Universitas Trilogi Jakarta mengatakan kegiatan transhipment atau pemindahan ikan di laut sesungguhnya dikategorikan sebagai illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Dalam UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, ujarnya, kegiatan transhipment tidak diperbolehkan. Namun kemudian pemerintah membenarkan aktivitas tersebut dalam UU Cipta Kerja dan diperkuat PP No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Padahal, “Di negara-negara lain kegiatan ini termasuk kategori kejahatan perikanan,” kata Karim, 18 April 2024. 

Semua hasil tangkapan harus didaratkan, kata Karim, karena pada transhipment siapa yang memantau ikan yang dialihmuatankan dan bagaimana pajak dan retribusinya. “Itu kan merugikan negara. Jadi, membolehkan transhipment sama saja kita melegalkan kejahatan perikanan. Apalagi dialihmuatan ke kapal asing, yang dibekingi oleh oknum-oknum tertentu dan bahkan bisa saja kelompok komprador yang dekat kekuasaan,” ungkap Karim.

Menurut Karim, transhipment mestinya tidak perlu dilakukan. Alasan pendukung trashipment bahwa ikan yang didaratkan dulu kualitas mengalami penurunan mestinya diatasi pemerintah dengan membangun sentral pendaratan dan pelabuhan perikanan di daerah-daerah yang lebih dekat dengan daerah penangkapan ikan (fishing ground), atau memanfaatkan pulau-pulau kecil strategis di wilayah perbatasan maritim sebagai pusat pendaratan ikan. 

Karim mencontohkan, pulau kecil perbatasan membangun sentral pembangunan perikanan terpadu. Selama era Susi Pudjiastuti itu sudah dikembangkan. Tantangannya, ungkap Karim, ada kekurangan infrastruktur yang menjadi pendukung utamanya terutama seperti energi listrik, bahan bakar minyak (BBM). “Sebab, ketersediaan BBM akan mempermudah pasokan solar untuk kapal ikan,” kata Karim.

SHARE