20 Tahun RUU Masyarakat Adat, PPMAN: Pemerintah Banyak Alasan!

Penulis : Gilang Helindro

Masyarakat Adat

Selasa, 09 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, belum ada kejelasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA atau RUU Masyarakat Adat).

Syamsul Alam Agus, Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara mengatakan, fakta di persidangan selalu ada alasan dari pihak pemerintah dan DPR bahwa situasi yang terjadi di masyarakat adat ini tidak mendesak. 

Alam menyayangkan belum adanya pengesahan RUU Masyarakat Adat sampai saat ini. Padahal aturan lain bisa sekerjapan mata. Ia mencontohkan ketika pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja dalam waktu singkat. Aturan tersebut justru mengancam akan merampas hutan adat milik masyarakat adat.

“Seperti apa situasi yang tidak mendesak? Apakah membatasi hak masyarakat adat untuk hidup, lalu ditangkap dan dikriminalisasi? Apakah itu hak yang bisa dikecualikan? Itulah hal yang mendesak,” kata Alam, dalam Diskusi Publik Mengawal Advokasi RUU Masyarakat Adat, Selasa, 2 April 2024.  

Diskusi Mengawal Advokasi RUU Masyarakat Adat, Selasa, 2 April 2024. Foto: Kaoem Telapak

Alam menambahkan, undang-undang terkait Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk. Pasal itu berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang aturannya ada dalam undang-undang.”

Namun, karena adanya kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU terbentuk. “Ini menegaskan bahwa pemerintah (eksekutif) menyadari pengakuan masyarakat adat mereka atur dengan UU. Namun, ibarat pepatah ‘tak ada akar, rotan pun jadi’, ada pemaksaan pengakuan masyarakat adat dengan peraturan di bawah level undang-undang,” ungkap Alam.

Alam menegaskan bahwa penyelenggara negara seharusnya menindaklanjuti setiap permohonan warga. Sehingga, dapat tercipta kepastian hukum dan keadilan serta tidak menimbulkan kerugian.

Menurut Alam, perlu pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat dalam upaya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat yang diamanatkan konstitusi. "Bukan surat edaran, surat keputusan bupati, ataupun peraturan daerah," ujarnya.

Status Pengakuan Wilayah adat Maret 2024. Sumber: BRWA.

Dia memberikan contoh yang terjadi di lapangan, pengalaman Mikael Ane, masyarakat adat dari Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Mikael Ane menerima vonis satu tahun enam bulan kurungan karena menempati dan mengelola tanah adatnya. Negara mengklaim tanah tersebut sebagai  Taman  Wisata Alam Ruteng.

“Padahal, wilayah Ruteng sudah ada peraturan daerah yang mengakui eksistensi masyarakat adat. Kriminalisasi Mikael Ane menggunakan Undang-Undang Kehutanan. Jadi, perda saja tidak cukup,” ungkap Alam.

Luluk Nur Hamidah, Anggota Komisi IV DPR RI menjelaskan payung hukum bagi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia belum juga terbentuk. Oleh sebab itu, perlu percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) di rapat paripurna, kemudian DPR sahkan menjadi undang-undang.

Sebagai informasi, RUU ini sudah masuk ke dalam program legislasi nasional sejak 2009. Masyarakat adat sangat menanti pengesahan regulasi itu supaya terhindar dari konflik perampasan lahan dan diskriminasi.

Menurut Luluk, pembahasan RUU Masyarakat Adat sudah selesai di Badan Legislatif DPR sejak 2020. Namun, DPR belum membawa RUU tersebut ke sidang paripurna sehingga belum bisa mereka sahkan sebagai RUU inisiatif DPR. Masa persidangan paripurna pun kini tinggal tersisa dua kali sebelum masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir pada Oktober 2024.

“Jadi, perlu dikejar dari sekarang. Kami minta pemerintah desaklah DPR agar bisa segera membawa ini ke rapat paripurna,” kata Luluk.

Ia menduga, RUU tersebut masih dianggap menghambat praktik bisnis yang banyak bersinggungan dengan masyarakat adat. Padahal, faktanya tanpa perlindungan hukum terhadap masyarakat adat, diskriminasi dan perampasan wilayah adat akan terus terjadi.

“Karena ada kepentingan ekonomi dari negara seperti memuluskan proyek strategis nasional (PSN), masyarakat adat bisa dikesampingkan. Contohnya, di Rempang yang menjadi model investasi. Namun, saya optimistis RUU ini bisa berhasil walau tidak mudah,” ungkap Luluk.

Berdasarkan catatan AMAN, dalam kurun waktu 2017 sampai 2022, setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga masyarakat adat. Secara umum, konflik yang terjadi di masyarakat adat meliputi sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur.

SHARE