Laju Penyusutan Hutan Hujan: 10 Kali Lapangan Bola per Menit
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Jumat, 05 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penghancuran hutan hujan paling murni di dunia terus berlanjut dengan kecepatan yang tiada henti pada 2023, meskipun tingkat kehilangan hutan di Amazon Brazil dan Kolombia menurun drastis, menurut sebuah data terbaru.
Menurut angka yang dikumpulkan oleh World Resources Institute (WRI) dan University of Maryland, tahun lalu wilayah hampir seluas Swiss ditebangi dari hutan hujan yang sebelumnya tidak terganggu, dengan luas total 37.000 kilometer persegi atau 3,7 juta hektare. Angka ini setara dengan 10 lapangan sepak bola per menit, yang sering kali disebabkan oleh semakin banyaknya lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian di seluruh dunia.
Meskipun Brasil dan Kolombia mencatat penurunan besar dalam tingkat kehilangan hutan, masing-masing sebesar 36% dan 49%, namun di bawah kebijakan lingkungan hidup yang dipimpin oleh Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dan Gustavo Petro, penurunan tersebut diimbangi dengan peningkatan besar di Bolivia, Laos, Nikaragua, dan negara lainnya.
Kanada juga mengalami kehilangan hutan akibat kebakaran yang mencapai rekor tertinggi, yaitu lebih dari 8 juta hektare.
Mikaela Weisse, Direktur Global Forest Watch di WRI, mengatakan dunia ibarat mengambil dua langkah maju, lalu dua langkah mundur terkait hilangnya hutan pada tahun lalu.
“Penurunan drastis di Amazon Brazil dan Kolombia menunjukkan bahwa kemajuan mungkin terjadi, namun meningkatnya hilangnya hutan di wilayah lain telah menghambat kemajuan tersebut,” kata Weisse, Kamis, 4 April 2024. “Kita harus belajar dari negara-negara yang berhasil memperlambat deforestasi.”
Perubahan fungsi lahan – dimana deforestasi merupakan salah satu komponen utamanya – merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar kedua dan penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati. Melestarikan hutan hujan sangat penting untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri, menurut para peneliti.
Para ahli telah memperingatkan bahwa deforestasi yang terus berlanjut berarti pemerintah berada di luar jalur yang berbahaya dalam memenuhi komitmen iklim dan keanekaragaman hayati. Pada konferensi iklim COP28 di Dubai, pemerintah negara-negara sepakat mengenai perlunya menghentikan dan membalikkan hilangnya dan degradasi hutan pada 2030, setelah adanya komitmen dari para pemimpin dunia pada COP26 di Glasgow untuk mengakhiri kehancuran hutan pada dekade ini.
Namun angka-angka baru ini menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari mencapai target tersebut, dengan hanya sedikit perubahan dalam hilangnya hutan secara global selama beberapa tahun.
Meskipun Brasil telah memperlambat laju hilangnya hutan secara signifikan, negara ini tetap menjadi salah satu dari tiga negara teratas yang mengalami kehilangan hutan hujan primer, bersama dengan Republik Demokratik Kongo dan Bolivia. Secara keseluruhan, kedua hal tersebut menyumbang lebih dari separuh total kehancuran global.
Bolivia mencatat lonjakan besar kehilangan hutan selama tiga tahun berturut-turut – meskipun luas hutannya kurang dari separuh negara-negara dengan hutan hujan besar lainnya seperti Kongo dan Indonesia – yang sebagian besar disebabkan oleh perluasan pertanian kedelai.
Laos dan Nikaragua kehilangan sebagian besar sisa hutan hujan mereka yang belum tersentuh pada 2023, dan masing-masing menebang 1,9% dan 4,2% dalam satu tahun. Menurut para peneliti hal ini disebabkan karena hutan yang sangat terfragmentasi di negara-negara yang telah ditebang secara ekstensif seringkali dapat hilang dengan lebih cepat.
Di Laos, ekspansi pertanian didorong oleh permintaan komoditas dari Tiongkok, sementara di Nikaragua, peternakan sapi dan perluasan pertanian adalah penyebabnya.
Meskipun belum ada kemajuan secara keseluruhan dalam angka-angka pada 2023, para peneliti mengatakan dunia dapat belajar dari contoh yang dilakukan Brazil dan Kolombia dalam memenuhi target deforestasi.
Prof Matthew Hansen, seorang spesialis penginderaan jarak jauh di departemen geografi University of Maryland, mengatakan satu-satunya cara untuk melestarikan hutan yang ada adalah dengan dana kompensasi untuk melestarikan hutan hujan yang masih ada.
“Jerman telah menerapkan 'Fair Deal', yang dimaksudkan untuk membayar negara-negara hutan hujan dengan cara ini. Norwegia juga melakukan pendekatan serupa dengan Gabon, dengan menggunakan penyerapan karbon sebagai upayanya. Kombinasikan pendekatan tersebut dengan tata kelola yang kuat dan keterlibatan masyarakat sipil, dan hal ini mungkin akan berhasil,” katanya.
SHARE