Pasir Laut Dianggap Pemerintah Bagian dari Ekonomi Biru

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Jumat, 22 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapat dukungan dari sejumlah instansi serta perguruan tinggi dalam melakukan transformasi tata kelola kelautan dan perikanan di Indonesia melalui program-program berbasis ekonomi biru.

Dukungan ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono bersama pimpinan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Serta tiga perguruan tinggi masing-masing Universitas Syiah Kuala, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin.

"Kolaborasi ini akan memperkuat pelaksanaan transformasi tata kelola kelautan dan perikanan. Kita bisa perbaiki kampung-kampung nelayan, penguatan data masyarakat pesisir, perbaikan infrastruktur perikanan budi daya, dan sebagainya," kata Trenggono dalam keterangan resminya, dikutip Kamis, 21 Maret 2024.

Muhammad Karim, Akademisi Perikanan dan Kelautan dari Universitas Trilogi Jakarta menilai konsep ekonomi biru terjadi pergeseran. ”Konsep awalnya adalah ekonomi yang menggunakan sisa limbah yang bisa digunakan kembali di kemudian hari tidak berdampak kembali untuk lingkungan,” kata Karim.

Ekonomi Biru dianggap sebagai alternatif pemulihan ekonomi dan pencapaian komitmen iklim Indonesia. Foto: Ekonomi Biru

“Dan ekonomi biru itu harus dikerjakan oleh masyarakat lokal yang bisa menambah nilai ekonomi dari sumber daya lokal yang mereka punya, tiba tiba sekarang pasir laut, limbahnya kan berdampak,” kata Karim, Rabu, 20 Maret 2024.

Pergeseran ekonomi biru pada praktiknya di beberapa negara mengalami kegagalan dan nelayan kecil menjadi korban. Kata kunci yang muncul adalah ketidakadilan, bahwa ekonomi biru mengalami pergeseran. Di Indonesia, pasir laut dianggap menjadi bagian ekonomi biru.

Karim menyebut, paradigma ekonomi biru hanyalah dalih untuk menciptakan ketergantungan dan ketidakadilan baru di sektor kelautan. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Gunter Pauli, ekonomi biru tidak menolak atau mengkritik globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Ia hanya ingin menciptakan suatu keseimbangan baru dalam ekonomi global. Dengan kata lain kata Karim, ekonomi biru merupakan salah satu varian kapitalisme neoliberal yang mengusung teori pertumbuhan biru atau blue growth.

Secara ideologis, ekonomi biru memiliki hubungan yang sangat dekat dengan aliran Neo-Austrian yang berpaham liberalisme klasik. “Bentuknya adalah utang luar negeri. Ironisnya kata Karim, negara-negara berkembang yang kaya sumber daya kelautan, termasuk indonesia tak menyadarinya” kata Karim.

Karim menyayangkan, pengalaman berbagai negara pengusung ekonomi biru justru menunjukkan bahwa dana tersebut menimbulkan masalah struktural dan kultural.

Karim mencontohkan, Seychelles, salah satu negara kepulauan di Samudera Hindia, menjadikan laut sebagai ruang pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi lewat eksplorasi dan eksploitasi perikanan tuna. “Akibatnya, industri perikanan tuna dikuasai Uni Eropa membuat perikanan skala kecil hingga masyarakat terpinggirkan,” kata Karim. Contoh itu kata Karim, membuktikan bahwa kebijakan ekonomi biru mengorbankan serta meminggirkan nelayan kecil, masyarakat pesisir.

Lokasi Tambang Sedimentasi Laut

Sebelumnya, KKP telah mengumumkan lokasi pembersihan hasil sedimentasi di laut yang tersebar di laut Jawa, Selat Makassar, Natuna dan Natuna Utara. Menteri Sakti Wahyu Trenggono dalam keterangan resminya mengatakan, penetapan lokasi pembersihan dilakukan setelah melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak, dan melakukan kajian ilmiah di lokasi yang dipilih. 

Trenggono menyebut, pembersihan hasil sedimentasi di laut ini merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Selanjutnya KKP membuat aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Sejauh ini terdapat tujuh lokas kata Trenggono, tersebar di laut Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

“KKP mempersilahkan pelaku usaha untuk memanfaatkan hasil sedimentasi yang ada,” kata Trenggono. “Pelaku usaha yang dimaksud memiliki kriteria diantaranya bergerak di bidang pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut serta memiliki peralatan dengan teknologi khusus,” ujarnya.

Trenggono menambahkan, pelaku usaha dapat mengirim proposal pemanfaatan yang di antaranya memuat tujuan pembersihan, lokasi, volume, metode, dan sarana pembersihan. 

"Pelaku usaha juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan, salah satunya harus memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pengumuman ini berlaku sampai dengan tanggal 28 Maret dan pemasukan dokumen persyaratan sejak tanggal diumumkan sampai dengan tanggal berakhirnya pengumuman," kata Trenggono.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional menyatakan, lokasi konsesi yang diumumkan KKP menggambarkan empat hal penting. Pertama tunduknya pemerintah kepada oligarki tambang pasir laut. Kedua, poros maritim dunia yang didengungkan oleh Jokowi pada 2014 lalu adalah basa-basi politik. Ketiga, jargon Ekologi adalah panglima yang sering disampaikan oleh Menteri KKP adalah omong kosong. 

“Terakhir, membuka wajah sebenarnya Jokowi dan para menterinya yang sering berpidato di berbagai forum dunia mengenai komitmen Indonesia menjaga keberlanjutan laut,” ungkap Parid, Rabu, 20 Maret 2024. 

Parid menjelaskan, kebijakan ini membuka wajah asli pemerintah Jokowi yang eksploitatif sekaligus tak memiliki visi keadilan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya laut serta. Akhirnya masa depan laut dan nelayan akan dikorbankan untuk kepentingan jangka pendek ini. 

"Penambangan pasir laut berkedok pembersihan sedimentasi laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia dan menghancurkan kehidupan rumah tangga perikanan,” kata Parid.

Parid menggarisbawahi, bahwa lokasi penambangan pasir laut merupakan kawasan tangkap nelayan tradisional yang hidupnya tergantung pada sumber daya perikanan. "Kebijakan ini akan menghancurkan ekonomi perikanan yang menjadi tumpuan utama nelayan di Indonesia.

Walhi mencatat, tambang pasir di Pulau Rupat, Riau, telah mengakibatkan abrasi di wilayah pesisirnya. Begitu pun di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan. Biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan. Dari hasil kajian Walhi bersama dengan tim ahli, biaya pemulihan lingkungan hidup akibat penambangan pasir laut lebih besar lima kali lipat daripada pendapatan. Dengan asumsi harga per meter kubik pasir laut 7,5 dollar Singapura (asumsi harga terendah pada tahun 2017), biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan dari pengambilan 344,8 juta meter kubik pasir laut mencapai 129,3 juta dollar Singapura atau setara Rp 1,507 triliun per tahun.

Parid dengan tegas mengingatkan, penambangan pasir laut juga berpotensi memperparah dampak krisis iklim. Krisis iklim telah menyebabkan tenggelamnya wilayah pesisir dan pulau kecil karena percepatan kenaikan muka air laut. Di Jawa bagian utara dan Sumatera bagian barat, daratan sepanjang satu kilometer yang menjorok ke laut telah hilang. Perpaduan antara dampak destruktif pertambangan pasir laut dan krisis iklim mengancam kehidupan masyarakat pesisir.

Dalam pada itu, Tim percepatan reformasi hukum, dalam dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum, September 2023, menyebutkan, salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah membatalkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Hal itu terjadi karena aturan itu membuka kembali pintu ekspor pasir laut. Penambangan dan ekspor pasir laut telah terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.

"Ironisnya, rekomendasi tim percepatan reformasi hukum ini tidak diindahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, dengan justru mengeluarkan aturan teknis PP Nomor 26 Tahun 2023, serta mengumumkan lokasi pembersihan hasil sedimentasi laut, yang tidak lain merupakan izin penambangan pasir laut,” kata Parid.

Dalam dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum, disebutkan bahwa pemanfaatan sedimentasi hasil laut pernah dilarang pada 2003 dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah. “Alasan lain, belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura sehingga dikhawatirkan mempengaruhi batas wilayah di antara kedua negara,” ungkap Parid.

SHARE