5 Rekomendasi Untuk Tata Kelola Sektor Perikanan

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Selasa, 19 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Lembaga masyarakat sipil Transparency International Indonesia (TII) dan The Prakarsa dalam diskusi publik bertajuk Tata kelola sektor perikanan menyampaikan lima rekomendasi kebijakan untuk pemerintah. 

Peneliti The Prakarsa, Samira Hanim, menyatakan rekomendasi ini menyoroti sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh pekerja kapal dan nelayan.

Samira menyebut, Indonesia merupakan 10 besar negara penghasil ikan terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 5,40 juta metrik ton (MT) pada tahun 2012. “Namun kurangnya kontrol atas praktik bisnis menyebabkan perlakuan eksploitatif terhadap pekerja kapal,” ungkap Samira, Jumat, 15 Maret 2024 lalu.

Samira mengatakan, pemilik kapal dan industri hanya mengejar keuntungan, menyebabkan terjadinya praktik kerja paksa. “Selain kerja paksa, perdagangan manusia dan perbudakan dalam rantai pasok perikanan pun terjadi,” kata Samira.

Peneliti The Prakarsa, Samira Hanim, memaparkan Kajian Tata Kelola Sektor Perikanan di Indonesia. Foto: Gilang/Betahita

Samira menambahkan, perusahaan harus memiliki pemahaman terkait rantai pasoknya, untuk memantau dan mengatasi potensi terjadinya pelanggaran HAM dari seluruh proses perusahaan hulu hingga hilir.

Kemudian, kata Samirah, perusahaan harus mengadopsi uji tuntas HAM di dalam kebijakan perusahaan hingga ke supply chain dan terungkap kepada publik.

“Terakhir, mengembangkan mekanisme pengaduan dan pelaporan pelanggaran yang efektif, sejalan dengan United Nations Guideline Principle of Business and Human Right (UNGP),” kata Samira.

Dani Setiawan, Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), juga menyampaikan keresahannya menyoal subsidi perikanan. Menurut Dani, World Trade Organization (WTO) mendorong negara-negara mengurangi subsidi, akibatnya nelayan tidak mendapat subsidi yang cukup. 

Meskipun subsidi BBM diberikan untuk nelayan kecil, kata Dani, "Namun nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi tersebut karena administrasi sulit dan infrastruktur pendukung terbatas." 

Menurut survey KNTI, ujar Dani, nelayan kecil terpaksa membeli BBM mandiri dan harganya jauh lebih mahal. 

Dani menambahkan, kemiskinan, permasalahan perempuan, dan pelanggaran HAM terhadap pekerja masih banyak terjadi. Karena itu KNTI menuntut pemerintah agar menentukan prioritas kebijakan yang efektif selama lima tahun ke depan di sektor perikanan. 

Muhammad Iqbal Gade, Ketua Tim Kerja Pengawakan Kapal Perikanan, Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP), merespon masalah yang ada mengatakan harus ada pemisahan antara aturan tenaga kerja di laut dan di darat.

"Penyadaran seluruh pihak dan stakeholder atas perlindungan pada pekerja di kapal harus dilakukan, pemerintah berkomitmen untuk mengawal instrumen kontrol," ungkap Iqbal.

Rekomendasi peneliti untuk kebijakan pemerintah:

  1. Meninjau kebijakan bagi sektor perikanan dengan meningkatkan kontribusi untuk pelaku yang ada pada rantai pasok dengan kondisi rentan dari sisi sosial ekonomi.
  2. Mengevaluasi dampak lingkungan dan keadilan sosial dari insentif yang diberikan pada sektor perikanan untuk menjamin dukungan terhadap kelestarian jangka panjang bagi komunitas nelayan.
  3. Mereformasi kebijakan insentif perikanan khususnya yang memiliki dampak negatif bagi sumber daya perikanan dan kesejahteraan masyarakat di sektor perikanan.
  4. Meningkatkan sinkronisasi aturan serta memperkuat kelembagaan pemerintah yang mengatur kebijakan perikanan dan multisektor khususnya isu pemenuhan HAM
  5. Mewajibkan uji tuntas HAM dilakukan oleh perusahaan dan membuat panduan komprehensif mengenai hal sampai supply chain. Asistensi dan pengawasan atas implementasi Uji Tuntas HAM dilakukan sebagai Insentif pemerintah.

SHARE