16 Wali Lingkungan Kaltim Tolak Penggusuran Demi Obsesi IKN
Penulis : Gilang Helindro
Agraria
Kamis, 14 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur yang terdiri dari enam belas organisasi menolak perampasan tanah dan pembongkaran paksa rumah masyarakat untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Mareta Sari, Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur mengatakan, masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara memberikan perlindungan, bukan justru mengalami pembongkaran paksa dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN.
“(Kami) menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun,” kata Mareta, dikutip Rabu, 13 Maret 2024.
Mareta menyebut, dokumen tata ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum. “Karena itu, masyarakat sipil Kalimantan Timur menolak pembangunan IKN yang menggusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Kami menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama," ungkap Mareta.
“Hanya dengan cara bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan,” tambah Mareta.
Mareta mengingatkan bahwa pemerintah lupa jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN.
Mareta mengutip putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010. Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menegaskan terdapat empat aspek yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menguji makna penguasaan negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, yakni Pertama, pemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat.
Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Dan Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Menurut Mareta, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, mengeluarkan Surat Nomor 179/DPP/OIKN/III/2024 Perihal Undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berizin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN. Surat itu ditindaklanjuti dengan surat teguran pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, dalam jangka waktu 7 hari warga agar segera membongkar bangunan yang tidak sesuai ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
Mareta mengatakan, ancaman Badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih pembangunan Ibukota adalah bentuk tindakan abusive pemerintah. Kata Mareta, ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan. “Mengingatkan kita dengan rezim otoritarian Orde Baru yang represif dan menghalalkan segala cara. Otorita IKN memberikan batas waktu selama 7 hari agar warga Pemaluan segera angkat kaki dari tanah tempat mereka berpijak selama puluhan tahun," ujar Mareta Sari.
Pola semacam ini, kata Mareta, bentuk intimidasi yang menyebarkan teror dan ketakutan kepada warga. Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya.
Rahmawati Al Hidayah, Akademisi dari Fakultas Hukum Unmul mengatakan, fenomena yang terjadi hari ini menjadi fakta-fakta selanjutnya, bahwa negara tidak berpihak pada masyarakat.
Dalam kontek hukum misalnya. Pertama, berbicara soal perlindungan terhadap kepemilikan tanah masyarakat, dulu ada istilah Domein Verklaring, yaitu pernyataan pada zaman Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara.
”Jangan sampai praktek Domein Verklaring zaman Belanda itu diterapkan saat ini, padahal kita sudah lama menghapus kebijakan itu,” ungkap Rahmawati.
Kedua, kata Rahmawati, melihat dasar hukum dari penggusuran ini adalah RTRW, bagaimana kemudian partisipasi masyarakat membentuk aturan ini menjadi dasar RTRW, sehingga tidak adanya partisipasi menjadi catatan penting, walaupun otorita sudah melakukan sosialisasi. Rahmawati mengatakan bagaimana pertemuan antara hukum perdata dan hukum publik tentang RTRW ini merupakan hal penting.
“Pertemuan seperti ini yang sangat bersinggungan dengan hak dasar masyarakat, di dalamnya ada hak masyarakat yang perlu kita lindungi,” ungkap Rahmawati.
Dede Wahyudi dari AMAN Kaltim mendesak Badan Otorita IKN untuk segera membuat regulasi khusus untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi. Baik di kawasan IKN maupun wilayah lainnya di Kaltim.
"Kami minta Badan Otorita IKN agar membuat regulasi untuk akui hak masyarakat adat. Ini yang didorong AMAN Kaltim selama ini," tegas Dede.
SHARE