LIPUTAN KHUSUS:

Dampak Kerugian Ekonomi Krisis Iklim Lebih Berat Bagi Perempuan


Penulis : Kennial Laia

Krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga ekonomi. Dampaknya terasa lebih berat bagi perempuan, memperparah ketimpangan yang sudah ada.

Perubahan Iklim

Sabtu, 09 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Penelitian menunjukkan bahwa perempuan di daerah pedesaan menderita kerugian ekonomi yang jauh lebih besar akibat dampak kerusakan iklim dibandingkan laki-laki di negara berkembang, dan kesenjangan tersebut kemungkinan akan semakin melebar.

Data terbaru dari laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB yang terbit pada Selasa, 5 Maret 2024 mengungkap, rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan di daerah pedesaan kehilangan sekitar 8% lebih banyak pendapatan akibat tekanan panas dibandingkan rumah tangga yang dikepalai laki-laki, dan pengurangan pendapatan mereka saat banjir terjadi sekitar 3% lebih besar dibandingkan kerugian yang dialami laki-laki. 

Perbedaannya, jika dilihat dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, terdapat tambahan kerugian sebesar $37 miliar yang dialami perempuan akibat tekanan panas. Kerugian ini bertambah $16 miliar akibat banjir setiap tahunnya. 

Para peneliti memperkirakan kenaikan suhu rata-rata jangka panjang sebesar 1 derajat Celcius dikaitkan dengan penurunan sekitar sepertiga pendapatan rumah tangga yang dikepalai perempuan, dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga yang dikepalai laki-laki.

Buruh sawit perempuan sedang menabur pupuk di perkebunan kelapa sawit. Foto: Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Anak-anak dan perempuan juga cenderung harus bekerja lebih banyak ketika suhu sangat tinggi, di mana rata-rata anak-anak bekerja hampir satu jam ekstra dalam seminggu di daerah pedesaan, menurut laporan tersebut.

Lauren Phillips, wakil direktur transformasi pedesaan inklusif dan kesetaraan gender di FAO dan salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan pemerintah gagal mempertimbangkan faktor-faktor yang merugikan perempuan, dan bantuan iklim tidak ditargetkan dengan cara yang dapat mengatasi kesenjangan gender tersebut. Menurut Phillips, laporan ini adalah yang pertama mengukur hal ini dengan jelas.

“Kesenjangan gender ini dapat mempunyai dampak yang sangat dramatis terhadap pertumbuhan PDB,” kata Phillips, dikutip Guardian, Selasa, 5 Maret 2024. “Kita dapat meningkatkan PDB sebesar 1% secara global jika kita dapat mengurangi kerawanan pangan bagi 45 juta orang, dengan berfokus pada perempuan,” ujarnya. 

Kurang dari 2% pendanaan iklim global diperkirakan menjangkau produsen pangan skala kecil. Perempuan adalah pihak yang paling terkena dampak krisis iklim dibandingkan laki-laki karena dampaknya memperburuk kesenjangan yang sudah ada, seperti ketidaksetaraan hak atas kepemilikan lahan dan kurangnya peluang ekonomi bagi perempuan. Perempuan juga cenderung menanggung lebih banyak beban dalam menyediakan air, bahan bakar, dan makanan. Pemerintah dan donor dapat mengatasi masalah ini dengan menentukan sasaran bantuan yang lebih baik, kata Phillips.

“Menargetkan perempuan dengan cara yang memastikan pemberdayaan mereka memberikan manfaat yang lebih besar,” kata Phillips. “Ada banyak keuntungan dan manfaat dari penargetan pendanaan iklim pada perempuan. Kita perlu fokus pada hal ini, untuk mendapatkan laba atas investasi yang jauh lebih tinggi.”

Dalam laporan tersebut, para peneliti menganalisis data sosial ekonomi dari lebih dari 100.000 rumah tangga pedesaan, yang mewakili lebih dari 950 juta orang, di 24 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Mereka melakukan referensi silang dengan data curah hujan dan suhu harian selama 70 tahun untuk membangun gambaran rinci tentang bagaimana perubahan iklim dan cuaca ekstrem memengaruhi pendapatan, tenaga kerja, dan kehidupan masyarakat.

Hal ini menambah semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan dan kelompok rentan menderita dampak krisis iklim secara tidak proporsional. Laporan tersebut juga menemukan bahwa masyarakat lanjut usia cenderung lebih terkena dampaknya dibandingkan generasi muda, yang mungkin memiliki lebih banyak kesempatan untuk pindah guna menghindari dampak cuaca ekstrem, dan masyarakat yang sudah miskin lebih rentan dibandingkan mereka yang berpenghasilan lebih tinggi.

Maximo Torero Cullen, kepala ekonom FAO, menulis dalam kata pengantar laporan bahwa: “Perubahan iklim semakin memperlebar kesenjangan pendapatan yang ada di daerah pedesaan, mendorong masyarakat rentan menuju strategi penanggulangan yang maladaptif dan pada akhirnya mempersulit kelompok-kelompok ini untuk keluar dari siklus kemiskinan dan kelaparan.”

Rumah tangga yang lebih miskin rata-rata mengalami kerugian sekitar 5% lebih besar dibandingkan tetangga mereka yang lebih kaya ketika terjadi banjir atau suhu ekstrem, demikian temuan laporan tersebut.

“Apa yang kami temukan adalah perubahan iklim membuat masyarakat miskin pedesaan semakin bergantung pada pertanian. Pertanian akan menjadi lebih sulit seiring perubahan iklim yang semakin parah,” kata Phillips.