LIPUTAN KHUSUS:

Suku Moi Sorong Lawan Gugatan PT SAS di PTUN


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Suku Moi khawatir gugatan PT SAS akan menghilangkan hak-hak dan mata pencaharian masyarakat yang bersumber dari hutan, tanah, sungai, dan kekayaan alam sekitarnya.

Masyarakat Adat

Selasa, 24 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat adat Suku Moi, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, mengajukan diri sebagai pihak intervensi dalam gugatan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dalam perkara 368/G/2023/PTUN/JKT, yang meminta pembatalan pencabutan izin pelepasan kawasan hutan dan pencabutan izin usaha perkebunan (IUP). Permohonan intervensi itu dilakukan perwakilan masyarakat adat Suku Moi pada Jumat, 20 Oktober 2023, kemarin.

Suku Moi memutuskan untuk melawan gugatan PT SAS, dengan mengajukan permohonan intervensi ke PTUN Jakarta, karena khawatir gugatan itu akan menghilangkan hak-hak dan mata pencaharian masyarakat yang bersumber dari hutan, tanah, sungai, dan kekayaan alam sekitarnya.

"Permohonan intervensi ini kami lakukan untuk mempertahankan hak dan kepentingan kami sebagai masyarakat adat Suku Moi," ujar Edison Sede, perwakilan masyarakat adat Suku Moi dari Kampung Gisim, Jumat (20/10/2023) pekan lalu.

Edison mengatakan, masyarakat adat Suku Moi ingin Majelis Hakim PTUN Jakarta secara hati-hati memeriksa gugatan PT SAS ini, karena masyarakat Suku Moi akan dirugikan bila perusahaan memenangkan gugatan ini.

Perwakilan masyarakat adat Suku Moi saat mengajukan diri sebagai pihak intervensi dalam gugatan PT SAS di PTUN Jakarta. Foto: Pusaka Bentala Rakyat.

"Hakim harus lebih memperhatikan keberadaan dan hak kami," ucapnya.

Solvina Klawon, perempuan Suku Moi menambahkan, sebagai perempuan adat Suku Moi, dirinya merasa keberatan atas adanya gugatan perusahaan. Menurut Solvina, Suku Moi tidak ingin kehilangan sumber penghidupan keluarga dari tanah dan hutan.

"Kami perempuan berkebun, mengambil sagu menjadi makanan, menjaga obat-obatan tradisional semua dari hutan. Jika perusahaan masuk kami akan hilang," kata Solvina.

Pendamping masyarakat adat Suku Moi, Ayup Paa, mengatakan tindakan pencabutan izin usaha PT SAS yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah seharusnya dilakukan, sebab ada banyak pelanggaran yang dilakukan. Selain ada penolakan masyarakat, keberadaan perusahaan juga berdampak kepada lingkungan hidup.

"Akan lebih tepat jika BKPM mendorong kepada instansi lain seperti KLHK dan pemda untuk segera mengakui hutan adat masyarakat. Masyarakat dapat mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya tanpa harus memfasilitasi perkebunan skala besar yang membawa dampak negatif besar," kata Ayup.

Dalam pernyataannya, Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua Bersama Masyarakat Adat Suku Moi memohon Majelis Hakim Perkara 368/G/2023/PTUN.JKT menerima permohonan intervensi yang dilakukan masyarakat adat Suku Moi dan agar dalam memeriksa perkara mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat Suku Moi sebagai pemilik tanah dan hutan adat.

Pihak tergutat, kata Koalisi, yakni BKPM juga diminta melakukan tindakan lanjutan bersama lembaga pemerintahan lainnya, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pemerintah daerah, untuk segera melakukan pengakuan hutan adat masyarakat Suku Moi dengan tujuan melindungi hak-hak masyarakat. Terakhir, BKPM dan KLHK diminta membuka seluruh informasi pencabutan perizinan di Tanah Papua sebagai bentuk kewajiban yang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Koalisi menguraikan, Suku Moi adalah orang asli Papua yang mewarisi, menguasai, dan memiliki tanah dan hutan adat sejak turun temurun hingga saat ini. Keberadaan Suku Moi telah diakui pemerintah melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong No. 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, sebagai mana termuat dalam Pasal 2 yang berbunyi, "Dengan Peraturan Daerah ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong memberikan Pengakuan dan Perlindungan hak masyarakat hukum adat Moi di Kabupaten Sorong."

Suku Moi telah bersikap menjaga tanah dan hutan adat. Mereka menolak perkebunan sawit PT SAS beroperasi di wilayah adatnya. Alasannya, karena perkebunan sawit merampas hak atas tanah dan hutan adat dan berpotensi menghilangkan sumber kehidupan masyarakat, dan mendatangkan malapetaka sosial dan lingkungan, sebagaimana dialami saudara mereka di daerah ini. Mereka memutuskan untuk mengelola sendiri tanah dan hutan adat di wilayah adatnya sesuai pengetahuan yang dimiliki dan diwariskan secara turun temurun.

PT SAS, sebelumnya merupakan pemegang konsesi perkebunan sawit seluas 40 ribu hektare yang terletak di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Awal 2022 melalui SK.01/MenLHK/Setjen/KUM.1/1/2012 pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dipegang PT SAS. BKPM selanjutnya juga mencabut izin usaha perusahaan tersebut melalui keputusan nomor: 202212227-21-0006 pada 22 Desember 2022.

Tidak terima izin usahanya dicabut, PT SAS mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan perkara nomor 368/G/2023/PTUN.JKT yang meminta pencabutan izin itu dibatalkan.

Sebelumnya, Bupati Sorong pada 2021 lalu juga mencabut izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha PT SAS. Tindakan Bupati Sorong ini disambut baik masyarakat Suku Moi. Tapi dalam kasus ini perusahaan menggugat dan membatalkan keputusan Bupati.