LIPUTAN KHUSUS:

Warga Bangkal Tewas Tertembak saat Menuntut Plasma Sawit PT HMBP


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Warga Desa Bangkal bernama Gijik tewas tertembak peluru dalam aksi menuntut plasma sawit di PT HMBP pada Sabtu, 7 Oktober 2023.

Sawit

Minggu, 08 Oktober 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, bernama Gijik, tewas setelah dadanya berlubang terkena tembakan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Tewasnya Gijik ini terjadi saat ratusan warga Desa Bangkal melakukan aksi damai di perkebunan sawit PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), menuntut realisasi plasma sawit, pada Sabtu (7/10/2023) siang.

Menurut informasi yang terhimpun, bukan hanya Gijik saja yang tertembak. Dua warga lainnya, yakni Taufik Nurahman dan Ambaryanto, diketahui juga terluka parah, karena diterjang peluru yang ditembakkan pihak kepolisian. Hingga Sabtu malam, kondisi Taufik dilaporkan kritis. Sementara Ambaryanto, belum diketahui kondisinya.

"Gas air mata, gas air mata persiapan. Lima gas air mata persiapan. Bidik kepalanya. Bidik," kata seorang yang diduga aparat kepolisian melalui pengeras suara, dalam sebuah video amatir yang dibagikan warga di media sosial.

Dari sejumlah video amatir yang Betahita lihat, situasi aksi menuntut plasma sawit yang dilakukan warga Bangkal Sabtu siang sekitar pukul 12.00 WIB itu cukup mencekam. Bak perang, letupan-letupan suara tembakan senjata api pihak kepolisian, termasuk tembakan gas air mata, terdengar sahut-menyahut.

Sebanyak 20 warga ditahan oleh pihak kepolisian dalam aksi massa warga Desa Bangkal di perkebunan sawit PT HMBP I, Sabtu (7/10/2023). Dalam aksi massa ini, tiga warga dikabarkan tertembak peluru, satu di antaranya meninggal dunia. Foto: Kalteng Today.

Dalam video amatir lainnya tampak dua warga, diduga Gijik dan Taufik Nurahman, tengah terkapar di jalan kebun sawit, yang kemudian diseret dan diangkat oleh sejumlah warga untuk dievakuasi dari lokasi kejadian.

Masih berdasarkan informasi yang terhimpun, pada Sabtu pagi warga menduduki lahan sawit seluas 1.175 hektare yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT HMBP. Warga menganggap lahan tersebut merupakan tanah warga yang dicaplok oleh anak perusahaan Best Agro International Group sejak 2006 silam. Namun pada sekitar pukul 11.30 WIB, situasi mulai tidak kondusif, lantaran pihak kepolisian mulai melepaskan tembakan ke arah warga.

Aksi warga menduduki lahan sawit seluas 1.175 hektare di luar HGU PT HMBP itu diduga adalah bentuk penolakan atas hasil keputusan rapat penyampaian jawaban dari pihak perusahaan dan pihak Pejabat (Pj) Bupati Seruyan, pada 3 Oktober 2023 kemarin. Penolakan tersebut disampaikan warga dalam sebuah petisi pernyataan sikap yang warga Bangkal buat.

Dalam surat itu, warga menolak fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dengan luasan 443 hektare. Warga juga menolak dana alokasi plasma yang besarnya hanya Rp300 ribu, yang dianggap terlalu murah untuk perjuangan warga Bangkal. Warga bersepakat tetap menguasai lahan seluas 1.175 hektare, sebagai hak yang telah lama diperjuangkan sesuai kesepakatan tuntutan pada 2013 silam.

"Kami akan terus berjuang karena janji adalah utang. Kesabaran masyarakat Bangkal sudah begitu besar dengan keberadaan PT HMBP I serta sudah begitu banyak toleransi yang diberikan," kata warga dalam surat pernyataan yang Betahita lihat. "Dari awal berkantor di Desa Bangkal sampai perusahaan itu kini menjadi besar, apakah itu balasan kebaikan terhadap kami, sampai saatnya kami hanya meminta yang menjadi hak kami."

Sudah ingatkan pemerintah dan kepolisian

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan, aksi damai warga Bangkal ini sudah dimulai sejak 16 September 2023 lalu, dengan menduduki salah satu pos jaga dan menutup akses jalan menuju PT HMBP. Penutupan akses jalan ini, menurut Walhi, merupakan puncak kemarahan warga atas ketidakpedulian perusahaan dan pemerintah atas tuntutan mereka.

"Walhi telah mengingatkan pemerintah agar mendesak perusahaan untuk segera mengembalikan lahan masyarakat yang berada di luar HGU," ujar Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/10/2023).

Bayu melanjutkan, Walhi juga telah memperingatkan Kepolisian Daerah Kalteng untuk menghindari kekerasan dalam mengamankan aksi demonstrasi di lapangan dan menarik aparat kepolisian dari lapangan untuk menghindari eskalasi yang lebih besar. Sayangnya, seruan ini telah diabaikan, dan tindakan kekerasan, bahkan penembakan terhadap masyarakat, terjadi.

"Ini adalah bukti konkret bagaimana negara dan perusahaan terlibat dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat serius," kata Bayu.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian menyebut pihaknya sangat menyesalkan fakta bahwa aparat kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat malah menggunakan instrument kekerasan, termasuk gas air mata dan peluru tajam, dalam menangani aksi massa.

Penggunaan gas air mata yang tidak mematuhi prosedur, katanya, bahkan dugaan penggunaan senjata api dengan peluru tajam dalam penanganan aksi massa, adalah kejahatan yang tidak bisa diabaikan. Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa secara tegas melarang anggota kepolisian membawa senjata tajam dan peluru tajam dalam pengamanan aksi massa.

"Sayangnya, aparat kepolisian seakan-akan menganggap diri mereka di atas hukum. Dalam konteks konflik sumber daya alam seperti ini, aparat kepolisian seharusnya berupaya untuk memahami akar masalah dan mencari solusi yang adil," kata Uli.

Uli melanjutkan, tanah yang diperjuangkan oleh masyarakat tersebut berada di luar HGU perusahaan, sehingga perusahaan tidak memiliki hak legal atas tanah tersebut. Masyarakat dan masyarakat adat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memiliki hak mutlak atas tanah tersebut. Sebagaimana diamanatkan Pasal 3 Undang-Undang Pembaruan Agraria.

Negara, kata Uli, harus segera mengambil tindakan tegas dalam menangani kejahatan kemanusiaan ini. Anggota kepolisian yang terlibat dalam kekerasan dan penembakan terhadap warga harus diadili, baik secara etika maupun pidana. Pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional harus menyelesaikan konflik agraria yang sudah berlarut-larut ini dengan memenuhi tuntutan masyarakat dan melakukan evaluasi mendalam terhadap PT HMBP.

"Kejadian penembakan ini adalah akibat dari ketidakpedulian pemerintah terhadap tuntutan masyarakat dan pencaplokan tanah oleh perusahaan," ucap Uli.

Demi mencapai keadilan yang sejati, Bayu menambahkan, kronologi perizinan PT HMBP harus diperiksa secara cermat. PT HMBP mendapatkan izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan (SK) No.500/48/Ek/2004 seluas 14.000 hektare yang ditandatangani oleh Bupati Seruyan. Akan tetapi, izin tersebut mencakup luas hanya 11.200 hektar izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP), sesuai dengan SK Izin Lokasi No.151 Tahun 2005 dan SK IUP No.525/352/Ek/2006.

Kemudian, areal izin perusahaan PT HMBP juga berada dalam kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi, dan hanya mendapatkan pelepasan kawasan hutan seluas 10.092 hektar dari Kementerian Kehutanan berdasarkan SK PKH No.189/Kpts-II/2000. Perusahaan juga telah mendapatkan HGU pada 2006 berdasarkan SK HGU No. 24/HGU/BPN/06 seluas 11.229,12 hektare.

Bayu menegaskan, kejadian penembakan ini adalah konsekuensi dari lambannya penegakan hukum dan ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajibannya. Negara, katanya, harus segera bertindak, memberikan keadilan bagi para korban, dan menghentikan kegagalan sistem yang berlarut-larut ini.

"Kami mengajak semua pihak yang peduli terhadap keadilan dan hak asasi manusia untuk bersatu dalam menuntut perubahan dan memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak terulang di masa depan. Kebebasan dan hak masyarakat untuk mempertahankan tanah mereka adalah hak yang tak bisa dikompromikan," kata Bayu.

Langgar hukum dan HAM

Terpisah, Koordinator PilNet Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan tragedi tewasnya warga Bangkal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Aparat kepolisian sebagai alat negara yang seharusnya menegakkan hukum dan HAM, katanya, justru mengkhianati penegakan hukum dan HAM dengan mengekang kebebasan berpendapat dan perjuangan warga Desa Bangkal memperjuangkan haknya yang telah jelas diatur dalam berbagai peraturan baik nasional maupun internasional.

"Kepolisian nampaknya jelas-jelas mengabaikan hal ini. Padahal setiap aparat kepolisian seharusnya tunduk dan patuh terhadap Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Setiap Penyelenggaraan Tugas Kepolisian," kata Sekar.

Selain itu, masih kata Sekar, kepolisian juga telah melanggar Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Pembela HAM. Selain itu, tindakan kekerasan yang menyebabkan luka terhadap massa aksi dinilai melanggar Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, melanggar prinsip nesesitas, proporsionalitas dan reasonable yang tertuang pada ayat (3).

"Tindakan aparat kepolisian yang arogan dan menghilangkan nyawa orang lain merupakan sebuah tindakan yang merendahkan harkat martabat sebagai manusia yang tidak dibenarkan," ucapnya.

Atas kejadian Bangkal ini, sejumlah kelompok yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Presiden RI untuk mengevaluasi kinerja kepolisian yang semakin hari semakin menunjukkan watak represifnya.
  2. Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mengubah pendekatan pengendalian massa agar sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia yang berlaku, termasuk yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan
    Kepolisian, serta No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  3. Perlu adanya upaya pembentukan aparat kepolisian yang berkompeten agar tidak terjadinya perlakuan represif terhadap masyarakat meskipun aparat merupakan para penegak hukum, bukan berarti mereka berhak semena-mena apalagi menggunakan senjata, karena pada dasarnya masyarakat bukanlah para penjajah.
  4. Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah untuk bertanggung jawab dan menindak tegas dengan melakukan proses hukum baik etik maupun pidana anggota polisi di jajarannya yang melakukan kekerasan dan pelanggaran protap dalam penanganan aksi.
  5. Kapolres Seruyan untuk membuka akses bantuan hukum kepada seluruh peserta aksi yang ditangkap.
  6. Kompolnas untuk melakukan investigasi terhadap tindakan aparat Polres Seruyan.
  7. Komnas HAM agar melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polres Seruyan.

Sementara itu, pihak Polda Kalteng mengaku mengerahkan sejumlah personel polisi untuk melakukan pengamanan di lokasi kejadian. Polda menampik penggunaan peluru tajam dalam penanganan aksi massa di PT HMBP.

“Selama melakukan pengamanan, personel tidak dibekali dengan peluru tajam personel hanya dibekali dengan peluru hampa, peluru karet dan gas air mata,” Kombes Pol Erlan Munaji, Kabid Humas Polda Kalteng, dikutip dari Progresif.co, Sabtu (7/10/2023).

Erlan menyebut, saat terjadi unjuk rasa Kapolres Seruyan, AKBP Ampi Mesias Von Bulow, telah mengimbau para massa untuk membubarkan diri dari aksi unjuk rasa. Namun imbauan itu diabaikan dan massa justru melakukan aksi-aksi anarkis, seperti melontarkan batu menggunakan ketapel.

“Dari peristiwa tersebut, kami berhasil mengamankan sebanyak 20 oknum masyarakat beserta barang bukti berupa senpi (senjata api) laras pendek jenis PCV, bom molotov, ketapel, tojok, dodos dan egrek,” ujarnya.