LIPUTAN KHUSUS:

Ombudsman Sebut Tak Ada Sertifikat HPL di Pulau Rempang


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi yang dilakukan BP Batam dan Pemkot Batam, dalam rencana relokasi Kampung Tua di Rempang.

Agraria

Rabu, 20 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam dalam rencana relokasi Kampung Tua di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Sebab, sampai sekarang belum ada sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diterbitkan di Pulau Rempang.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, mengatakan Ombudsman memperoleh informasi bahwa BP Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang seluas sekitar 16.500 hektare. Lahan ini akan dikembangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata dengan nama Rempang Eco City Pulau Rempang.

Pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian tersebut, menurut Johanes, tidak sesuai ketentuan. Karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.

"Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum," ujar Johanes, dalam keterangan tertulis, Senin (18/9/2023).

Warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau mengikuti Aksi Kamisan ke-787 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/9/2023). Foto: Antara Foto/Sigid Kurniawan/tom.

Johanes mengaku menentang segala bentuk represifitas yang dilakukan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan di Pulau Rempang. Turunnya ribuan aparat kepolisian disertai penggunaan gas air mata dalam merespons penolakan masyarakat, menurutnya, justru akan menambah konflik menjadi semakin besar.

Masyarakat di Pulau Rempang, kata Johanes, sangat terdampak dengan konflik yang terjadi akibat upaya relokasi masyarakat karena merasa terintimidasi. Ketakutan untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan maupun anak-anak yang takut bersekolah karena adanya aparat di perkampungan mereka.

Johanes bilang, Ombudsman RI telah melakukan permintaan keterangan secara langsung kepada pihak-pihak yang terdampak, serta pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan Kampung Tua dengan merujuk Surat Keputusan Walikota Batam Nomor 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam.

Terdapat 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Berdasarkan penelusuran Ombudsman, lanjut Johanes, masyarakat di 10 Kampung Tua yang ada di Pulau Rempang mendukung dilakukannya investasi di Pulau Rempang, namun menolak dilakukan relokasi. Mereka lebih mendukung apabila dilakukan penataan Kampung Tua dengan pengembangan investasi.

"Sosialisasi yang dilakukan BP Batam masih tergolong belum masif dan butuh waktu yang lebih lama untuk berupaya meyakinkan masyarakat mau direlokasi atau berdialog untuk mencari jalan tengah," jelas Johanes.

Selain itu, kata Johanes, ada pula dugaan bahwa sosialisasi yang dilakukan tidak tepat sasaran, sehingga berdasarkan temuan Ombudsman, warga Rempang minim yang mendaftar untuk relokasi.

Johanes menuturkan, Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang serta pihak terkait lainnya. Selanjutnya, akan diterbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa Tindakan Korektif untuk dilaksanakan pihak Terlapor.

"Proyek Strategis Nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Untuk itu Ombudsman akan melakukan proses pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak," ujar Johanes.

Tak hanya itu, Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang. Terutama soal ada tidaknya unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.

Seperti diketahui, permasalahan kasus Pulau Rempang yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City terdapat pada Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 174 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment) di Kawasan Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini mengakibatkan penduduk asli Pulau Rempang akan direlokasi ke Pulau Galang.